Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Angin Timur berbisik pilu, menghembus kisah nestapa Nusantara yang terbelenggu dalam cengkeraman kolonialisme.
Di ufuk fajar, mentari menyaksikan lahirnya sebuah kongsi dagang, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang berlabuh di bumi pertiwi dengan janji manis perdagangan.
Namun, di balik topeng persahabatan, tersimpan ambisi rakus yang haus akan kekayaan rempah-rempah.
Rempah-rempah yang dulu menjadi sumber kemakmuran, kini berubah menjadi air mata kesengsaraan.
Devide et impera, politik adu domba yang licik, memecah belah persatuan Nusantara. Kerajaan-kerajaan yang dulu kokoh berdiri, kini terjerumus dalam konflik internal, memudahkan VOC menancapkan kukunya lebih dalam.
Bagaikan burung dalam sangkar emas, Nusantara terkurung dalam kungkungan penjajahan.
Namun, ambisi VOC tak berhenti di situ. Tanam paksa (cultuurstelsel) menjadi babak baru dalam drama penindasan.
Rakyat dipaksa menanam komoditas ekspor di tanah mereka sendiri, tanpa upah yang layak. Jerih payah mereka hanya berbuah penderitaan, sementara hasil bumi mengalir deras ke negeri Belanda.
Sumber-sumber sejarah mencatat dengan tinta kelam, bagaimana tanam paksa merenggut hak-hak dasar rakyat.
Van Deventer, dalam bukunya "Een Ereschuld" (1899), menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa. Multatuli, dalam novelnya "Max Havelaar" (1860), mengungkap kekejaman sistem ini dengan lantang.
Berikut adalah beberapa dampak buruk tanam paksa yang didokumentasikan dalam berbagai sumber:
Kemiskinan dan Kelaparan: Rakyat kehilangan tanah dan mata pencaharian, hasil panen dirampas, dan mereka dipaksa bekerja tanpa upah. Kelaparan menjadi ancaman nyata, menghancurkan kehidupan mereka.
Kerusakan Lingkungan: Eksploitasi lahan yang berlebihan merusak kesuburan tanah dan ekosistem. Hutan ditebang untuk membuka lahan perkebunan, mengancam keberlanjutan alam.
Wabah Penyakit: Kondisi hidup yang buruk dan kekurangan gizi membuat rakyat rentan terhadap penyakit. Wabah kolera dan malaria merenggut banyak korban jiwa.
Kerja Paksa yang Kejam: Rakyat dipaksa bekerja melebihi batas kemampuan mereka, di bawah pengawasan yang ketat dan hukuman yang kejam.
Setelah tanam paksa dihapuskan, muncullah era baru yang disebut usaha swasta.
Namun, di balik topeng kebebasan ekonomi, tersembunyi benang merah yang menghubungkannya dengan masa lalu kelam. Para pengusaha swasta, yang kebanyakan berasal dari Eropa, mendapatkan akses mudah ke tanah dan sumber daya alam.
UU Agraria 1870 menjadi landasan hukum bagi eksploitasi tanah jajahan. Rakyat kehilangan hak milik atas tanah mereka, terpaksa menjadi buruh tani di perkebunan-perkebunan milik swasta.
Sistem sewa tanah yang diterapkan justru menjerat mereka dalam lingkaran kemiskinan.
Berikut adalah beberapa dampak negatif usaha swasta yang terekam dalam sejarah:
Eksploitasi Buruh: Para buruh di perkebunan swasta bekerja dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk.
Jam kerja yang panjang, perumahan yang tidak layak, dan minimnya perlindungan kesehatan menjadi potret buram kehidupan mereka.
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat: Pengusaha swasta besar menguasai pasar, memonopoli harga, dan menyingkirkan pengusaha pribumi.
Persaingan tidak sehat ini menghambat perkembangan ekonomi rakyat.
Ketergantungan Ekonomi: Perekonomian Indonesia terfokus pada sektor perkebunan dan ekspor bahan mentah, menciptakan ketergantungan pada pasar internasional.
Industri manufaktur dan sektor ekonomi lainnya tertinggal, menghambat kemajuan bangsa.
Benang merah antara VOC, tanam paksa, dan usaha swasta terlihat jelas dalam pola eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja pribumi.
Ketiga sistem ini menciptakan struktur ekonomi yang timpang, menguntungkan pihak asing dan segelintir elit pribumi, sementara rakyat jelata terjerumus dalam kemiskinan dan penderitaan.
Sumber-sumber sejarah yang mengungkap keterkaitan antara VOC, tanam paksa, dan usaha swasta:
"Indonesia's History: The Dutch Colonial Era" oleh M.C. Ricklefs
"Sejarah Ekonomi Indonesia" oleh Sumitro Djojohadikusumo
"The Indonesian Economy Since 1950" oleh Hal Hill
Kisah kelam penjajahan ini menjadi pengingat bagi generasi penerus, agar senantiasa menjaga kedaulatan bangsa dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Benang merah sejarah mengajarkan kita untuk belajar dari masa lalu, agar tidak terjatuh dalam lubang yang sama.
Di ufuk senja, angin Timur masih berbisik pilu, mengiringi kepergian sang surya.
Namun, di balik awan gelap, tersimpan harapan akan masa depan yang lebih cerah. Nusantara telah merdeka, bebas dari belenggu penjajahan.
Kini, tugas kita adalah membangun negeri ini dengan semangat gotong royong, mewujudkan cita-cita para pahlawan yang telah gugur di medan perjuangan.
Mari kita jalin benang merah persatuan, merajut masa depan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---