Di kampung inilah Eyang Dalem Abdul Manaf merintis penyebaran ajaran Islam. Dalam perjuangannya beliau didampingi dua orang murid yang patuh terhadap ajaran agama, Eyang Agung Zainal Arif dan Eyang Abdullah Gedug.
Eyang Agung Zainal Arif adalah putra dari Eyang Asmadin, dan keturunan keempat Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Karang Nunggal, Tasikmalaya. Dalam menjalankan tugasnya, beliau diberi perintah oleh Eyang Dalem Abdul Manaf untuk bertapa di 33 gunung di sekitar Kampung Mahmud selama 33 tahun, dan selanjutnya bersama-sama menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Sementara Eyang Abdullah Gedug adalah murid yang dididik secara langsung oleh Eyang Dalem Abdul Manaf. Dari ketiga orang tersebut, ajaran Islam meluas di wilayah Bandung.
Wisata Religi di Kampung Mahmud
Ma Haji, ibunda dari H. Syafeii, menuturkan bahwa Eyang Syeikh Dalem Abdul Manaf adalah Wali Bandung, dengan kata lain, beliau yang memegang peranan penting dalam penyebaran Islam di Bandung. Makamnya sampai saat ini menjadi sering diziarahi oleh banyak orang yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.
“Berziarah berarti mengingat mati, dan mengingat mati berarti berusaha berbuat baik di sisa kehidupan,” tutur salah satu peziarah dari Desa Bojong, H. Hasan, seorang pensiunan dari RSHS Bandung.
Beberapa kegiatan religi biasanya dilaksanakan pada hari-hari besar dalam Islam, Rajaban (27 Rajab) atau Muludan (12 Mulud). Pada acara seperti ini umumnya digelar shalawatan, pengajian, serta permainan terbang sebagai salah satu kesenian buhun orang Sunda. Ritus besar lainnya adalah Ziarah Massal yang biasa diselenggarakan pada minggu kedua di bulan Syawal.
Dalam kegiatan ziarah massal, masyarakat kampung dan pengunjung akan bersama-sama berziarah di Makam Eyang Syeikh Dalem Abdul Manaf, untuk memanjatkan doa serta bershalawat.
Kampung Adat Mahmud tidak memiliki larangan hari dalam berziarah, setiap harinya kampung ini dapat dikunjungi. Namun ada baiknya datang pada hari Kamis, Senin, dan Jum’at karena biasanya akan banyak peziarah yang berkunjung.
Bumi Adat
Dari segi arsitektur, salah satu kekhasan yang dapat kita temui adalah bumi adat, atau rumah panggung tradisional masyarakat Sunda, yang sarat akan filosofi hidup sederhana dan religius. Rumah panggung ini dibuat dengan bahan utama kayu dan bilik sebagai dinding rumah. Pembuatan rumah panggung menghindari penggunaan bahan kaca, genteng barong, dan tembok. Pembuatan sumur juga awalnya dilarang di sini.
Hal tersebut bukan tanpa sebab. Menurut sesepuh desa, rumah merupakan tempat tinggal sementara yang tidak kekal. Manusia hendaknya membangun fondasi dengan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT. Menurut ajaran Islam tidak baik seorang manusia lebih memikirkan pembangunan fisik yang sifatnya duniawi seperti pembangunan rumah tinggal. Sebaiknya aktivitas lebih banyak dilakukan di luar rumah dengan bekerja, beribadah di masjid atau bersilaturahmi dengan tetangga.
“Dengan rumah panggung, yang mencerminkan kesederhanaan, rasa iri dengki dan sombong tidak akan muncul dalam masyarakat. Yang penting itu beribadah, membangun fondasi iman dan takwa yang seharusnya dilakukan dengan sungguh-sungguh” tutur H. Syafeii, yang rumahnya masih berbentuk panggung sejak awal dibangun.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR