Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa adalah Kerajaan Demak. Meski bukan bagian dari yang memerintah, Sunan Kalijaga memainkan peran penting dalam perjalanan kerajaan di pesisir utara Jawa itu.
Penulis: Seno Gumira Ajidarma untuk Sembilan Wali dan Siti Jenar (diterbitkan Majalah Intisari), judul asli artikel ini adalah "Sunan Kalijaga Wali Yang Orisinal"
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Kadilangu terletak tak jauh dari Demak di Jawa Tengah. Kalau Anda datang dari arah Semarang, sebelum sampai di Demak bisa mampir ke Kadilangu dahulu.
Udara biasanya panas, tetapi orang-orang yang mengalir tanpa putus wajahnya begitu tulus—dan ketulusan itulah yang memberi perasaan damai. Memang, di sanalah terletak makam yang dalam tesis Sumanto Al Qurtuby, disebutkan sebagai "paling dikeramatkan di Jawa Tengah", yakni makam Sunan Kalijaga.
Baca Juga: Bukan Samudera Pasai, Kerajaan Islam Pertama di Indonesia adalah Ini, Sudah Ada Sejak Abad ke-9
Nama ini terdengar begitu akrab, tetapi lebih akrab lagi adalah karya-karyanya sebagai pendakwah kreatif, yang dipercaya (baca: tanpa pembuktian ilmu sejarah) sebagai gubahan Sunan Kalijaga.
Seperti terjadi dengan kidung Rumeksa Ing Wengi, yang di samping berfungsi sebagai kidung tolak bala, jika dibawakan Nyi Bei Madusari juga terdengar indah sekali.
Perhatikan ini:
Ana kidung rumeksa ing wengiteguh hayu luputa ing laraluputa bilahi kabehjim setan datan purunpaneluhan tan ana wanimiwah panggawe alagunaning wong luputgeni atemahan tirtamaling adoh tan ana ngarah ing mamiguna duduk pan sirna.
Artinya:
Ada kidung melindungi di malam hariPenyebab kuat terhindar dari segala kesakitanTerhindar dari segala petakaJin dan setan pun tidak mauSegala jenis sihir tidak beraniApalagi perbuatan jahatGuna-guna dari orang tersingkirApi menjadi airPencuri pun menjauh darikuSegala bahaya akan lenyap.
Kidung ini disusun dalam sastra macapat yang ditulis dalam metrum dhandhanggula. Sebuah ulasan dalam buku best seller yang ditulis seorang sarjana agronomi, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (2003) karya Achmad Chodjim, dengan memikat telah menghadirkan makna kidung yang juga bisa berarti sabda atau firman, sebagai teknik membangkitkan konsentrasi dan kekuatan pikiran.
Menurut Chodjim, kata-kata yang tertata rapi di dalam sebuah doa, sebenarnya untuk menjadi titik perhatian dan tujuan dari pelafal doa. Titik perhatian inilah yang akan membangkitkan konsentrasi dan dengan itu menjelmakan kekuatan pikiran.
Mengacu kepada Michael Talbot dalam Mysticism and The New Physics: Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness (1981), Chodjim memaparkan bahwa kekuatan pikiran dapat menghasilkan sebuah medan bio-gravitasi (gravitasi makhluk hidup) yang dapat berinteraksi dengan dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan materi.
Teori ini terbuktikan oleh populernya kidung tersebut sebagai penolak bala kejahatan yang dilakukan malam hari. Mulai dari kejahatan "masuk akal" seperti pencurian, sampai yang disebut gaib seperti sihir, teluh, santet, yang tentunya dipercaya keberadaannya pada masa kehidupan Sunan Kalijaga.
Chodjim menyampaikan kisah nyata, bahwa kidung ini masih berfungsi di desa pada masa kini demi kebutuhan praktis, misalnya mengusir hama tikus. Dikisahkan bahwa pelafar doa berpuasa 24 jam, makan sahur dan buka tengah malam, lalu kidung Rumaksa ing Wengi ini dibaca sambil mengelilingi pematang sawah atau ladang.
Alhasil, tikus benar-benar tidak datang ke sawah tersebut. Perhatikan, bukan tikus mati di mana-mana, melainkan sekadar tidak datang.
Menurut Chodjim, doa memang bukan untuk merusak, tetapi menjaga harmoni alam. Disebutkan dengan tegas sebagai doa, bukan sihir atau mantra negatif – dan yang disebut doa secara sungguh-sungguh memiliki kesakralan dan kesucian.
Adapun hubungan fakta atas kidung Rumeksa ing Wengi dan reputasi Sunan Kalijaga sebagai pendakwah, agama Islam diperbincangkan telah diperkenalkan Sunan Kalijaga tidak sebagai formalitas yang kaku.
Dalam perbincangan bait-bait selanjutnya dari kidung tersebut yang terlalu panjang dikutip di sini, Chodjim menekankan betapa Sunan Kalijaga mementingkan terbangunnya keyakinan dalam beragama daripada hafalan atas doa-doa itu sendiri, dan karena orang Jawa abad ke-15 tidak mudah mengucapkan apalagi memahami bahasa Arab, dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan dan kebesaran beragama, Sunan Kalijaga mengacu alam pikiran Jawa masa itu.
Dalam disertasi yang ditulis seorang pemuda berusia 29 tahun pada 1935, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, disebutkan bahwa di antara para wali, ajaran Sunan Kalijaga adalah "yang paling orisinil."
Pemuda itu, RJ. Zoetmulder, yang kelak terkenal sebagai mahapakar Jawa Kuno, mengambil kesimpulannya antara lain setelah memeriksa Serat Wirid yang ditulis Ranggawarsita, yang berisi ajaran-ajaran para tokoh yang secara bersama disebut sebagai Walisongo, para pendakwah yang menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad ke-15.
Seperti apakah ujudnya orisinalitas itu, dan mengapa orisinalitas harus dianggap penting?
Rupa-rupanya, dalam penyebaran agama Islam, yang selama ini disepakati sebagai kecenderungan Sunan Kalijaga untuk peduli kepada konteks lokal di tempat dia berdakwah sangat dimaknai sampai hari ini.
Namun sebelum sampai ke sana, mungkin baik kita ikuti kembali "sastra lisan" tentang proses kewalian Sunan Kalijaga, yang jangan dicari kefaktaannya melainkan makna yang berada di balik kisah itu.
EPISODE BRANDAL
Ada sebuah episode dalam kehidupan Sunan Kalijaga, yang boleh kita sebut sebagai episode Brandal Lokajaya.
Memang, sebelum mendapat pencerahan dan disebut Sunan Kalijaga, disebutkan bahwa dia bernama Raden Syahid, putra Adipati Tuban, yakni Tumenggung Wilatikta yang juga disebut Aria Teja IV, seorang keturunan Ranggalawe.
Dipandang secara politis, penyebutan Ranggalawe ini bukanlah hubungan melainkan "penghubungan" dengan Majapahit, demi legitimasi kekuasaan Mataram kelak - seolah-olah Sunan Kalijaga menjadi penghubung dan sekaligus pengukuh kesinambungan Majapahit-Demak-Mataram.
Sebagai Raden Syahid, disebutkan betapa pemuda ini sudah sangat kritis terhadap kemiskinan di sekitarnya dalam kekuasaan Majapahit, sehingga dia bertindak sebagai "maling budiman", yakni merampok orang kaya yang korup, dengan cara mencegatnya di dalam hutan dan hasilnya dibagikan kepada orang-orang miskin.
Mohon dicatat juga terdapatnya versi lain, seperti yang dikutip Nancy K. Florida dari Babad Jaka Tingkir, bahwa Raden Syahid merampok bukan karena dia seorang maling budiman, melainkan karena betul-betul bejat.
Dalam kedua versi, Raden Syahid bertemu batunya ketika mencegat seorang tua yang tidak diketahuinya adalah Sunan Bonang, seorang wali kutub tingkat pertama.
Seperti biasa, dia bermaksud membegal Sunan Bonang, terutama tongkatnya yang dalam pandangannya berlapis emas - tetapi ketika berhasil merebutnya, ternyata hanya terbuat dan kuningan, maka lantas dikembalikan, Sunan Bonang berkata jangan menganggap remeh yang tampaknya sederhana, dan dia perlihatkan betapa tongkal itu mampu mengubah buah aren menjadi emas.
Dengan bernafsu, Raden Syahid memanjat untuk mengambil buah-buah emas itu, yang ternyata berubah menjadi buah hijau kembali - saat itulah Raden Syahid menyadari kerendahan derajat hidupnya. Dia lantas menyatakan ingin berguru kepada Sunan Bonang, bukan untuk bisa mengubah buah menjadi emas, melainkan untuk belajar "ilmu-ilmu".
Sunan Bonang lantas menancapkan tongkatnya di tanah, dan meminta Raden Syahid tafakur di sana sambil menjaga tongkatnya itu, sebelum akhirnya berlalu untuk membantu Raden Patah membangun kerajaan Demak.
Peristiwa itu berlangsung di tepi sungai, dan dan ketafakurannya selama bertahun-tahun di sana Raden Syahid mendapat nama sebutannya, Sunan Kalijaga.
Alkisah selama tafakur Raden Syahid berhasil menghayati arti kehidupan, dan ketika Sunan Bonang kemudian menemuinya kembali (sangat terkenal ilustrasi tentang akar-akaran yang sudah meliputi seluruh tubuh Raden Syahid) segeralah dia diberi pelajaran, yang isinya bisa dirujuk dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang ditulis Iman Anom pada 1884, dan telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka pada 1993.
Dalam "suluk linglung" itu juga dikisahkan pertemuan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir di tengah samudera ketika akan beribadah haji ke Mekah, yang sangat mirip dengan cerita wayang Dewaruci, bahwa untuk mendapatkan pencerahan seseorang cukup memasuki dirinya sendiri, yang dalam dirinya merupakan alam luas tak berbatas.
Kisah ini, dengan berbagai perbedaan versi yang tidak mengubah alur, sangat terkenal, dan merupakan "sejarah" paling pokok dari pembangunan karakter Sunan Kalijaga: yakni bahwa selalu ada segi-segi "kebadungan" dalam diri Sunan Kalijaga—justru sesuatu yang sangat penting dalam kelanjutan sejarah penyebaran Islam di Jawa, seperti yang disebut-sebut sebagai "perdebatan" dengan para wali lain untuk mempertahankan warisan tradisi Hindu-Buddha dalam kesenian sebagai sarana berdakwah, yang tentu tidak begitu saja bisa segera diterima oleh para sunan yang sangat teguh dalam syariat agama.
Dalam kompromi dengan para wali lain itulah, Sunan Kalijaga dengan kreatifnya mengubah boneka wayang kulit yang semula tiga dimensi menjadi pipih dua dimensi (supaya tidak seperti patung, yang di Saudi Arabia masa itu tentu identik dengan berhala), serta memanfaatkan segala sarana pertunjukannya seperti layar yang putih dan kosong, blencong, bayang-bayang, posisi penonton di depan atau di belakang layar, dan wayang kulit itu sendiri untuk berfilsafat dan berdakwah, menyampaikan ajaran agama Islam dengan cara yang dipahami dan disukai oleh masyarakat Jawa.
Bukankah pertanyaan sederhana seperti, "Kalau wayang digerakkan oleh dalang lantas siapa yang menggerakkan dalang?", akan sangat mudah mengundang renungan atas kekuasaan Tuhan?
Orisinalitas dalam pemikiran Sunan Kalijaga untuk mempertahankan lokalitas jelas merupakan kontribusi penting bagi kemandirian identitas budaya Islam di Jawa, dulu maupun sekarang. Harus disebutkan, bahwa penghubungan antara sunan dan wayang juga tidak berdasarkan bukti historis.
SAKA TATAL & JUNG CINA
Peristiwa penting lain dalam riwayat Sunan Kalijaga terlihat dari kasus saka tatal yang terkenal.Diriwayatkan bahwa para wali bergotong royong membangun Masjid Demak, dan Sunan Kalijaga mendapat bagian mendirikan salah satu dan empat tiang utama Masjid.
Entah kenapa, Sunan Kalijaga sudah sangat terlambat ketika memulai pekerjaannya, sehingga dengan "kesaktiannya” dia terpaksa menggantikan balok kayu besar itu dengan potongan-potongan balok kecil, yang disebut tatal—dan ternyata tiang yang tampaknya darurat itu mampu menyangga atap masjid, sama kuat dengan tiang-tiang utama lain, meski sekarang tentunya sudah direnovasi.
