Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Angin berbisik pilu di antara rimbunnya pepohonan kopi, membawa kisah nestapa dari tanah Jawa yang terluka.
Di bawah terik matahari tropis, keringat membasahi tubuh-tubuh renta yang dipaksa menanam komoditas asing, demi memenuhi pundi-pundi kekayaan negeri seberang.
Sistem Tanam Paksa, cultuurstelsel dalam bahasa Belanda, menjadi mimpi buruk yang menghantui bumi pertiwi selama pertengahan abad ke-19.
Penderitaan merajalela, kelaparan merenggut nyawa, dan jerit tangis menggema di pelosok desa.
Namun, di balik kegelapan, secercah harapan mulai menyala. Suara-suara kritis muncul dari hati nurani yang tergugah, menentang ketidakadilan yang merajalela.
Salah satu tokoh penting yang berani bersuara lantang adalah Eduard Douwes Dekker, seorang asisten residen Lebak yang menyaksikan langsung penderitaan rakyat akibat sistem tanam paksa.
Dengan nama pena Multatuli, yang berarti "Aku Telah Banyak Menderita", ia menulis novel Max Havelaar (1860) yang mengguncang Eropa.
Novel ini mengisahkan kekejaman sistem tanam paksa di Lebak, Banten, dengan detail yang memilukan.
Multatuli tak hanya mengungkap fakta, tapi juga mengecam keras pemerintah kolonial Belanda yang rakus dan eksploitatif.
Ia menyerukan keadilan dan kemanusiaan, membangkitkan simpati dan dukungan dari berbagai kalangan di Belanda.
Max Havelaar menjadi tonggak penting dalam perjuangan menghapuskan sistem tanam paksa.
Selain Multatuli, banyak tokoh lain yang turut berperan dalam melawan sistem tanam paksa, baik di Belanda maupun di Hindia Belanda.
Di Belanda, muncul gerakan liberal yang menentang kebijakan kolonial yang eksploitatif.
Tokoh-tokoh liberal seperti Baron van Hoëvell dan Engelbertus de Waal menyerukan reformasi di tanah jajahan, termasuk penghapusan sistem tanam paksa.
Di Hindia Belanda, perlawanan muncul dari berbagai kalangan, mulai dari kaum intelektual, pemimpin agama, hingga rakyat jelata.
Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi wanita, juga mengkritik sistem tanam paksa dalam surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Ia menyoroti penderitaan kaum perempuan yang terbelenggu oleh sistem ini.
Perlawanan terhadap sistem tanam paksa semakin menguat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka.
Berbagai faktor turut berperan dalam penghapusan sistem ini, antara lain:
Kritik dari kaum humanis dan liberal di Belanda: Mereka mengecam sistem tanam paksa sebagai bentuk eksploitasi yang tidak manusiawi.
Munculnya gerakan politik etis: Gerakan ini mendorong pemerintah kolonial untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat di Hindia Belanda.
Keuntungan yang menurun: Sistem tanam paksa mulai merugi karena berbagai faktor, seperti penurunan harga komoditas di pasar dunia dan meningkatnya biaya produksi.
Perlawanan dari rakyat Indonesia: Rakyat semakin berani menentang sistem tanam paksa melalui berbagai cara, mulai dari protes damai hingga pemberontakan bersenjata.
Puncak dari perjuangan panjang ini adalah penghapusan sistem tanam paksa secara bertahap mulai tahun 1870.
Undang-Undang Agraria 1870 membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk menyewa tanah dan menanam berbagai jenis tanaman. Undang-Undang Gula 1870 mengakhiri monopoli pemerintah dalam produksi gula.
Meskipun sistem tanam paksa telah dihapuskan, dampaknya masih terasa hingga kini. Sistem ini telah meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia, baik secara ekonomi maupun sosial.
Kemiskinan, keterbelakangan, dan trauma akibat penindasan masih menjadi PR bagi bangsa Indonesia.
Namun, sejarah penghapusan sistem tanam paksa juga memberikan pelajaran berharga bagi kita. Perjuangan melawan penindasan, semangat untuk meraih keadilan, dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran adalah nilai-nilai luhur yang patut kita teladani.
Kisah penghapusan sistem tanam paksa adalah bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya persatuan, keberanian, dan kegigihan dalam memperjuangkan hak-hak kita.
Semoga kita dapat belajar dari sejarah dan membangun masa depan yang lebih baik, bebas dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi.
Sumber:
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi.
Legge, J.D. (2008). Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the Following Recruited by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta. Equinox Publishing.
Vlekke, Bernard H.M. (2008). Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono. (1987). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 - 1900 (Jilid 1). Jakarta: Gramedia.
Suhartono, R.P. (2008). Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---