Prof Truman Simanjuntak: Prasejarah Indonesia adalah Jawaban Persoalan Prasejarah Dunia

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Prof Truman Simanjuntak buka-bukaan kenapa kehidupan prasejarah Indonesia bisa begitu mendunia dalam Seminal Nasional Prasejarah Indonesia di Novotel, Solo, 2-6 Desember 2024 (Habib/Intisari)
Prof Truman Simanjuntak buka-bukaan kenapa kehidupan prasejarah Indonesia bisa begitu mendunia dalam Seminal Nasional Prasejarah Indonesia di Novotel, Solo, 2-6 Desember 2024 (Habib/Intisari)

Menurut ahli prasejarah Indonesia, ada beberapa indikator yang membuat kehidupan prasejarah di Indonesia bisa mendunia. Jangan lupakan faktornya juga.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Ada begitu banyak hal penting dari ceramah ahli prasejarah Indonesia Profesor Harry Truman Simanjuntak pada pembukaan Konferensi Nasional Prasejarah Indonesia di Novotel Solo, Selasa (2/12) tempo hari.

Konferensi yang diselenggarakan oleh Indonesia Heritage Agency (IHA) bekerjasama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu berlangsung hingga 6 Desember 2024.

Ditunjuk sebagai keynote speaker, Prof Truman, sapaannya sehari-hari, berbicara tentang bagaimana temuan prasejarah Indonesia bisa mendunia. Dia juga berbicara tentang tahapan-tahapan penemuan hingga perdebatan-perdebatan yang timbul akibat temuan prasejarah di Nusantara.

"Prasejarah Indonesia benar-benar mendunia, apakah ada yang menyangkal?" itulah pertanyaan yang dilontarkan Prof Truman pada pembukaan ceramah ilmiahnya.

Menurut Prof Truman, setidaknya ada lima indikator yang membuat prasejarah Indonesia begitu dikenal dunia. Faktor pertama adalah bahwa prasejarah Indonesia dikenal luas.

Apa maksudnya? "Bertanyalah kepada intelektual di negara mana pun di dunia, pasti mengenal prasejarah Indonesia. Tidak banyak negara yang dikenal luas prasejarahnya laiknya Indonesia," ujar Prof Truman begitu yakin.

Indikator kedua adalah prasejarah Indonesia diterbitkan di berbagai karya tulis ilmiah (KTI) baik lokal maupun internasional. Bentuknya bisa buku atau karya tulis ilmiah lainnya.

Salah satu yang paling terkenal, menurut Prof Truman, adalah The Man Who Found the Missing Link: The Life and Times of Eugene Dubois karya Pat Shipman. Benar, ini adalah buku tentang perjalanan paleontolog legendaris Eugene Dubois menemukan Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berjalan tegak) yang dia sebut sebagai "the missing link".

"Kita juga mendapat kesempatan yang baik, satu jurnal terkemuka di Eropa, persisnya Prancis, menerbitkan nomor khusus tentang prasejarah Indonesia," kata Prof Truman — jurnal yang dia maksud adalah L'Anthropologie.

Dalam nomor itu, ada 21 artikel yang membahas tentang prasejarah indonesia. "Terbitan-terbitan semacam inilah yang membuat prasejarah kita menginternasional, mendunia, masuk dalam lingkup global," tambah Prof Truman.

Indikator selanjutnya adalah bahwa prasejarah Indonesia didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah. Tidak hanya lingkup nasional tapi juga internasional.

“Setiap ada seminar atau scientific gathering di mana saja, kalau sudah topiknya prasejarah, Indonesia pasti disebut di situ, pasti didiskusikan. Itulah mengapa prasejarah kita begitu menginternasional,” kata pria kelahiran Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, itu.

Yang juga tak kalah penting, dan ini menjadi indikator keempat menurut Prof Truman, temuan prasejarah Indonesia disitasi di banyak tulisan, baik domestik maupun internasional.