Dalam tradisi lisan Jawa, saka tatal itu adalah bukti kedigdayaan Sunan Kalijaga, tetapi bagi penelitian ilmiah, soalnya ternyata menjadi lain.
Dalam buku Qurtuby yang sudah disebutkan, tesis yang meneliti peranan Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia, disebutkan bahwa teknik perakitan yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyangga atap masjid dengan himpunan tatal itu sama dengan cara penyambungan potongan kayu untuk tiang kapal jung Cina.
Sehubungan dengan tujuan penelitiannya, timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut:
Apakah Sunan Kalijaga meminta bantuan tukang-tukang asal Tiongkok, yang tentunya terdapat dalam masyarakat Tionghoa yang telah bermukim sepanjang Pantai Utara di Jawa? Apakah Sunan Kalijaga, sebagai wali yang dimitoskan sebagai kreatif dan menghayati hadits "tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina", telah mempelajari teknik itu dari orang-orang Tionghoa? Dan yang paling rawan: Apakah Sunan Kalijaga sendiri adalah seorang keturunan Tionghoa?
Semua ini baru pertanyaan. Sejumlah buku sejarah yang kurang teliti, antara lain oleh sejarawan kenamaan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (1968), dengan yakin pernah menyebutkan nama lain Sunan Kalijaga sebagai Gan Si Cang.
Sumber Muljana adalah buku M.O. Parlindungan berjudul Tuanku Rao (1964), dan sumber Parlindungan adalah Malay Annal (Catatan Tahunan Melayu) yang terdapat dalam penelitian pakar kenamaan Belanda, H.J. de Graaf dan Pigeaud, tetapi yang tidak satu sejarawan pun sebelumnya, dalam hal Sunan Kalijaga, berani memastikannya.
Kita tidak punya ruang untuk berkisah tentang Gan Si Cang yang "terhubungkan" dengan Sunan Kalijaga, sehingga menimbulkan kerancuan, tetapi bisa melihat apa pendapat Qurtuby sebagai peneliti mutakhir:
"Mungkinkah cerita kesaktian Sunan Kalijaga di atas sebetulnya hanyalah narasi masyarakat tradisional atas keahlian teknologi perkapalan yang dimiliki sang sunan? Atau Gan Si Cang sebetulnya hanyalah 'tokoh khayalan' yang sengaja diciptakan penggubah teks Malay Annals untuk menyamarkan figur Sunan Kalijaga?"
Qurtuby berpendapat "agak susah" untuk mengidentifikasikan Gan Si Cang dengan Sunan Kalijaga, karena tradisi lokal tak secuil pun memunculkan ke-Tionghoa-an Sunan Kalijaga. Namun kiranya pendapat Qurtuby berikut sangat menarik:
"Kalaupun Gan Si Cang adalah 'tokoh historis', kemungkinan dia adalah nama lain bukan Sunan Kalijaga yang bisa saja pada waktu itu dimanfaatkan keahliannya oleh penguasa Demak untuk turut serta membangun masjid."
Sementara itu, dalam pemeriksaan Florida atas Babad Jaka Tingkir sebagai bagian disertasinya, kita akan menemukan ulasan menarik atas peranan tokoh Sunan Kalijaga, ketika pembangunan Masjid Demak sampai kepada saat harus menentukan arah kiblat.
Dalam babad ini terdapat adegan perdebatan para wali tentang arah kiblat. Nancy Florida, yang meneliti budaya Jawa selama 25 tahun sebelum sampai penulisan disertasi ini, menafsirkannya secara politis sebagai "penawaran", bahkan kadang disebut juga "perlawanan" Muslim Jawa terhadap hegemoni "Islam pusat" di Mekah.
Masalahnya, bukankah tidak mungkin menghadapkan arah kiblat tidak ke Kabah?
Disebutkan, Sunan Kalijaga diberi tugas menangani masalah ini, agar kiblat tetap seperti seharusnya, tanpa memberi posisi Muslim Jawa "tunduk" kepada suatu kekuasaan duniawi di mana pun, meski tetap tunduk menyerahkan diri kepada Tuhan, karena Islam memang berarti penyerahan diri.
Maka Sunan Kalijaga mengambil langkah berikut, seperti dibahasakan oleh Florida sendiri dalam menganalisis Babad Jaka Tingkir.
Sunan Kalijaga merampungkan proses lokalisasi ini. Berkat penanganan ajaibnya, masjid akhirnya menurut bersepakat dengan Ka'bah Mekah, dan pada saat yang sama Ka'bah pun menurut bersepakat dengan Masjid Demak.
Tindakan Kalijaga adalah suatu hal yang radikal:
Tangan kanan memegang Ka'bah Allah / Tangan kiri memegang / Balok puncak masjid itu / Ditariklah keduanya / Telah terulur diaduterantuk / Atap Ka'bah dan balok puncak Masjid / Dinyatakan sewujud / Sempurna segaris tiada melenceng.
"Dengan tindakan berganda ini, keduanya dinyatakan dan dibuktikan sebagai keberadaan atau substansi yang satu. Kenyataan satu-yang-adalah-dua itu yang menyatakan pemapanan kiblat diwujudkan dengan kesegarisan dalam keterhubungan antara struktur Demak dan Mekah yang di dalamnya struktur Mekah (meskipun jelas lebih tua) tidaklah memiliki dominasi yang mutlak. Kesepakatan diraih berkat penanganan sang wali merdeka Kalijaga menghasilkan perwujudan Masjid Demak sebagai pusat - salah satu pusat di dalam dunia Islam yang tidak mengakui kekuasaan duniawi mana pun sebagai mutlak. Tindakan berganda yang membuka peluang untuk penyebaran berbagai pusat ini justru berhasil, karena tindakan ini merupakan perlawanan terhadap keterpinggiran mereka yang memang ada di pinggir."
Tentu saja kita tidak bisa mengandaikan bahwa Sunan Kalijaga dalam babad tersebut adalah Sunan Kalijaga historis, yang dari darah dan daging, tetapi bukankah justru tugas penelitian sejarah tidak sekadar memisahkan antara yang mitos dan fakta, melainkan juga menafsirkan mitos demi pemahaman sejarah secara menyeluruh?
Setidaknya kita mendapatkan informasi dari babad tersebut, bagaimana masyarakat Jawa memandang Sunan Kalijaga: kreatif dan merdeka.
LIR-ILIR, LIR-ILIR
Makam Sunan Kalijaga kini berada di dalam "rumah" kokoh dengan ukiran Jepara terbaik di pintu, jendela, maupun tiang-tiangnya. Bisa dibayangkan betapa masa lalu, ketika Sunan Kalijaga bermukim dan mengajar di sana, tempat itu tentu jauh lebih sunyi daripada sekarang. Tanpa listrik tentu, dan tanpa suara bising dari jalan raya antarkota.
Namun meski dahulu kala Kadilangu adalah desa yang sunyi, bisa dibayangkan terdapatnya keceriaan yang melingkupinya, berkat wibawa dan kegairahan seorang wali pecinta kesenian, yang selalu siap dan terbuka terhadap perubahan.
Sehingga, meski antara pemakaman yang wingit dan pasar cinderamata di luarnya tampak seolah-olah tidak cocok, jika masyarakat di sekitarnya tidak keberatan, maka Sunan Kalijaga pun kiranya bisa dibayangkan tidak akan terlalu keberatan.
Catatan ini ingin menekankan, bahwa "ziarah pustaka" bisa membuat pemikiran kita jadi produktil, sebagai alternatif "ziarah kuburan" yang sebenarnya, meski "penghayatan lingkungan" bukannya tidak penting – tanpa kita harus jadi sejarawan profesional.
Maka kita tutup ziarah ini dengan sebuah lagu dolanan yang selalu disebut sebagai gubahan Sunan Kalijaga, yang bukan hanya ceria tapi juga penuh makna, karena sebenarnya membawa sebuah pesan keagamaan yang serius:
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Ya surak-a surah horeeee!
***
Begitulah fakta lain dari sosok Sunan Kalijaga sang penasihat Kerajaan Demak yang belum banyak kita ketahui. Semoga bermanfaat.
Baca Juga: Inilah Lokasi Dan Sumber Sejarah Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Islam Pertama Di Nusantara