Batas kota di sebelah selatan waktu itu adalah sekitar Pancoran-Glodok sekarang. Faktor lalu lintas air dan darat membuat perkembangan ke arah ini lebih menguntungkan.
Semula wisma-wisma itu hanya dihuni selama hari Minggu dan libur lainnya. Jadi seperti rumah-rumah peristirahatan di Puncak bagi orang-orang kaya sekarang. Jaraknya untuk waktu itu pun cukup lumayan. Dari pusat kota ke rumah istirahat Reinier de Klerk di Molenvliet (sekarang Gedung Arsip Nasional) memakan waktu satu jam berkereta.
***
MOENSWIJK boleh dikata rumah yang paling dekat dengan pinggiran sebelah selatan pada zaman itu. Sekitar gedung Tabungan Pos (BTN) dan Asrama CPM Jaga Monyet (sekarang Jl. Suryopranoto) terdapat pos penjagaan atau benteng kecil Rijswijk. Nama Jaga Monyet menumbuhkan dugaan bahwa kawasan di luar benteng seperti Harmoni, Petojo dan lain-lain masih hutan lebat berawa-rawa.
Moenswijk berasal dari nama pemilik pertamanya, Adriaan Moens, seorang Directeur Generaal VOC yang kaya-raya. Sayang tak banyak yang kita ketahui tentang riwayat rumah dan tanah seluas 22.000 m persegi ini. Akta-akta jual-belinya hanya mengisahkan perpindahan ke tangan orang-orang lain. Riwayatnya sebagai landhuis agaknya berakhir pada tahun 1816, ketika rumah megah itu dijadikan sekolah merangkap asrama putri.
Tanah paling lebar dalam persil Hotel Duta Indonesia berasal dari tanah Reinier de Klerk yang luasnya 30.000 meter persegi. Sebelum menjabat sebagai gubernur jenderal, Reinier de Klerk menduduki berbagai jabatan yang menguntungkan dalam Kompeni sehingga menjadi kaya-raya. Ia seorang yang keranjingan kemewahan. Miliknya meliputi beberapa wisma dengan kebun. Di antaranya yang kini menjadi Arsip Nasional di jalan Gajah Mada.
Tanah di sebelah utara Moenswijk itu dimiliki de Klerk sewaktu masih menjabat sebagai anggota Raad van Indie dalam tahun 1761. Dalam 1774 tercatat sebuah rumah batu besar dengan serambi belakang, dapur, sejumlah ruangan untuk para budak (pada waktu de Klerk meninggal tercatat 200 orang budak belian dalam warisannya), istal, rumah kereta dan dua rumah kusir.
De Klerk hanya memiliki rumah ini selama 6 tahun. Dalam tahun 1774 rumah itu dijual seharga 2000 ringgit kepada C. Postmans, seorang ahli obat-obatan. Dia hanya mendiaminya selama 4 tahun. Pemilik baru, seorang anak dari G.J. van der Parra, sempat menempatinya selama 20 tahun.
Setelah mengalami beberapa kali pergantian pemilik lagi, pada tahun 1824 rumah itu dibeli oleh pemerintah dari D.J. Papet untuk dijadikan asrama putri, seperti yang terjadi dengan Moenswijk delapan tahun sebelumnya.
***
PADA tahun 1828 rumah itu dibeli dua pengusaha Perancis bernama A. Chaulan dan JJ. Didero. Kedua orang ini agaknya memang punya usaha di bidang perhotelan, sebab mereka mempunyai sebuah losmen di Bidara Cina. Nama Chaulan diabadikan untuk nama Gang Chaulan. Penduduk lama kota Jakarta mengenal gang itu dengan nama jalan Kemakmuran, yang kemudian berganti nama lagi menjadi jalan Hasyim Ashari.
Mula-mula hotel itu dikenal dengan nama Hotel Chaulan saja; kemudian menjadi Hotel de Provence (1835) untuk menghormati daerah kelahiran pemiliknya. Pada 1841, anak Chaulan, Etienne, mengadakan perseroan dengan seorang bernama Deelman.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR