Makhluk-makhluk yang hidup jutaan tahun masih memberi penghidupan bagi sebagian orang di Sangiran, Sragen, Jawa Tengah. Terutama mereka yang berprofesi sebagai pencari fosil.
Artikel ini ditulis oleh Ari Susanto dengan judul "Berburu Harta Terpendam di Sangiran" untuk Majalah Intisari edisi Januari 2016
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sinar Matahari terasa menyengat di Grogolan Kulon, dusun kecil di wilayah Kubah Sangiran, Jawa Tengah. Seorang lelaki tua menapaki ladang di antara barisan pohon jati yang tumbuh di perbukitan yang curam.
Sambil menggenggam linggis dan menggendong tas ransel butut yang tampak terisi penuh, Asmorejo bergegas pulang. Sesampainya di rumah, dia langsung duduk di teras beralas semen dan menunjukkan semua hasil buruannya hari itu.
Beberapa bongkah batu dikeluarkannya dari dalam tas ransel. Bongkahan-bongkahan itulah fosil tulang binatang purba yang digali di sebuah lereng bukit gersang, tak jauh dari dusunnya.
Sehari-harinya, pria yang akrab disapa Sinyur itu adalah petani. Dia memanfaatkan waktu luangnya sebagai pencari fosil.
Hari itu dia mendapat tulang telapak kaki gajah purba beserta potongan rahang bawah yang tak utuh, tulang kaki harimau, dua bola-bola batu sebesar tolak peluru, dan remukan tulang rusa dan kerbau. Ada pula pecahan batu silika kecil-kecil dengan ujung tajam yang merupakan peralatan serpih yang digunakan oleh manusia purba untuk menguliti binatang.
"Kalau yang satu ini paling istimewa, banyak dicari karena langka. Konon bisa dipakai untuk jimat," kata Sinyur sembari mengeluarkan fosil gigi kuda nil purba sepanjang 25 cm dari kantung tas.
Di bilik yang terletak di belakang rumahnya terdapat tiga karung berisi fosil hasil temuan Sinyur. Dia kemudian menaruh pecahan tulang yang ditemukan hari itu ke dalam salah satu karung.
"Kalau remukan tulang biasanya ditolak museum, apalagi tidak ada sambungannya, sulit disusun kembali. Bola-bola batu ini juga banyak, saya bisa menemukan 50 biji sehari kalau mau," tutur dia.
Temuan berupa bongkahan-bongkahan besar akan dibawa ke Museum Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Biasanya pihak museum akan memberi Sinyur kompensasi atau uang lelah.
Sinyur memperkirakan temuan telapak gajah bisa dihargai setidaknya Rp500 ribu , sedangkan gigi kuda nil Rp700 ribu. Lumayan.
Dipercaya pemilik lahan
Sinyur adalah sosok terkenal di wilayah Sangiran dan sekitarnya karena reputasinya sebagai penemu berbagai fosil. Sebut saja fosil gading gajah purba (Stegodon trigonochepalus), tanduk kerbau (Babulus paleokarabau), tulang kuda nil, rahang buaya, dan sebagainya.
Jumlah fosil yang dia kirimkan ke museum sudah tak terhitung.
Bahkan atas kesetiaannya selama lebih dari 20 tahun menjadi kontributor bagi museum, Sinyur mendapat berbagai penghargaan. Termasuk penghargaan yang dia terima pada Februari 2015 dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional saat itu, Anies Baswedan, yang berkunjung ke Sangiran.
Alih-alih pernah sekolah arkeologi atau geologi, Sinyur hanyalah lulusah Sekolah Rakyat. Meski begitukepiawaiannya dalam mengenali titik-titik tanah yang menyimpan fosil tidak perlu diragukan.
Sekali menggali, jarang dia pulang dengan tangan hampa. Karena itulah tak sedikit arkeolog dan peneliti yang kemudian meminta pertimbangannya terkait lokasi-lokasi penggalian yang tepat, termasuk para ahli dari Pusat Arkeologi Nasional.
Karena pergaulannya dengan para arkeolog itulah, Sinyur pun mampu mengenali berbagai jenis tulang binatang.
Sangiran yang terletak di lembah sungai Bengawan Sala dikenal sebagai situs banyak peninggalan manusia purba dan kehidupan fauna prasejarah periode Pleistosen, yang dimulai sekitar dua juta tahun lalu sampai sekitar 10.000 tahun lalu.
Sejak penemuan batu dan rahang manusia purba (Homo erectus) paling primitif, Meganthropus paleojavanicus, oleh arkeolog berkebangsaan Jerman, Ralph von Koenigswald tahun 1930-an, Sangiran menjadi magnet bagi peneliti dari seluruh dunia.
Awalnya, para penduduk lokal bekerja untuk Koenigswald dan arkeolog lainnya yang datang belakangan. Mereka menjadi tenaga gali yang membantu ekskavasi fosil di beberapa situs di Kubah Sangiran, seperti Ngebung, Grogolan, Krikilan, Dayu, dan Brangkal.
Pada akhirnya orang-orang desa itu terbiasa menggali sendiri untuk mencari fosil yang bernilai tinggi, seperti gading dan kepala gajah purba, serta atap tengkorak manusia. Sekalipun tak paham stratigrafi lapisan tanah, mereka tak jarang menemukan fosil berharga tanpa perlu menggali terlalu dalam, seperti pengalaman Sinyur.
Di waktu-waktu tertentu, Sinyur berkeliling desa mencari tanah yang diyakininya memiliki kandungan fosil, biasanya tanah yang berkontur atau di lereng bukit. Di tanah yang tidak rata, Sinyur akan lebih mudah mengenali lapisan tanah mana yang menyimpan "harta" galian.
