Menengok Gaya Hidup Nenek Moyang Kita 2 Juta Tahun yang Lalu

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Nenek moyang kita Pithecanthropus erectus (Java Man/Manusia Jawa) yang hidup sekitar jutaan tahun yang lalu (J. H. McGregor - J. Arthur Thomson/Wikipedia Commons)
Nenek moyang kita Pithecanthropus erectus (Java Man/Manusia Jawa) yang hidup sekitar jutaan tahun yang lalu (J. H. McGregor - J. Arthur Thomson/Wikipedia Commons)

Tidak seluruh penelitian peninggalan yang ditemukan sanggup menggambarkan keadaan dan kejadian 2.000.000 tahun yang silam. Meskipun demikian, tulisan berikut bukanlah khayalan semata, tapi berlandaskan penelitian.

Ditulis oleh Julius Pour berdasarkan catatan (Alm) Prof. Dr. Teuku Jacob M.S., M.D. pimpinan Proyek Penelitian Paleoantropologi Nasional untuk Majalah Intisari edisi Februari 1974 dengan judul "CARA HIDUP NENEK MO YANG KITA 2 JUTA TAHUN BERSELANG".

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Dugaan semula kanibalisme terjadi di kalangan manusia Pleistosin, mereka yang hidup sekitar 5 juta sampai 10.000 tahun yang lalu. Karena manusia purba di Indonesia hidup sekitar 2.000.000 tahun, tentu saja "nenek moyang" kita itu ikut-ikut diseret-seret juga sebagai gemar memakan sesamanya.

Alasan menduga terjadinya kanibalisme tersebut di antaranya, anggapan bahwa manusia semakin primitif semakin kejam dan ganas.

Penemuan kebanyakan hanya tengkorak bagian atas, dasar tengkorak tak pernah ada atau bahkan rusak sama sekali. Sementara tulang belulang ditemukan dalam keadaan hangus dan berbagai macam alasan lainnya.

Untunglah, belakangan pandangan di atas sudah terbantah. Tidak pernah ada bukti jelas yang menunjukkan terjadinya kanibalisme.

Selain itu seandainya manusia purba saling memakan sesamanya, maka dalam waktu singkat mereka pasti telah punah. Mengapa?

Ini disebabkan, mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang jauh terpisah dengan kelompok lain. Saling membunuh dan memakan sesamanya hanya akan mempercepat kepunahan nenek moyang kita.

Bagian bawah tengkorak memang lebih mudah rusak, apalagi dalam timbunan tanah jutaan tahun, dibanding bagian lainnya. Sedang khusus mengenai dugaan, mereka saling memakan sesamanya guna memperoleh "kekuatan gaib" dari si mati, sulit diterima.

Bagaimanapun juga, ritus semacam itu tidak mereka perlukan. Manusia purba belum mengetahui serta menyadari perlunya mencari kekuatan gaib.

Hidup di pangkalan terbuka

2 juta tahun yang silam, matahari bersinar di atas Jawa sama saja dengan yang bersinar hari ini: terbit dari timur dan tenggelam di barat.

Namun, wajah daratan yang diterangi sangat berlainan, bahkan lebih buruk. Penuh tonjolan gunung-gunung berapi yang aktif bekerja, daratannya bergunung, ditumbuhi hutan lebat dan dataran terbuka.

Perlu disini dijelaskan, "Jawa" tidak selalu berarti pulau Jawa yang kita kenal sekarang. Namun keseluruhan dataran, di mana pulau Sumatera, Jawa dan sebagian Kalimantan, masih menjadi satu dengan kawasan Asia (Tenggara) lainnya.

Di sanalah, di tepian aliran air, sungai, danau dan teluk-teluk manusia purba Jawa berdiam. Mereka terpaksa tinggal tak jauh dari aliran air, karena kemampuan membuat bejana penyimpan air belum mereka ketahui.

Sedang kehidupan, bagaimanapun juga, membutuh kan barang tersebut.

