Oleh pemerintah Belanda, Bandung memang disiapkan sebagai calon ibukota pengganti Batavia. Itulah mengapa banyak bangunan penting didirikan di sana. Bandung, Holland in de Tropen (Belanda di Wilayah Tropis)
Penulis: G. Sujayanto/Wied Harry Apriadji untuk Majalah Intisari edisi April 1993
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Tersebutlah een Heine berg dessa alias desa mungil di pegunungan nan sejuk lagi elok. Kala itu tahun 1852.
Selepas kunjungannya ke sana, Dr. Ir. R. van Hoevell, seorang pemuka masyarakat Eropa di Batavia, lalu menulis di Majalah Tijdschrift voor Nederlandsch Indie.
Antara lain dikatakannya, "Saya sungguh tergoda untuk mendirikan kota besar di desa itu. Sebuah koloni khusus bagi orang Eropa. Hingga kecantikan panorama di daerah Pegunungan Tangkuban Perahu tak akan sia-sia, karena hanya dinikmati oleh turis kesasar macam saya."
Bisa dibayangkan, seperti apa gelinya orang masa itu. Hoevell akan membangun sebuah kota khusus bagi orang Eropa di desa?
Bahkan, tak kurang Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pun diimbaunya dalam tulisannya itu, agar mempertimbangkan idenya. Entahlah apa tanggapan Meneer Daendels kala itu.
Yang jelas, ternyata tujuh dasawarsa kemudian desa itu betul-betul telah berubah menjadi sebuah kolonial stad (kota kolonial) yang rupawan. De bloem der Indische bergsteden, kembangnya kota pegunungan di Nusantara, yang kemudian disebut Bandung ini mulai penuh dijejali bangunan bergaya dan berarsitektur Eropa, berikut bule-bulenya.
Dibandingkan dengan kota lain di Nusantara, waktu itu penduduk bule Kota Bandung jumlahnya paling banyak. Apalagi karena Bandung memang sedang dipersiapkan sebagai unggulan ibu kota pemerintahan Hindia Belanda, menggantikan Batavia.
Akibatnya, makin banyak saja orang Eropa, terutama para pensiunan, pegawai pemerintah, militer, pengusaha, dan pemilik perkebunan, serta puluhan arsitek, yang boyongan ke sana.
Tak heran kalau planolog terkenal di awal abad XX, Ir. Thomas Karsten, menyebut Bandung sebagai Een Western Enclave, permukiman eksklusif bagi orang Barat.
Sementara kalangan Belanda totok sepertinya agak tak rela dengan istilah itu. Soalnya, mayoritas pemukim Eropa di Bandung ‘kan orang Belanda. Jadi, menurut mereka, akan jauh lebih afdol kalau dijuluki Tropische Holland saja, alias Negoro Londo di negeri tropis.
Kolonial stad dan kota perjuangan
Upaya untuk menggenjot kolonial stad Bandung sebagai unggulan ibu kota pemerintahan terasa begitu menggebu.
Antara lain dengan dibentuknya organisasi promosi pencalonan Bandung sebagai ibu kota Comite van Actie te Bandung dan badan pariwisata Tatar Priangan Bandung Vooruit.
Tak tanggung-tanggung, bersamaan dengan itu, Burge-meester (Walikota) Bandung Ir. J.E.A. von Wolzogen Kuhr membangun pula gedung-gedung penunjang infrastruktur sebagai calon ibu kota.
Puluhan bangunan instansi pemerintah dan swasta, bank, hotel, bioskop, toko, pabrik, serta ratusan rumah dan vila didirikan sepanjang tahun 1915-1835. Di antaranya bergaya Art Nouveau dan Art Deco yang sedang digandrungi saat itu. Lusinan monumen pun didirikan di beberapa bagian kota.
Pada 27 Juli 1920 dibangun sebuah gedung yang rencananya akan dijadikan pusat perkantoran instansi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sayang, gedung megah — yang kemudian menjadi Gedung Sate — itu terbengkalai pembangunannya akibat resesi berat yang melanda dunia.
Dalam perjalanan sejarah, Bandung jelas tak cuma lekat dengan predikat kolonial stad. Secara historis Bandung juga menyandang citra sebagai kota perjuangan.
Sebutlah satu gedung yang merekam banyak sejarah pergerakan pemuda dan wanita kota ini, Gedung Societeit Mardi Harja. Di sinilah dulu Laskar Wanita (Laswi) pimpinan Ny. S.Y. Arudji Kartawinata dibentuk dan bermarkas.
Di gedung ini pula beberapa puluh tahun sebelumnya, tepatnya pada pertengahan tahun 1920-an, para perintis kemerdekaan kerap mengadakan vergadering (rapat). Terutama para tokoh Budi Utomo, seperti Abdul,Muis, Soekarno, Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Drs. Sosrokartono (kakak RA Kartini).
Masih bertempat di Societeit Mardi Harja, pada awal 1920 lahir perkumpulan Wanita Sejati, satu-satunya organisasi wanita yang kemudian mewakili Bandung dalam Kongres Perempoean Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Jogja.
Untung saja, ketika terjadi peristiwa "Bandung Lautan Api" sebagian besar dari bangunan-bangunan itu tidak hancur tergempur.
Gedung-gedung berikut fasilitas kota bisa dibilang relatif masih utuh. Tak heran kalau Sukarno, Presiden RI pertama waktu itu, lalu memilih Kota Bandung sebagai tempat diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika pada 1955.
Bahkan, guna menyambut peristiwa bersejarah itu beberapa bangunan mesti direnovasi. Di antaranya adalah Hotel Homann, Hotel Preanger, Hotel Orient, Hotel Braga, Hotel Trio, Hotel Van Hengel, Hotel Olcopark.
Selain itu, dibangun pula beberapa hotel baru, yakni Swarha dan Savoy di Jalan Dalem Kaum. Sekarang, hampir setengah abad setelah peristiwa akbar itu, bagaimanakah kondisi gedoeng-gedoeng toea kota Bandoeng itu?
Hampir hilang tanpa kesan
Sayang, banyak citra visual Kota Bandung sebagai bekas kolonial stad ternyata sudah tak berbekas. Akan sulit dilacak oleh generasi muda bukti-bukti bahwa Bandung pernah direncanakan dengan matang sebagai unggulan ibu kota pemerintahan kolonial Hindia Belanda menggantikan Batavia.
Ke mana larinya bangunan yang pernah menjadi penegas adanya Europa in de Tropen itu?
Yang namanya monumen Kapitein Engelbert van Bevervoorde di simpang Jl. Tamansari-Jl. Wastukancana, patung dada Letjen J.P. Michielsen di Jl. Kalimantan, monumen peringatan bagi penerbang yang gugur di Fokker Huis (Pangkalan AU Husein Sastranegara), dan patung dada S.J. Aay, anggota Volksraad 1920, pendiri Ikatan Bintara Militer Hindia Belanda, di Tjitaroem Plein (Taman Citarum), sudah tak ada.
Semuanya diruntuhkan balatentara Jepang ketika masa pendudukan atau porak-poranda ketika berlangsung perang kemerdekaan.
Ciri lain kejayaan Tropische Holland yang ikut musnah adalah monumen peringatan kereta api di Balai Besar KA di Jalan Perintis Kemerdekaan, dan Tugu Lampu di depan Stasiun Bandung.
Selain itu, nasib yang sama juga menimpa patung Dr. Westhoff di depan Wiyata Guna, patung dada Dr. Ijzerman di Taman Ganeca dan monumen penghijauan di Jubileum Park (Taman Sari) sebagai peringatan perkawinan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard.
Tiga monumen penghormatan untuk K.A.R Bosscha, anggota Bandoengsche Comite tot Natuurbescherming (Komite untuk Menjaga Kelestarian Alam Bandung), yang dipajang di mulut jalan dan taman kota, pun amblas tanpa bekas.
Yang juga menjadi sesalan adalah pembongkaran bangunan depan Kantor PU jawa Barat di Km. 0 Jl. Asia-Afrika. Bangunan lama dengan Indische Empire Stijl itu semula merupakan paviliun sayap barat Toko Thiem milik Meneer Loheyda yang dibangun pada pertengahan abad ke-19.
Padahal, sejarah mencatat bahwa kehadiran bangunan lama Kantor PU itu tak bisa dipisahkan dengan tugu tanda Km. 0 yang setia berdiri di pinggir Groote Postweg (kini Jl. Asia-Afrika) garapan paksa Willem Daendels.
Lantas, bagaimana pula nasib gedung Societeit Mardi Harja yang bersejarah itu? Siapa tahu dijadikan museum?
Alamak, boro-boro dijadikan museum. Sisa gedungnya pun kini ternyata sudah tidak ada. Di mana pun Anda mencarinya di pelosok Kota Bandung pasti tak bakal bisa menemukannya.
