[ARSIP]
Tugu Jogja ternyata dulu tinggi 25 meter, tapi runtuh akibat Gempa Jogja 1867, setelah renovasi tingginya menjadi 15 meter saja.
Penulis: S. Said untuk Majalah Intisari edisi Maret 1969
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Memang bencana ini datangnya dengan mendadak sekali, hingga banyak yang tidak sempat menyelamatkan diri, tewas atau luka-luka: ratusan rumah dan bangunan lainnya roboh berantakan.
Lebih mengerikan lagi, karena bencana ini justru meninggal di pagi-pagi hari sekali, di mana banyak penduduk masih tidur nyenyak. Dalam waktu hanya beberapa detik saja, sebagian besar kota telah berubah menjadi puing-puing berserakan, menimbulkan suatu pemandangan yang menyeramkan.
Peristiwa di atas ini menimpa kota Yogyakarta lebih pada 10 Juni 1867. Suatu bencana berupa gempa bumi hebat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam dua gelombang
Kota Yogyakarta jam 04.30 pagi, suasana masih sepi. Hanya para bakul dan sementara cikar--terutama dari luar kota--yang tampak beriring-iringan memasuki kota menuju Pasar Beringharjo di tengah kota dan pasar-pasar lainnya.
Suara orang menyapu halaman rumah terdengar di sana-sini. Patroli dan ronda malam sudah mulai berkemas-kemas kembali ke pos atau rumah masing-masing sesudah semalam suntuk bertuga menjaga keamanan. Tapi kebanyakan penghuni kota waktu itu kasih tidur nyenyak.
Pada saat itulah entah dari mana datangnya, mendadak terdengar bunyi seperti raungan yang keras sekali disertai suara gemersak yang bergema panjang. Benar-benar mengejutkan bagi mereka yang mendengarnya. Suatu seperti raungan ini kemudian disusul dengan getaran bumi yang keras, yang berangsur-angsur menjadi lemah dan akhirnya tidak terasa lagi.
Dari sementara jurusan mulai terdengar teriakan: lindu, lindu, lindu! Tapi masih juga ada orang yang ragus bertanya-tanya: benarkah itu gempa?
Dan belum lagi orang menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, dalam jangka waktu hanya dua detik saja dari gempa yang pertama, telah disusul dengan getaran-getaran yang lebih hebat, dan lebih lama daripada getaran pertama.
Tanah seolah-olah bergelombang tinggi. Orang-orang yang sedang berdiri terbanting ke tanah, menumbangkan segala sesuatu yang tegak. Suasana ini menjadi lebih menyeramkan lagi karena justru getaran yang seperti gelombang laut itu disertai oleh suara gemuruh yang mengerikan.
Rumah-rumah satu per satu roboh seperti barang mainan belaka. Dalam sekejap saja hampir seluruh kota Yogyakarta menjadi puing-puing. Rumah-rumah waktu itu umumnya masih terdiri atas kayu dan bambu, hingga mudah menjadi mangsa gempa yang betapapun kecilnya. Juga gedung-gedung dengan tembok batu tidak pula luput dari kerusakan-kerusakan yang hebat ini. Benteng Vredeburg yang tergolong bangunan yang kokoh, sebagian dindingnya ambruk.
Gempa yang datang pertama kali lamanya kurang lebih 8 detik, diseling dengan masa tenang selama 2 detik, dan baru kemudian menyusul gelombang kedua yang lamanya kurang lebih 70 detik. Gelombang gempa kedua inilah yang telah menyebabkan kerusakan dan maut atas kota Yogyakarta, dan menyergap sebagian besar penduduk yang masih tidur nyenyak.
Bisa dibayangkan betapa suasana panik mencekam seluruh kota waktu itu. Titik bahaya dibunyikan bertalu-talu. Jerit-tangis memilukan memecah kesunyian pagi. Teriakan-teriakan minta tolong bergema bertalu-talu di sana-sini. Sementara tidak sedikit pula penduduk yang selamat, mondar-mandir tak menentu karena kebingungan, tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Rasa pilu, takut, dan bingung waktu itu bercampur-aduk menjadi satu. Ditambah lagi dengan kekuatiran, jangan-jangan gempa akan terulang lagi untuk ketiga kalinya.
Segera pula orang-orang yang lolos dari bencana mulai menyingsingkan lengan baju mereka, di tengah segala hiruk-pikuk dan ratap tangis yang menyayat hati: Menolong di mana tenaga mereka dibutuhkan secara gugur-gunung. Mencari korban yang tewas atau luka-luka di tengah-tengah puing dan reruntuhan-reruntuhan, memberikan perawatan sebaik-baiknya, dan kesibukan ini berlangsung sehari penuh sampai malam hari, bahkan juga sampai beberapa hari berikutnya.
Jumlah korban dan kerugian
Berapakah jumlah korban dan kerugian akibat gempa tersebut?
Menurut sebuah komisi yang telah dibentuk oleh Residen Bosch waktu itu, jumlah korban seluruhnya sebagai berikut:
Tewas: 326 orang, terdiri atas 14 orang bangsa Eropa, 50 Cina dan Timur Asing, dan 262 pribumi.
