Kepercayaan ini bukan hanya isapan jempol, namun terukir dalam buku "Tuah Bumi Mataram: Dari Panembahan Senopati Hingga Amangkurat II" karya Peri Mardiyono.
Lebih menariknya lagi, tradisi berkomunikasi dengan Ratu Kidul tak hanya dilakukan oleh Panembahan Senopati, tetapi juga para raja Mataram lainnya.
Bagi masyarakat Mataram, Ratu Kidul bukan sekadar mitos, melainkan sosok nyata yang tak kasat mata. Bertemu dengannya membutuhkan ritual dan langkah khusus, seperti yang dilakukan oleh Panembahan Senopati dan para penerusnya.
Babad Tanah Jawi mengisahkan pertemuan Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul yang penuh pesona. Sang raja terpana oleh kecantikan dan kemegahan istana bawah laut Ratu Kidul. Puncaknya, Panembahan Senopati diajak masuk ke kamar tidur Ratu Kidul dan tinggal selama tiga hari tiga malam.
Selama masa tersebut, Panembahan Senopati menerima wejangan dan petunjuk dari Ratu Kidul.
Wejangan ini diyakini menjadi kunci kekuatannya dalam memimpin Mataram dan menguasai Jawa, tak hanya secara fisik, tetapi juga dalam aspek supranatural.
Peran Ratu Kidul tak berhenti di situ. Ia konon selalu siap membantu Panembahan Senopati dan keturunannya dalam menjaga kejayaan Mataram. Keberadaannya sebagai penguasa Laut Selatan Jawa menjadi faktor penting yang tak terpisahkan dari kisah gemilang Kerajaan Mataram.
Kisah Panembahan Senopati dan Ratu Kidul menjadi bukti perpaduan kekuatan politik dan supranatural dalam mencapai kejayaan. Sebuah cerita yang sarat makna dan penuh misteri, yang terus dilestarikan dan diyakini oleh masyarakat Mataram hingga saat ini.
Namun, perlu diingat bahwa kisah ini tak lepas dari interpretasi dan kepercayaan masyarakat. Di balik narasi yang diceritakan, terdapat pula fakta sejarah yang perlu ditelaah secara kritis dan objektif.
Kisah Panembahan Senopati dan Nyi Roro Kidul tak hanya menarik dari segi supranatural, tetapi juga strategi politik yang jitu. Panembahan Senopati dikenal sebagai pemimpin yang cerdas dan ambisius.
Ia berhasil membangun kekuatan militer yang kuat, menjalin aliansi dengan kerajaan lain, dan memanfaatkan situasi politik yang menguntungkannya.
Di sisi lain, kepercayaan masyarakat terhadap Nyi Roro Kidul memberikan kekuatan spiritual bagi Panembahan Senopati dan rakyat Mataram. Keyakinan ini memicu semangat dan rasa loyalitas, yang menjadi faktor penting dalam mencapai kejayaan.
Baca Juga: Pahit dan Manis Sejarah Kopi, Minuman Populer yang Pernah Dilarang di Beberapa Negara
Menelusuri Misteri
Keberadaan Nyi Roro Kidul masih menjadi misteri hingga saat ini. Banyak cerita dan legenda yang beredar tentangnya, namun tak ada bukti konkret yang dapat memastikan kebenarannya.
Bagi masyarakat Mataram, Nyi Roro Kidul bukan hanya legenda, tetapi sosok yang dihormati dan diyakini memiliki kekuatan supranatural.
Menimbang Perspektif Sejarah
Kisah Panembahan Senopati dan Nyi Roro Kidul perlu ditelaah secara kritis dan objektif. Di balik narasi yang diceritakan, terdapat pula fakta sejarah yang perlu dikaji lebih dalam.
Penelitian sejarah yang mendalam dapat membantu kita memahami konteks politik dan sosial di masa itu, serta memberikan gambaran yang lebih utuh tentang perjalanan Kerajaan Mataram menuju kejayaannya.
Kisah Panembahan Senopati dan Nyi Roro Kidul perlu ditelaah secara kritis dan objektif. Di balik narasi yang diceritakan, terdapat pula fakta sejarah yang perlu dikaji lebih dalam.
Penelitian sejarah yang mendalam dapat membantu kita memahami konteks politik dan sosial di masa itu, serta memberikan gambaran yang lebih utuh tentang perjalanan Kerajaan Mataram menuju kejayaannya.
Melangkah Lebih Jauh
Kisah Panembahan Senopati dan Nyi Roro Kidul menjadi pengingat bahwa perjalanan menuju kejayaan terjalin dari berbagai faktor, baik politik, supranatural, maupun kepercayaan masyarakat.
Memahami kisah ini secara komprehensif dapat memberikan pelajaran berharga tentang kepemimpinan, strategi politik, dan pengaruh budaya dalam sejarah Indonesia.
Referensi:
Mardiyono, Peri. 2014. Tuah Bumi Mataram: Dari Panembahan Senopati Hingga Amangkurat II. Yogyakarta: Pustaka Mardijono.
Babad Tanah Jawi. (N.d.). Surakarta: Kadaryono.
*