"Salah satu penandanya adalah adanya batuan putih yang keras dan lapisan pasir. Biasanya, di tanah seperti itu saya menemukan banyak tulang binatang purba, bahkan di lapisan tanah yang dangkal," kata Sinyur.
Jika menemukan tanah semacam itu, dia segera pergi menemui pemilik lahan untuk meminta izin penggalian. Jika ditemukan fosil, Sinyur akan mengirimkannya ke museum. Uang jasa yang didapat kemudian akan dibagi dengan pemilik lahan.
Berkat reputasi Sinyur, hampir tak ada pemilik lahan yang keberatan tanahnya digali, bahkan tanpa izin terlebih dulu. Sering kali, mereka kaget karena tiba-tiba Sinyur datang memberikan uang.
Ilegal, sorry lah yaw!
Sinyur mengaku, meski mendapat uang kompensasi, itu tak lantas membuat dirinya kaya. Sebab fosil bagus, tidaklah muncul setiap hari. Pekerjaan semacam ini hanya bisa membantunya bertahan hidup mengingat penghasilannya sebagai petani lahan kering tak cukup menopang kebutuhannya.
Nilai imbalan yang diberikan museum berbeda-beda, tergantung pada jenis fosil, kelangkaan, serta kondisinya. Namun secara umum, nilainya berkisar antara ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Misalnya fosil gading gajah purba yang utuh atau lengkap Rp5 juta, kepala gajah kecil Rp4 juta, atau kepala gajah besar Rp10 juta. "Tengkorak manusia purba yang paling mahal, tetapi susah sekali didapat," ujar Sinyur yang pernah menjadi sorotan media karena menemukan gading Stegodon berukuran 3 m beberapa tahun lalu.
Sejak aturan pelarangan perdagangan fosil ditegakkan, pencarian fosil sempat menjadi persoalan tersendiri. Di masa silam para pemburu fosil enggan mengirimkan temuannya ke museum karena imbalannya dianggap kecil.
Padahal jika mereka menjualnya ke pedagang atau kolektor, bisa terancam hukuman pidana. Walau begitu, tetap saja bisnis ilegal perdagangan benda-benda purbakala ini menggiurkan hingga sekarang.
"Kalau saya mau, saya sudah bisa buat rumah dengan jual gading ke kolektor. Tetapi bukan itu yang saya cari," ujar Sinyur yang mengaku tak pernah tergoda dengan tawaran harga tinggi dari pedagang fosil.
Padahal ada tawaran dari pasar gelap yang lebih tinggi dari museum. Misalnya, untuk fosil gading Stegodon utuh dihargai Rp 50 juta atau sepuluh kali dari harga dari museum.
Iming-iming semacam itu tak lantas membuat Sinyur berpaling ke pasar gelap, karena ia tahu benar urusannya dengan hukum. Dia sudah menyaksikan, orang-orang yang nekat, hasilnya malah harus meringkuk di balik terali besi.
"Saya ini orang susah, tidak mau lebih susah lagi terjerat masalah hukum. Lebih baik kirim ke museum, aman. Sekarang honor dari museum sudah layak dan lebih cepat cair," tutur dia.
Baru sebagian kecil
Penggali fosil lainnya, Siswanto, 60 tahun, asal Grogolan Wetan juga lebih memilih untuk mengirimkan temuannya ke museum daripada ke pasar gelap. Apalagi dia mengakui kini penghargaan penghargaan museum sudah jauh lebih baik.
Dia -- bersama Sinyur dan satu orang lainnya -- bahkan pernah mendapat Rp10 juta dari Kemendiknas. Itu di luar honor untuk fosil yang rutin dia setorkan ke museum.
Saat ini di bilik rumah Siswanto, tergeletak potongan fosil gading gajah berukuran 1 meter dengan diameter 20 cm yang baru ditemukannya. Dalam taksirannya, museum bisa menghargai sekitar Rp2 juta untuk gading Stegodon itu.
"Kalau ditemukan patahannya, harganya bisa dua kali lipat. Saya sudah mencarinya saat hujan agar lebih mudah menyibak lapisan tanah, tetapi tidak ketemu," tutur Siswanto.
Siswanto mengaku lebih menyukai mencari fosil-fosil yang besar seperti gading, tanduk, atau kepala binatang, karena hasilnya juga lumayan untuk menyambung hidup keluarga. Sayangnya, mencari fosil semacam itu tidaklah gampang, karena dipengaruhi faktor keberuntungan.
Seandainya suatu hari ada yang menemukan, kondisi fosil belum tentu utuh. Seandainya ditemukan utuh pun, biasanya perlu usaha ekstra untuk mengangkatnya.
Maklum, fosil itu biasanya ringkih alias gampang patah. Para penggali biasanya harus berbekal kuas dan lem cair super untuk membersihkan fosil dan mengelem retakan-retakan sebelum fosil diangkat dan dipindahkan.
Para arkeolog sendiri meyakini fosil yang sudah ditemukan di Kubah Sangiran hingga saat ini baru sebagian kecil dari seluruh fosil yang terkubur dalam tanah. Dari sekitar 40 ribu fosil di Museum Sangiran, hampir semuanya ditemukan oleh masyarakat.
"Kekayaan data purbakala di Kubah Sangiran seperti tak pernah habis, selalu memberikan kejutan bagi para arkeolog dan peneliti yang ingin mengungkap evolusi manusia dan lingkungan masa lalu," ujar arkeolog senior Prof. Truman Simanjuntak.
Dengan perkiraan potensi fosil yang belum terungkap masih sangat besar, Sinyur dan kawan-kawan akan tetap dibutuhkan oleh museum. Dan, tanah kering di tebing dan perbukitan Sangiran akan tetap menjadi penopang hidup mereka.