Advertorial
Intisari-Online.com- Sejak serangan terhadap World Trade Center pada 11 September 2001, dunia telah terbiasa dengan laporan "pelaku bom bunuh diri."
Mereka sering digambarkan sebagai orang yang diperdayai atau dikuasai agar bersedia membunuh diri sendiri untuk membunuh orang lain.
Fenomena bom bunuh diri ini diungkapkan secara menarik oleh Jeffrey William Lewis diorigins.osu.edu sebagai fenomena baru dalam perspektif sejarah yang panjang.
Dia berpendapat bahwa lebih berguna untuk berpikir tentang pelaku bom bunuh diri sebagai jenis teknologi militer berbasis manusia yang dikendalikan organisasi.
Baca Juga:Misteri Kubah Batu Yerusalem: Sumur Jiwa, Pusat Dunia, dan Tempat Disimpannya Tabut Perjanjian
Daripada menganggapnya sebagi bentuk fanatisme individual.
Agar berhasil, kampanye pemboman bunuh diri membutuhkan tiga faktor:
Individu yang bersedia, organisasi untuk melatih, dan masyarakat yang mau menerima tindakan semacam itu atas nama kebaikan yang lebih besar.
Antara Kepahlawanan dan Bunuh Diri
Karena organisasi semakin mensponsori dan memfasilitasi pemboman bunuh diri, maka semakin sulit untuk memahami aksi ini sebagai bentuk pengorbanan diri.
Komunitas pembom bunuh diri dan organisasi yang mensponsori telah memahami mereka sebagai pejuang.
Dengan demikian, organisasi memperoleh suatu ukuran kendali atas para calon pelaku pengeboman.
Yakni individu yang mengorbankan hidup mereka untuk suatu tujuan.
Baca Juga:Pria Ini Bocorkan 10 Alasan Kenapa Banyak Pria Bule Suka Wanita Indonesia
Asal Usul Bom Bunuh Diri
Sikap fanatik dalam konflik bersenjata memang sudah biasa sepanjang sejarah.
Namun penggunaan manusia sebagai bagian sistem teknik, bukan sebagai pejuang, relatif baru.
Penemuan dinamit pada 1860-an menghadirkan kelompok-kelompok radikal dengan senjata baru yang menakutkan hampir dua puluh kali lebih kuat daripada mesiu.
Baca Juga:(Video) Tragis, Bayi Ini Tewas Terjatuh Dari Eskalator saat Diajak Selfie Ayahnya
Namun upaya meledakkan dinamit juga seringkali mengalami kegagalan daripada sukses.
Hampir secara kebetulan, teroris Rusia Ignaty Grinevitsky menemukan cara efektif untuk untuk menggunakan bom dinamit dengan memasangkannya ke pemicu manusia.
Grinevitsky adalah anggota dari People's Will, sebuah organisasi teroris yang berkomitmen untuk membunuh Alexander II, pemimpin Kekaisaran Rusia.
Grinevitsky dan pembom lain kesusahan membunuh Alexander dengan lemparan bom.
Baca Juga:Kisah Tragis Junko Furuta: Disekap 44 Hari, Diperkosa, Dibunuh, Lalu Mayatnya Dibeton
Namun akhirnya dapat dibunuh dengan cara Grinevitsky yang menuju ke arah Alexander dengan sangat dekat dan melakukan aksi bom bunuh diri.
Dari Rusia ke Jepang: Pemboman Bunuh Diri Menjadi Terorganisir
Selama Perang Dunia II, penggunaan manusia sebagai alat organisasi yang kuat memaksa menghasilkan bom bunuh diri paling kompleks yang pernah terlihat, Kamikaze Jepang.
Bom Bunuh Diri Datang ke Timur Tengah
Pemboman-pengeboman yang terjadi adalah hasil kerja kelompok militan Syiah yang disponsori oleh Iran.
Kelompok itu adalah yang pada pertengahan 1980-an bergabung menjadi Hizbullah.
Pemerintah Iran yang revolusioner mengorganisir dan memungkinkan penggunaan bom bunuh diri oleh Syiah Lebanon secara sistematis.
Sama seperti pemerintah Kekaisaran Jepang yang menggerakkan Kamikaze.
Para pemimpin Iran memuliakan gagasan pengorbanan diri di pihak masyarakat.
Penyebaran Bom Bunuh Diri
Media tontonan pemboman bunuh diri Hizbullah dengan cepat mengilhami kelompok lain di Lebanon.
Termasuk kelompok militan Kristen dan sekuler.
Baca Juga:Mengenal Al Capone, Gangster yang Namanya Menginspirasi Capone Gang Bege dalam Anime One Piece
Pada tahun 1993, kelompok-kelompok Palestina Hamas dan Jihad Islam Palestina mulai menggunakan pembom bunuh diri terhadap sasaran-sasaran Israel.
Hal itu dilakukan dalam upaya untuk menggagalkan proses perdamaian Oslo-Kairo.
Kemudian juga terjadi antara pemerintah Israel dan PLO (Palestine Liberation Organization.
Hizbullah melatih banyak orang radikal dalam cara menggunakan serangan bunuh diri dari akhir 1992 hingga awal 1993.
Baca Juga:Evolusi Suku Bajau Indonesia: Mampu Menahan Napas 13 Menit Hingga di Kedalaman 61 Meter!
The Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE), gerakan gerilya di Sri Lanka, mulai menggunakan bom bunuh diri pada akhir 1980-an.
Contoh dari LTTE menunjukkan bahwa pemboman bunuh diri dan fanatisme agama tidak perlu berjalan beriringan.
Budaya dan Masyarakat
Aksi bom bunuh diri Tamil setelah LTTE menunjukkan satu faktor.
Baca Juga:Bom, Fanatisme, dan Berubah-ubahnya Wajah Terorisme Sepanjang Sejarah
Yakni bahwa aksi pemboman bunuh diri adalah sebuah fenomena yang pasti dan tidak melulu hasil dari agenda organisasi tertentu.
Faktor ini adalah budaya dan masyarakat yang bersedia merangkul pelaku bom bunuh diri sebagai pahlawan.
Untuk mendukung organisasi yang mengerahkan mereka, dan menyerahkan putra dan putrinya untuk misi bunuh diri.
Yang pasti fenomena kompleks ini tidak mungkin menghilang dalam waktu dekat.
Terlebih jika budaya masyarakat kita masih menganggap terorisme sebagai jalan yang benar untuk menegakkan suatu nilai-nilai tertentu.
Baca Juga:Tradisi Potong Mata Oleh Tukang Cukur di Cina Menggunakan Silet