Bagi yang awam dengan istilah ini, sitasi adalah kegiatan mengutip atau mengambil bagian dari karya tulisan lain untuk memperkuat argumen atau ilustrasi dalam tulisan sendiri. Ia adalah komponen penting dalam penulisan akademis atau ilmiah.

Indikator kelima atau yang terakhir adalah prasejarah Indonesia diminati untuk diteliti. Menurut Prof Truman, ketika dia masih berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), banyak temannya dari berbagai negara yang memohon agar bisa bekerja sama atau meneliti prasejarah Indonesia. Itu menandakan bahwa prasejarah Indonesia punya daya magnetnya tersendiri.

Meski begitu, “Kita perlu kehati-hatian, perlu selektif. Kita mesti mempelajari dulu siapa mereka, tidak langsung menerima tawarannya. Kita harus tahu, integritasnya terhadap Indonesia maupun terhadap keilmuan seperti apa,” tegas Prof Truman.

Bagaimanapun juga yang pertama-tama melambungkan nama Indonesia dalam kancah penelitian prasejarah dunia adalah para peneliti dari luar negeri itu. Eugene Dubois dan Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald adalah dua di antaranya yang paling populer.

Dan, “Harus jujur dikatakan, kerja sama internasional ini paling banyak, paling berperan mengantarkan prasejarah kita mendunia, membuat prasejarah kita mendapatkan panggungnya di dunia internasional,” tutur sosok yang mulai mencintai dunia arkeologi setelah mendengar cerita tentang Candi Prambanan dan Candi Borobudur dari gurunya itu.

Prof Truman Simanjuntak sebagai keynote speaker Seminar Nasional Prasejarah Indonesia di Novotel, Solo, 2-6 Desember 2024 (Habib/Intisari)
Prof Truman Simanjuntak sebagai keynote speaker Seminar Nasional Prasejarah Indonesia di Novotel, Solo, 2-6 Desember 2024 (Habib/Intisari)

Setelah tahu tentang apa saja indikator prasejarah Indonesia diakui dunia, tentu kita bertanya-tanya, bagaimana, atau mengapa prasejarah Indonesia mendunia? Menurut Prof Truman, ada lima juga jawabannya.

Yang pertama karena prasejarah Indonesia mempunyai rentang waktu yang sangat panjang — dan tidak semua negara punya poin ini. Katakanlah, sejak 1,5 juta tahun yang lalu manusia sudah menghuni kepulauan di Nusantara ini, dan ia terus berkembang seiring perjalanan waktu.

"Bisa lebih dari 1,5 juta tahun, tapi untuk amannya, bilang saja sekitar 1,5 juta tahun,” katanya. "Kita bisa bayangkan perjalanan waktu yang begitu panjang tentu akan menghasilkan banyak pemikiran, banyak capaian, dari para leluhur kita, dan baru sebagian kecil yang sudah tergali. Sebagian besar lainnya masih terpendam di bumi Nusantara, di bawah laut kita."

Dalam rentang waktu yang begitu panjang, banyak penemuan yang membuat kehidupan prasejarah Indonesia mendunia — dan sering diperdebatkan. Menurut Prof Truman, jumlah situs prasejarah di Indonesia bahkan lebih dari 10 (negara mana yang punya sebanyak itu selain Afrika?).

Ada situs Lida Ajer di Sumatera Barat yang ditemukan pada 2017. Di situ ditemukan peninggalan Homo sapiens tertua. Lalu ada situs Sangiran (ditemukan pertama pada 1934) di mana alat-alat Homo erectus pertama ditemukan.

Lalu situs Sungai Baksoka (budaya Pacitanian)di Pacitan yang ditemukan pada 1935. Jangan lupakan juga situs Ngandong (1931) di mana ditemukan Homo erectus termuda dan Trinil (1891) tempat ditemukannya Pithecanthropus erectus.

Kemudian di Wajak (1888) di mana manusia Sapiens pertama ditemukan, lalu Liang Bua (2004) dan Soa (2014) di Nusa Tenggara Timur. Jangan lupakan juga Karampuan (2024) tempat ditemukannya gambar cadas tertua dan situs Kalumpang (1937) tempat ditemukannya asal-usul leluhur kita langsung (manusia Mongoloid penutur bahasa Austronesia).

Ada juga situs Lubang Jeriji Saleh (2018) di Kalimantan tempat ditemukannya gambar cadas tertua di bumi Kalimantan yang usianya tak berselisih jauh dari lukisan cadas di Karampuan.

Faktor kedua adalah karena prasejarah Indonesia diteliti sejak dini, sejak ratusan tahun yang lalu. Paling tidak, para peneliti Barat sudah tertarik dengan kehidupan sejarah dan prasejarah Indonesia sejak abad ke-17, kata Prof Truman. Dan itu masih terus terjadi hingga sekarang.

Faktor ketiga adalah prasejarah Indonesia punya kontribusi penting bagi ilmu pengetahuan dunia. Ia tidak hanya mewarnai pemahaman manusia tentang prasejarah dunia. Lebih dari itu, juga berkontribusi penting terhadap pemahaman prasejarah dunia.

Prasejarah Indonesia, dalam banyak kasus dan kesempatan, juga memicu terjadinya perdebatan di kalangan peneliti prasejarah internasional. Itulah kenapa Prof Truman menyarankan kepada kita, "Jika mau membuat prasejarah kita lebih mendunia, ambillah temuan atau temukan tinggalan yang menimbulkan perdebatan internasional."

Salah satu kasus yang sukses memicu perdebatan adalah ketika ditemukannya manusia Liang Bua (sering juga disebut sebagai Manusia Hobbit) di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Manusia Liang Bua adalah manusia purba yang ditemukan di Gua Liang Bua, Pulau Flores, NTT, pada penghujung 2003 lalu.

Berkat penemuannya, menurut Prof Truman, terjadi polemik dan perdebatan yang begitu hangat tentang taksonominya juga pertanyaan-pertanyaan seputar ini manusia jenis apa. Bahkan sampai sekarang perdebatan itu masih terus berlangsung. "Meskipun ada sebagian yang semakin memperlihatkan tentang sebenarnya dia manusia jenis apa," kata Prof Truman.

Faktor terakhir, pandangan baru tentang prasejarah Indonesia sering mengakhiri perdebatan internasional. Ia kerap menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terkait persoalan prasejarah dunia. “Itulah faktor-faktor yang menjadikan prasejarah kita mendunia,” terang Prof Truman.

Seperti disinggung di paragraf sebelumnya bahwa prasejarah Indonesia diteliti sejak dini, paling tidak sejak abad 17. Meski begitu, yang harus dicatat, di awal-awal, yang meneliti bukan hanya para arkeolog, tapi juga geolog, naturalis, sejarawan, hingga para biolog — di mana mereka punya ketertarikan terhadap kehidupan prasejarah di Nusantara.

“Mereka inilah yang sangat berjasa dalam meneliti prasejarah kita dan menghantarkan prasejarah kita ke dunia internasional,” tambah Prof Truman.

Para pendahulu itulah yang kemudian menginspirasi para peneliti lokal untuk meneliti prasejarah Indonesia. Sebut saja Profesor Teuku Jacob, Profesor Raden Panji Soejono, dan Profesor Sartono Sastromidjojo. Tiga tokoh ini yang kemudian dikenal sebagai pionir pengembangan prasejarah Indonesia oleh peneliti dalam negeri.

Berbicara tentang prasejarah Indonesia, rasanya kita tak bisa begitu saja melupakan sosok Eugene Dubois, penemu "The Missing Link". Penemuannya tentang Pithecanthropus erectus pada 1891-1892 benar-benar mengguncang dunia saat itu.

Dubois adalah seorang dokter anatomi muda yang sangat tertarik untuk tahu tentang “sosok” penghubung antara kera dan manusia alias the missing link.

Terkait the missing link itu, menurut Prof Truman, Dubois terinspirasi dengan apa yang disampaikan oleh tokoh evolusi Charles Darwin yang berpendapat: jika ingin mencari sisa-sisa manusia-antara carilah di daerah tropis karena di sana masih banyak hidup kera-kera.

Dubois kemudian datang ke Indonesia. Pertama di Sumatera Barat. Di sana dia menemukan sisa-sisa manusia purba tapi menurutnya temuan itu jauh lebih muda. Bukan jenis manusia perantara yang dia cari.

Dia akhirnya pindah ke tempat-tempat lainnya hingga sampailah dia di Jawa, persisnya di Jawa Timur, tepatnya di Trinil (sekarang masuk wilayah Kabupaten Ngawi).

Di sana dia melakukan penelitian kolosal yang menyertakan ratusan penduduk lokal juga opsir-opsir Belanda. Di Trinil Dubois menemukan antara lain berupa gigi dan fragmen tengkorak, dan tulang paha kiri. Inilah makhluk yang dia cari-cari itu.

Temuan baru ini kemudian dia sebut sebagai Anthropopithecus erectus (manusia kera yang berjalan tegap) dalam sebuah buku yang dia terbitkan pada 1894. Tapi kemudian dia ubah nama itu menjadi Pithecanthropus erectus, yang artinya kurang lebih sama.

Tak pelak, temuan ini menghadirkan perdebatan dan mengguncangkan dunia ilmu pengetahuan prasejarah. Saat dia berbicara di depan forum Eropa, banyak peneliti yang tidak percaya jika temuan Dubois itu adalah manusia, terlebih para paleontolog konservatif.

Dubois akhirnya membuat semacam voting. Hasilnya, lima orang bersikukuh bilang bahwa itu kera, tujuh orang bilang manusia, 7 lainnya bilang antara keduanya, termasuk Dubois sendiri.

Tapi kejutan Trinil tak hanya berhenti sampai situ.

Ada lebih dari 10 situs yang membuat kehidupan prasejarah Indonesia begitu dikenal di dunia, menurut Prof Truman (Habib/Intisari)
Ada lebih dari 10 situs yang membuat kehidupan prasejarah Indonesia begitu dikenal di dunia, menurut Prof Truman (Habib/Intisari)

Lewat analisis dan pertanggalan, sekelompok peneliti yang koleksi Dubois menemukan adanya “karya” Homo erectus yang sangat tua dan belum ditemukan padanannya di berbagai belahan dunia lainnya. Mereka menyimpulkan, Homo erectus yang ini adalah yang pertama dan satu-satunya yang sudah mengenal seni pada waktu itu.

“Apa artinya, kita belum tahu. Tapi yang jelas ada kemampuan untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya dalam bentuk goresan dan motif yang teratur seperti itu. Umurnya kurang lebih 500 ribu tahun yang lalu,” kata Prof Truman.

Terkait Homo erectus, "Dari bukti-bukti temuan dan penanggalannya, kurang lebih 1,6 hingga 1,5 juta tahun yang lalu sudah hadir Erectus di Nusantara dan kehadiran itu terus berkembang,” lanjut Prof Truman.

Pertama-pertama, katanya, mereka menghuni Jawa. Tapi berkat kemampuan menyeberangi lautan, mereka akhirnya sampai juga ke ujung yang lebih timur, yaitu ke Flores. Lebih lanjut, Erectus yang ada di Nusantara adalah manusia pulau pertama di dunia, "the first islanders" jika meminjam istilah Prof Truman.

“Tidak ada Erectus lain yang hidup di kepulauan selain di Indonesia," tutup Prof Truman.

Artikel Terkait