Luka-luka: 499 orang, terdiri atas 10 orang bangsa Eropa, 13 Cina dan Timur Asing, dan 376 penduduk asli.
Sedang kerugian materiil ditaksir seluruhnya 2,7 juta gulden terdiri atas bangunan dan rumah-rumah, belum terhitung ternak, mebel, mesin-mesin, produksi, dll. Di antara kerugian yang paling menonjol sekali adalah di kampung Pecinan di mana rumah-rumah rapat berdempetan satu sama lain. Juga Keraton, tempat kediaman Paku Alam, Gedung Keresidenan (Gedung Agung sekarang), Kepatihan, dll., tidak luput dari kerusakan-kerusakan akibat gempa tersebut.
Sungguh suatu bencana yang tidak mudah dilupakan bagi Kota Yogyakarta: suatu peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kota Yogyakarta didirikan pada 1755, jadi waktu bencana itu terjadi, sudah berumur 112 tahun.
Kotagede rata dengan tanah
Selain kota Yogyakarta, juga Kotagede (bekas ibukota) yang tidak jauh letaknya, mengalami keadaan yang parah akibat gempa. Sejumlah 166 rumah dan bangunan lainnya roboh dan hampir seluruh kota boleh dikata "rata dengan tanah". Rumah-rumah di kota ini demikian berhimpitan satu sama lain, hingga menimbulkan bekas-bekas seperti seonggokan puing. Jumlah korban: 190 orang tewas, 135 luka-luka.
Juga perkebunan-perkebunan gula dan indigo yang waktu itu banyak terdapat di sekitar kota Yogyakarta, banyak menderita kerusakan-kerusakan yang tidak kecil. Dari perkebunan-perkebunan itu yang paling parah adalah perkebunan indigo di Ngoto dan Jatingarang, hingga rehabilitasinya makan waktu satu tahun sendiri.
Sementara itu di pelbagai tempat diketahui terjadinya tanah-tanah retak, ada yang sampai 15 meter. Di daerah Ngoto dari celah-celah tanah bahkan keluar air dengan derasnya, menimbulkan kepanikan di kalangan penduduk, jangan-jangan terjadi banjir. Tapi ternyata air yang keluar dari celah-celah tadi mengalir dengan cepat ke arah sungai yang terdekat, dan tidak sampai mengakibatkan banjir.
Menurut kesimpulan komisi tadi, gempa ini bukan akibat letusan gunung Merapi, tapi terjadi karena sebab-sebab "neptunis" di mana beberapa hari sebelumnya tampak secara mencolok sekali timbulnya banyak sumber-sumber air. Demikian pun tinggi air di sungai-sungai lebih dari biasanya, bahkan berlebihan. Ditambahkan pula, bahwa getaran gempa tersebut arahnya dari timur ke barat.
“Kota Bambu”
Hari-hari berikutnya setelah 10 Juni 1867, kota Yogyakarta dan sekitarnya meskipun diliputi kesibukan-kesibukan luar biasa, tapi keadaannya tetap aman dan tidak sampai terjadi kerusuhan-kerusuhan. kesulitan yang pertama-tama timbul adalah kurangnya tenaga kerja untuk menguburkan korban-korban yang tewas, sehingga terpaksa didatangkan dari daerah sekitarnya.
Juga untuk pembangunan kembali rumah-rumah, perbaikan gedung-gedung, dll., mengalami sedikit kelambatan karena kurangnya tenaga kerja pula. Terpaksa upah harian dinaikkan menjadi 50 sen sebagai daya penarik yang berangsur-angsur dikurangi menjadi 35 sen, sesudah ternyata tenaga-tenaga kerja kemudian dipandang mencukupi.
Suatu keuntungan, bahwa waktu itu panenan baik dan harga beras murah, sehingga tidak diperlukan bantuan dari luar daerah. Sebaliknya bahan-bahan bangunan seperti kayu, bambu, kapur, batu, dll., membumbung sebagai akibat dari kurangnya persediaan dan terlalu banyaknya permintaan.
Dan pada hari-hari pertama usaha-usaha perbaikan itulah Kota Yogyakarta seolah-olah telah menjelma menjadi "Kota Bambu", saking banyaknya tonggak-tonggak bambu yang bermunculan di mana-mana.
Tugu Jogja
Sebagai penutup: pernahkah pembaca berkunjung ke Yogyakarta?
Bila pembaca memasuki kota dari sebelah utara, tentu akan melewati sebuah monumen di tengah-tengah simpang empat, namanya "tugu pemandangan" atau biasa disingkat tugu saja. Tugu ini yang dibangun sesudah berdirinya Kota Yogyakarta pada 1755 semula tingginya 25 meter. Tapi roboh untuk 1/3-nya akibat gempa 10 Juni 1867.
Kini tinggi tugu tersebut hanya 15 meter, sesudah mengalami restorasi pada 1889 dan peresmiannya dilakukan pada tahun itu juga, persisnya tanggal 3 Oktober.