Soalnya, gedung di Pangeran Sumedang-weg No. 91 itu sudah digempur hancur rata-tanah!
Nasib yang sama terjadi juga terhadap Penjara Sukamiskin di Jalan Banceuy. Penjara ini pun sudah dihancurleburkan, diganti dengan dengan pusat pertokoan.
Dulunya bangunan ini direncanakan oleh Ir. Sukarno, tokoh proklamator dan presiden pertama RI. Ironisnya, di situ pula ia kemudian dibui sejak 22 Desember 1930 hingga 29 September 1931.
Di kamar nomor 5 yang dihuninya selama setahun inilah dia menyusun tulisan pembelaannya yang cukup dikenal itu Indonesia Menggugat.
Masih untung kamar nomor 5 itu sengaja disisakan. Namun tetap tak mudah bagi generasi muda untuk merenungkan makna sejarah yang tersembunyi di baliknya.
Monumen yang terjepit di deretan pertokoan itu kini cuma jadi tempat jemuran dan sudut penyimpanan gerobak, meja, bangku, dan peralatan lain para pedagang kaki lima.
Sementara agak jauh di sudut luar kompleks pertokoan, tepatnya di Jalan ABC berdiri sebuah bangunan unik. Itulah bekas pos jaga Penjara Sukamiskin.
Syukurlah Gedung Landraad (Pengadilan), tempat Bung Karno diadili pada tahun 1930 dan membacakan pembelaannya, masih terjaga dan tetap dipertahankan keutuhannya hingga kini. Karena peristiwa tersebut maka jalan di depan gedung itu, yang tadinya bernama Jl. Gereja, berganti nama menjadi Jl. Perintis Kemerdekaan.
"Jendela" kolonial stad
Bagaimanapun, jika suatu kali nanti Anda sempat melancong ke Bandung, tak perlu takut tak bisa menikmati sisa-sisa indahnya gedong-gedong toea yang nostalgis. Antara lain masih ada bangunan Hotel Preanger dengan Indo-Europeeschen Architectuur Stijl yang dibangun pada tahun 1929.
Arsitektur dan elemen ornamentik gedung ini merupakan perkawinan antara gaya Eropa dan tradisional Indonesia.
Ciri rancangannya lebih menekankan pada aspek fungsional, skala dan proporsi yang padu, konsep ruang yang organik, ekspresi materialnya utuh, konstruksinya laras, memungkinkan lahirnya bentuk baru yang bermakna, dan bangunan itu tampak lebih "manusiawi".
Perancang Hotel Preanger itu adalah Wolff Schoemaker, lengkapnya Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker, perancang andal yang dikenal pada zamannya sebagai “pembangun” Kota Bandung.
Wolff Schoemaker adalah guru Sukarno di Technische Hoogeschool (kini ITB) sekaligus atasannya di biro arsitek C.P, Schoemaker en Associatei Architecten en Ingenieurs, yang kemudian ternyata sangat mempengaruhi rancangan-rancangan arsitekturnya.
Bahkan, bangunan sayap belakang hotel tersebut, yang mengahadap ke Jalan Naripan, sepenuhnya merupakan rancangan Soekarno. Memang agak beda dengan rancangannya yang lain.
Dalam gedung-gedung perumahan rancangannya, selain terlihat lekat pengaruh Wolff Schoemaker yang kokoh nampak pula ciri arsitektur khas Soekarno, yakni adanya “gada” di bubungan bangunan. Bangunan karya Soekarno itu antara lain adalah rumah kembar di perempatan Jalan Malabar-Jalan Gatot Subroto.
Hotel Preanger dan Gedung Merdeka – tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika, yang dulu namanya Societeit Concordia — merupakan landmark (ciri visual) Kota Bandung. Begitu juga dengan Villa Isola (kini OOP Bandung), Gedung Sate, bangunan induk kampus ITB, dan Hotel Savoy Homann.
Selain itu, masih ada beberapa puluh lagi bangunan peninggalan lainnya yang tersisa dan dipelihara dengan baik.
Di antaranya gedung Markas Kodam Siliwangi di Jl. Aceh, Vila Merah di jl. Tamansari, gedung Kantor Pos Pusat Bandung di Jl. Asia-Afrika, bangunan Jaarbeurs (kini Kologdam), Gedung Gebeo (kini Kantor PLN Bandung). Paling tidak, di sanalah Anda boleh berharap masih akan bisa "memandang" sisa-sisa Holland in de Tropen.
(G. Sujayanto/Wied Harry Apriadji)