Mereka tidak usah hidup dalam gua, seperti rekannya di daerah dingin. Tetapi cukup di pangkalan terbuka, di mana hidup binatang perburuan yang bisa mereka makan.

Dalam kelompok kecil, sekitar 30 sampai 50 orang, mereka bersatu serta berpindah tempat seandainya dirasakan, daerah sekitarnya sudah berkurang sumber-sumber yang bisa dimakan. Sejak pagi hari sampai nanti menjelang senja, kehidupan terus berlangsung hampir sama, yang mungkin menjemukan bagi manusia modern.

Kelompok lelaki yang kuat dan tangguh, melakukan perburuan binatang. Sedang kelompok perempuan dibantu anak-anak kecil mencari tumbuh-tumbuhan serta meramunya dalam semangat gotong royong.

Hewan bergerak secara instingtif, apakah manusia purba di Jawa 2.000.000 tahun yang lewat juga bergerak demikian? Nampaknya tidak begitu.

Berburu, menghalau binatang, menjebak dan membunuh sampai dengan menyeret ke pangkalan tempat kediaman, harus dilakukan secara berkelompok. Ini mustahil dilakukan dengan insting semata.

Didukung oleh penelitian cetakan otak yang ditemukan, manusia-manusia tersebut disangkakan memiliki bahasa sederhana. Cukup untuk berkomunikasi, menyampaikan serta menerima pesan-pesan yang diperlukan. Di samping merencanakan sesuatu, dalam jangka pendek, guna keperluan hidup sehari-hari.

Mereka jangkung-jangkung

Meskipun belum bisa diketahui bagaimana cara mereka berjalan, manusia purba yang sekarang dikenal dengan nama Pithecanthropus tersebut jelas lebih tinggi dan tegap dari manusia di pulau Jawa sekarang.

Bahkan perempuannya saja, lebih tegap dari lelaki zaman sekarang. Mereka mencapai tinggi tubuh sekitar 160 hingga 180 cm, dengan berat badan antara 80 sampai 100 Kg.

Memiliki atap tengkorak tebal-tebal, otak mereka belum begitu berkembang. Bagian dahi serta pelipis pun belum begitu penuh.

Karena mereka harus makan barang mentah, binatang serta tumbuh-tumbuhan, otot kunyahnya besar-besar. Demikian pula rahang dan bagian gigi.

Untuk mengimbangi ini, agar mereka tetap tegak, otot tengkuk juga tumbuh besar. Dan keseluruhannya, berdiri dengan penyangga otot tungkai yang tegap.

Di muka disebutkan, mereka hidup dari hasil perburuan binatang dan meramu makanan tumbuh-tumbuhan secara gotong royong. Begitu juga, bahan makan tersebut mereka makan secara mentah, tanpa dimasak.

Pendapat ini didasarkan, mereka belum mampu membikin api. Walaupun, kemungkinan besar, api telah mereka kenal. Dalam artian, jika tiba-tiba menemukan api yang masih bernyala.

Api tersebut dijaga, dilindungi dari tiupan angin ataupun terus di beri kayu-kayuan agar tetap menyala. Sampai akhirnya nanti, karena sesuatu sebab, api padam sendirinya.

Banyak anak

Dalam satu kelompok, jumlah lelaki mungkin lebih banyak dari jenis perempuannya. Meskipun demikian, manusia purba memiliki jumlah anak besar.

Dengan satu pengertian, perempuan mereka setiap kali melahirkan tanpa pembatasan. Sayang sekali, penjagaan kesehatan yang belum dikenal, penyakit banyak mengancam serta kecelakaan terjadi, tidak selamanya bayi yang dilahirkan selamat menjadi orang dewasa.

Banyak bayi meninggal di masa kecil. Masih ditambah, karena bahaya sekeliling senantiasa mengancam, mereka sebagian besar hanya mampu mencapai usia 20 sampai 30 tahun. Sedang umur yang sanggup mereka capai, kuat tubuh, tanah penyakit tidak menemui kecelakaan, sampai 50 tahun.

Gajah kecil, gajah besar, hidup bersama mereka

Jika dikatakan, manusia purba hidup di pangkalan terbuka (hutan dengan pohon-pohon yang jarang), memang memiliki arti tambahan lain. Selain protein nabati, mereka memerlukan protein hewani. Ini diperoleh misalnya dari daging kerbau.

Kerbau purba lain bentuknya dari kerbau modern. Bangun tubuh lebih besar, dilengkapi sepasang tanduk panjang. Jelas, hewan semacam itu tak mungkin hidup bergerak di hutan dengan pohon-pohon yang rapat tumbuhnya.

Mereka memerlukan hutan dengan pohon yang agak jarang, mungkin dengan sedikit semak belukar, agar tanduknya tak usah selalu tersangkut di pepohonan tersebut.

Selain kerbau, di daratan Jawa pernah hidup bersamaan dengan manusia purba tersebut hewan-hewan semacam banteng, rusa, kijang, kancil, babi, badak, kuda sungai (kuda Nil sekarang), tapir, kambing, anjing, serigala, beruang, badak, dan harimau.

Untuk binatang yang bertualang di pepohonan, monyet, lutung, wau wau, siamang dan mawas. Sedang hewan-hewan kecil, di antaranya tikus, landak, kelinci, trenggiling.

Mengenai gajah, agak memikat dikisahkan. Jika harimau purba tak berbeda bentuknya dengan harimau zaman sekarang, khusus tentang gajah, ada dua jenis hidup bersamaan, 2.000.000 tahun yang silam.

Ada gajah biasa, seperti yang kita lihat sekarang, dikenal dengan nama Elephas. Meskipun demikian, secara bersamaan hidup juga gajah purba dengan bangun tubuh lebih besar serta perbedaan-perbedaan lain, dikenal bernama Stegodon atau jenis lain bernama Archidiskodon.

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa binatang purba musnah selain terjadinya proses "peng-katean” (menjadi kate — kecil)? Tumbuh dan kehidupan membutuhkan adaptasi lingkungan tertentu.

Ketika daratan masih cukup luas, gajah purba yang besar-besar bisa bergerak bebas mencari kehidupan. Lingkungan berganti, air laut naik, memecah, memisahkan daratan tersebut menjadi kepulauan yang lebih sempit, dengan segala macam konsekuensinya.

Tubuh besar sulit hidup mencari kehidupan dalam kondisi tersebut. Terjadilah proses adaptasi lingkungan, tubuh meng-kate.

Sampai akhirnya nanti, jika lingkungan masih memungkinkan, mereka sanggup bertahan. Tetapi seandainya kondisi lingkungan tak mungkin lagi, musnahlah mereka ditelan zaman.

Tak butuh baju

Disebut dengan nama Pithecanthropus, manusia purba yang pernah hidup di Jawa masih dibagi lagi dalam tiga jenis. Berturut-turut, Mojokertensis, Erectus, dan Soloensis.

Mereka hidup sekitar 2.000.000 tahun sebelum sekarang, sampai lenyapnya sekitar setengah juta tahun atau mungkin 200.000 tahun yang silam. Sedang “Homo" (manusia biasa) sendiri, baru menampakkan diri muncul di kawasan Asia Tenggara, 40.000 tahun yang lalu.

Begitulah yang terjadi dengan manusia purba. Ada persoalan, apakah manusia purba tersebut mengenal pakaian? Nampaknya tidak.

Di daerah dingin utara, manusia purba di sana mungkin harus tinggal dalam gua-gua dan memakai pakaian dari kulit dan bulu binatang. Tetapi di Indonesia, meskipun manusia purbanya hidup di daerah yang agak dingin sedikit dibandingkan keadaan sekarang, pakaian tak mereka perlukan.

Matahari bersinar cukup nyaman dan kulit binatang menjemukan dipakai berburu. Mungkin, andainya mengenal, sekedar penutup tubuh dari dedaunan. Sayang, bukti tentang ini tak cukup meyakinkan.

Begitulah gaya hidup nenek moyang kita dua juta tahun yang lalu!

Artikel Terkait