Aku tidak tahu apakah Benny asal bicara, jadi aku pikir ia hanya bercanda.
“Benarkah begitu?” tanyaku. “Mengapa dia kesepian?”
“Ia punya pacar lho,” sahut Benny. Ia berhenti.
“Tapi dia masih kesepian?”
“Ya.”
Meteor lain membuat garis miring putih di langit malam. “Wow! Apa kau melihatnya, Ben?”
“Tidak! Aku rindu ingin melihatnya.”
Beberapa minggu kemudian, badai petir perlahan merangkak di langit barat. Kami menyaksikan petir beruntun diagonal dari utara ke selatan. Benar-benar tampilan alam yang spektakuler. Kami aman melihatnya dari kejauhan.
“Wow! Apakah kau melihatnya lagi?” tanyaku pada Benny.
“Tidak! Ah, aku ingin sekali melihatnya.”
“Kalian harus fokus. Ini terjadi dengan cepat. Jika kalian tidak fokus, kalian akan merindukan itu.”
Sendirian dengan pikiranku dan petir, aku ingat hujan meteor. Sama halnya dengan petir. Cahaya berkedip hilang dalam sekejap mata. Aku bertanya pada diri sendiri, “Berapa banyak meteor hidup dan petir harus kita lewati bila tidak kita perhatikan?”
Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu, karena aku tahu, maka aku tidak akan merindukan mereka. Berapa kali aku pulang kerja terlalu sibuk dengan pikiran sendiri dan merindukan senyum anak-anak? Berapa banyak kesempatan yang aku lewatkan untuk memuji istri atau anak-anak? Berapa banyak kesempatan untuk mengatakan “aku mencintaimu” kepada istri yang telah aku lewatkan?
Aku membuat janji malam itu untuk lebih memperhatikan orang-orang di sekitarku. Ketika aku tiba di rumah dari bekerja, perhatianku adalah keluarga, karena mereka – seperti halnya lintasan cahaya – tidak bertahan lama.
Mereka bisa hilang dalam sekejap.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR