Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Fajar menyingsing di atas Nusantara, namun sinarnya tak sepenuhnya menerangi bumi pertiwi.
Di ufuk timur, bayang-bayang mercusuar menjulang, menandai kehadiran bangsa asing yang membawa angin perubahan, sekaligus badai yang mengguncang sendi-sendi kehidupan pribumi.
Belanda, dengan panji-panji dagang VOC-nya, menginjakkan kaki di tanah rempah-rempah, menjanjikan kemakmuran namun menebar benih penderitaan.
Para pedagang pribumi, yang dulunya merdeka mengarungi samudra perdagangan, kini terbelenggu dalam sistem yang mengungkung.
Tanam Paksa, Luka Menganga di Ladang Kehidupan
Salah satu kebijakan ekonomi Belanda yang paling membekas adalah sistem tanam paksa atau cultuurstelsel.
Diperkenalkan pada tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, sistem ini mewajibkan petani pribumi untuk menanam komoditas ekspor, seperti kopi, tebu, dan nila, di sebagian tanah mereka.
Hasil panen kemudian diserahkan kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sangat rendah.
Tanam paksa bagai luka menganga di ladang kehidupan pribumi. Tanah-tanah subur yang dulunya menjadi sumber penghidupan, kini berubah menjadi ladang penderitaan.
Petani pribumi dipaksa bekerja keras di bawah pengawasan ketat, sementara hasil jerih payah mereka dinikmati oleh para penguasa asing. Kelaparan dan kemiskinan menjadi pemandangan yang lumrah di desa-desa.
Monopoli Perdagangan, Meredupkan Cahaya Saudagar Pribumi
Tak hanya di sektor pertanian, Belanda juga menerapkan monopoli perdagangan yang merugikan pengusaha pribumi.
VOC menguasai jalur perdagangan, melarang pribumi untuk berdagang dengan bangsa lain, dan menetapkan harga beli yang rendah untuk komoditas lokal.
Kebijakan ini melumpuhkan perdagangan pribumi, membuat para saudagar kehilangan akses pasar dan terpuruk dalam kemiskinan.
Pelabuhan-pelabuhan yang dulunya ramai dengan kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia, kini dikuasai oleh kapal-kapal VOC.
Saudagar-saudagar pribumi yang dulu berlayar mengarungi samudra, kini hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, meratapi nasib mereka yang terpuruk.
Sistem Ekonomi Uang, Jerat Baru Bagi Pribumi
Pengenalan sistem ekonomi uang oleh Belanda juga membawa dampak negatif bagi pengusaha pribumi.
Sistem ini, yang asing bagi masyarakat agraris, membuat mereka rentan terjebak dalam jerat hutang.
Para pengusaha pribumi, yang tidak terbiasa dengan sistem bunga dan pinjaman, seringkali terlilit hutang yang menjerat mereka dalam kemiskinan.
Sistem ekonomi uang juga memperlebar kesenjangan sosial. Para penguasa kolonial dan segelintir elit pribumi yang dekat dengan mereka, semakin kaya raya.
Sementara itu, mayoritas rakyat pribumi, termasuk para pengusaha kecil, semakin terpuruk dalam kemiskinan.
Kemunduran Industri Kerajinan, Meredupnya Warisan Leluhur
Industri kerajinan pribumi juga mengalami kemunduran di bawah kekuasaan Belanda.
Kebijakan pemerintah kolonial yang mengutamakan impor barang-barang manufaktur dari Eropa, membuat produk kerajinan lokal kehilangan daya saing.
Para perajin pribumi, yang dulunya menghasilkan karya-karya indah yang dikagumi dunia, kini terpinggirkan dan kehilangan mata pencaharian.
Batik, tenun, ukiran, dan berbagai kerajinan tangan lainnya, yang merupakan warisan leluhur yang berharga, perlahan meredup cahayanya.
Keterampilan yang diwariskan turun temurun, terancam punah di bawah tekanan sistem ekonomi kolonial.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan tekanan, semangat juang pengusaha pribumi tak pernah padam. Mereka terus berusaha bertahan dan beradaptasi dengan sistem ekonomi kolonial.
Di tengah kegelapan, api perjuangan terus menyala, menanti saatnya untuk berkobar dan membebaskan bumi pertiwi dari belenggu penjajahan.
Kisah perjuangan pengusaha pribumi di masa kolonial Belanda adalah sebuah pengingat akan pentingnya kemandirian ekonomi.
Sebuah warisan berharga yang mengajarkan kita untuk senantiasa berjuang demi kesejahteraan bangsa, agar bayang-bayang mercusuar di ufuk timur tak lagi menghantui bumi pertiwi.
Sumber-sumber:
Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Reid, Anthony. (1974). The Indonesian National Revolution 1945-1950. Melbourne: Longman Australia Pty Ltd.
Kahin, George McTurnan. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---