Menemukan Lukisan Babi Rusa dan Cap Tangan Manusia Purba di Leang-Leang Sulawesi Selatan

Tim Intisari

Editor

Taman Arkeologi Leang-Leang berawal dari penemuan gambar babi rusa yang sedang meloncat dengan keadaan dada tertusuk panah pada 1950-an (Sabjan Badio/Wikipedia Commons)
Taman Arkeologi Leang-Leang berawal dari penemuan gambar babi rusa yang sedang meloncat dengan keadaan dada tertusuk panah pada 1950-an (Sabjan Badio/Wikipedia Commons)

Taman Arkeologi Leang-Leang berawal dari penemuan gambar babi rusa yang sedang meloncat dengan keadaan dada tertusuk panah pada 1950-an.

Artikel ini pertama tayang di Majalah Intisari pada Agustus 2011 dengan judul "Ada Cap Tangan di Leang-Leang" dan ditulis oleh Rochmatullah di Maros, Sulawesi Selatan

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Selain lokasi yang tak terlalu jauh, jalur angkutan umum menuju ke Taman Arkeologi Leang-Leang (dulu taman Prasejarah Leang-Leang) cukup mudah. Bila ditempuh dengan pete-pete (angkutan umum) hanya sekitar 1,5 jam dari Kota Makassar.

Dalam bahasa Makassar, Leang-Leang artinya gua. Tapi ini tentu bukan sekadar gua, terlebih setelah 1950 ketika ditemukannya sebuah lukisan babi tertusuk panah oleh pria Belanda kelahiran Semarang, Hendrik Robbert van Heekeren.

Leang-Leang di Sulawesi Selatan inimemang bukan sekadar gua, tapi "peti kayu" berisi peninggalan budaya masa lalu.

Ada temuan kuno berupa lukisan dinding gua, peralatan dari batu, dan sisa-sisa makanan. Lukisan-lukisan di dinding gua tersebut tidak kalah menarik dibanding lukisan gua lain di luar negeri.

Karena menurut ahli prasejarah J.C. Glover dan timnya yang melakukan ekskavasi pada 1973, sisa-sisa makanan berupa kulit kerang, tulang binatang, dan alat-alat batu serta biji padi setidaknya berasal dari masa sekitar 25 ribu tahun yang lalu.

Tangga 10 meter

Memasuki areal Taman Prasejarah Leang-Leang, kita akan menjumpai sebuah kawasan berpagar rendah sekitar satu meter dengan gerbang tanpa penutup. Di dalamnya ada dua bangunan mencolok di antara area pelataran yang digunakan sebagai tempat parkir.

Bangunan pertama, berdinding putih yang ada di kiri gerbang, adalah area penjagaan. Di pintu kacanya tertulis tarif masuk area wisata. Berikutnya bangunan berbentuk rumah panggung kayu berwarna coklat berukuran sekitar 150 m2, di mana di bagian atasnya digunakan sebagai area pajangan temuan-temuan arkeologi dari situs purbakala Leang-Leang.

Sementara di bagian bawah, digunakan sebagai tempat parkir kendaraan para petugas dan juru pelihara, lengkap dengan satu set area duduk dari kayu yang biasa juga digunakan sebagai tempat pertemuan kecil atau acara penyambutan tamu. Sebagai latar belakang tampak lereng-lereng terjal gelap menjulang yang dihiasi rerimbunan daun berwarna kehijauan.

Untuk mencapai ke Leang Pettakere, salah satu gua yang ada di taman prasejarah itu, pengunjung mesti berjalan kaki sejauh 200 m lagi. Sepanjang jalan masuk ber-paving block itu pengunjung akan disuguhi dengan pemandangan aneka batu karst hitam yang berdiri dan ditata alami oleh alam.

Sekilas, pemandangan ini mungkin mengingatkan kita pada gambar Stonehenge atau batu menhir yang sering kita lihat di wallpaper layar komputer.

Ada yang menarik ketika kita melewati sebuah jembatan dengan sungai jernih mengalir tenang di bawahnya yang disesaki batu-batu besar berongga akibat kikisan air sekian waktu lamanya. Di kiri-kanan sungai berjajar pohon-pohon tua yang meski ukurannya tidak besar, namun bernuansa purba dari akar-akarnya yang bergelantungan.

Sampai di mulut gua, ternyata kondisinya jauh dari bayangan kita semua. Meski gua ini termasuk paling dekat dan mudah dijangkau, tapi hanya untuk sampai ke bibir gua saja, kita harus naik lewat tangga besi setinggi 10 m.

Mulut gua seakan tertanam di tengah dinding-dinding batu yang terjal. Untuk masuk ke gua memang harus selalu ditemani petugas, dengan maksud untuk menghindari ulah tangan-tangan jahil yang bisa merusak.

Lalu bagaimana manusia-manusia purba di masa lalu bisa memasuki gua itu? Ternyata ada jalan kecil melalui ceruk di bawah lalu melewati lubang-lubang sempit dengan dinding vertikal terjal yang rongga-rongga alaminya saling menyambung dan tembus di salah satu ceruk di sebelah kiri mulut gua. Sungguh menakjubkan!

Jalan masuk menuju Taman Arkeologi Leang-Leang yang penuh nuansa masa lampau (Rochmatullah/Intisari)
Jalan masuk menuju Taman Arkeologi Leang-Leang yang penuh nuansa masa lampau (Rochmatullah/Intisari)

Tanda murah rezeki

Suhu di dalam gua rata-rata 27 derajat Celcius. Posisi gua ini sendiri berada di 45 mdpl dengan jarak kurang 20 km dari pantai. Gua Pettakere memiliki lantai yang menjorok keluar sebagai pelataran.

Lebar gua ini hanya sekitar 1-2 m dengan permukaan tak beraturan dan curam di beberapa tempat. Gua ini termasuk dalam tipe gua kekar tiang yang dicirikan dari ruangan sempit tapi beratap tinggi.

Ada dua ceruk gua, satu menjorok ke timur, lainnya ke selatan.

Pada pertemuan dua ceruk terdapat satu ceruk kecil yang mengarah ke timur. Kita harus amat berhati-hati jika berada di ruang bagian utara di dekat mulut gua, mengingat permukaan lantainya yang curam.

Di sanalah kita bisa melihat lukisan-lukisan binatang, yang berdasarkan analisis D.A. Hoover, seorang ahli zoologi, adalah lukisan babi rusa yang meloncat.

Di depan lukisan terdapat sejumlah lukisan cap tangan, setidaknya lima buah lukisan cap tangan kiri berukuran 12 x 9 cm. Satu di antara jari-jari itu terdapat jari terpotong berwarna merah.

Lukisan itu diperkirakan mengandung makna sebagai kekuatan pelindung dan pencegah roh-roh jahat. Sedangkan jari terpotong dimaknai sebagai tanda berkabung.

Roder dan Gales, dua ahli yang pernah menyelidiki lukisan-lukisan gua prasejarah di Papua, berpendapat lukisan berwarna merah tersebut bertalian dengan upacara penghormatan terhadap nenek moyang, upacara kesuburan, atau inisiasi.

Kemungkinan juga untuk keperluan perdukunan seperti meminta hujan atau memperingati suatu kejadian yang penting.

Di situ pemandu akan menjelaskan bahwagambar-gambar tapak tangan itu berkaitan dengan kebiasaan turun temurun masyarakat setempat. Sebelum mendiami rumah panggung yang baru dibangun, pemilik rumah akan merendam tangannya dengan beberapa ramuan dedaunan seperti daun Pasili dan daun Tampung Tawara.

Daun Tampung Tawara mirip tanaman Cocor Bebek di mana guguran daunnya gampang tumbuh menjadi tanaman baru hingga memiliki makna murah rezeki bagi penghuni rumah.

Tangan yang basah kemudian akan ditempelkan ke setiap tiang penyangga rumah panggung dengan berkeliling sebanyak tiga kali. Hanya saja, daun yang dipakai oleh nenek moyang itu, hingga kini belum diketahui pasti jenisnya.

Sementara itu di ceruk sebelah kanan atau utara terdapat terowongan menjorok ke dalam yang kondisinya gelap gulita, dengan diameter sekitar satu meter dan kedalaman sekitar 20 m.

Rumah panggung tempat pameran temuan arkeologi di Taman Arkeologi Leang-Leang Maros, Sul-Sel (Rochmatullah/Intisari)
Rumah panggung tempat pameran temuan arkeologi di Taman Arkeologi Leang-Leang Maros, Sul-Sel (Rochmatullah/Intisari)

Tombak menembuss jantung

Sebenarnya di Komplek Taman Prasejarah ini terdapat dua buah gua, satunya lagi disebut Leang Pettae yang berjarak sekitar 300 m sebelah barat Leang Pettakere. Keduanya terpisah dinding batu yang terjal.

Dibandingkan Gua Pettakere yang ceruknya rata-rata berdiameter 3,5 meter, Gua Pettae ukurannya lebih besar, yakni lebar ceruk sekitar 3,40 meter, tinggi 4 meter, dan kedalaman 4,5 meter.

Menariknya, di Leang Pettae ditemukan beberapa cangkang moluska dari jenis pelecypoda dan gastropoda, tulang-tulang hewan, serta ikan. Maka bisa disimpulkan, di sinilah semacam dapur pada masa itu.

Bandingkan dengan di Leang Pettakere yang hanya ditemukan alat batu serpih bilah dan mata panah.

Di kedua gua memang terdapat lukisan babi rusa meloncat, namun bedanya di Leang Pettae jantung hewan itu digambarkan tertusuk tombak. Karena itu diperkirakan bahwa Leang Pettakere lebih dianggap sebagai tempat upacara yang bermakna sakral.

Ada pula beberapa lukisan di Leang Pettae yang tidak dapat diidentifikasi karena rusak akibat perembesan air di dinding gua.

Dari beberapa ekskavasi (1977, 1985, dan 1989) di Leang Pettae yang dilakukan Pusat Arkeologi Nasional, berhasil ditemukan alat-alat batu, alat-alat tulang dan tembikar, tembikar, sisa-sisa hewan vertebrata dan invertebrata. Ada pula sejumlah lukisan gua dengan motif babi rusa, cap tangan dan kaki, manusia, perahu serta ikan di sejumlah gua.

BOKS

Sejarah penemuan Leang-Leang

Sejarah Taman Prasejarah Leang-Leang berawal dari penemuan gambar babi rusa yang sedang meloncat dengan keadaan dada tertusuk panah. Lukisan itu ditemukan oleh seorang analis ekspedisi prasejarah bernama HR van Heekeren.

Selain itu, ditemukan pula sebuah gambar telapak tangan wanita dengan cat warna merah. Lukisan-lukisan ini ditemukan di Gua Leang Pettae dan Leang Pettakere, Sulawesi Selatan.

Menurut para ahli arkeologi, gua tersebut dihuni oleh manusia purba sekitar tahun 8.000-3.000 SM. Namun, sejak tahun 1902, sejumlah ahli memperkirakan gua ini telah dihuni manusia sejak 50.000 tahun SM hingga 6.000 tahun yang lalu.

Sementara lukisan prasejarah yang ditemukan diperkirakan berusia 5.000 tahun. Berbekal dari penemuan lukisan itu, gua ini dijadikan sebagai objek wisata. Pada 1980, gua tersebut resmi dibuka untuk wisatawan dengan diberi nama Taman Prasejarah Leang-Leang.

Saat ini, Taman Prasejarah Leang-Leang telah dikelola langsung oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan.

Artikel Terkait