Tanah Abang Dulu Tempat Kemah Prajurit Mataram, Biar Mudah Kepung VOC

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Tanah Abang, sejak pertama kali dibangun oleh orang Eropa, memang ditujukan untuk kegiatan ekonomi rakyat kebanyakan.
Tanah Abang, sejak pertama kali dibangun oleh orang Eropa, memang ditujukan untuk kegiatan ekonomi rakyat kebanyakan.

Sejak dibangun pada abad ke-18 oleh saudagar Belanda, Tanah Abang memang ditujukan sebagaipusat kegiatan ekonomi rakyat. Percampuran budaya dari berbagai suku, ras, dan bangsa terjadi di sana. Beragam peristiwa juga menyelimuti tempat yang di atasnya kini berdiri salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Indonesia.

Oleh Muhammad Fazil Pamungkas untuk Majalah Intisari edisi Juni 2022

---

Intisari hadir di WhatsApp Channnel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -8 Oktober 1740, sebuah tembakan meriam memecah kerumunan di Pasar Tanah Abang. Para pedagang, yang sebagian besar berasal dari kalangan Tionghoa, lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Mereka berusaha memastikan hidup mereka aman, tidak peduli dengan dagangan yang beberapa waktu lalu baru saja dijajakan.

Suasana di Tanah Abang hari itu amat mengerikan. Mayat-mayat bergeletakan di jalan. Korban luka berjatuhan. Pria, wanita, orang tua, anak-anak, semua tidak luput dari penghabisan. Bangunanbangunan luluh lantak, sebagian ludes terbakar. Rumah-rumah pedagang Tionghoa menjadi sasaran penjarahan. Pasar Tanah Abang yang baru seumur jagung porak-poranda.

Dalam sebuah buku terbitan tahun 1751, Reise in Ost Indien, seorang bekas tentara VOC bernama G. Bernhard Schwarzen, menggambarkan kondisi Batavia saat huru-hara terjadi. Schwarzen, yang turut serta dalam aksi “perburuan” warga Tionghoa di Batavia, menyaksikan langsung betapa banyaknya korban jiwa dalam peristiwa berdarah tersebut.

“Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi oleh mayat. Kanal penuh dengan mayat,” terang Schwarzen.

Serangan ke Tanah Abang itu merupakan jawaban dari Gubernur Jenderal Gustaf Willem Baron van Imhoff atas kegaduhan yang ditimbulkan oleh orang-orang Tionghoa sehari sebelumnya. Pada 7 Oktober, warga Tionghoa di Tanah Abang menggeruduk pos jaga VOC dan melakukan perusakan.

Hal itu diketahui oleh Imhoff yang segera mengganjar tindakan agresif tersebut. “Dengan mudah W. von Imhoff membubarkan gerombolan Tionghoa yang bikin gaduh di Tanah Abang,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta.

Tanah Abang, seperti diceritakan Hembing Wijayakusuma dalam Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, menjadi salah satu poros utama perlawanan orang-orang Tionghoa terhadap VOC. Selain sebagai salah satu pusat kegiatan orang-orang Tionghoa di Batavia, di tempat itu juga para pemberontak menghimpun kekuatan. Maka tidak heran jika Van Imhoff, sebagaimana misinya “membersihkan” warga etnis Tionghoa, melakukan penyerangan secara masif ke wilayah Tanah Abang.

Tragedi berdarah tersebut telah memberikan dampak besar terhadap kegiatan kemasyarakatan di Tanah Abang. Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe, menyebut jika Pasar Tanah Abang mengalami kelumpuhan hingga 20 tahun lamanya. Hal itu merupakan buntut dari kebijakan baru Belanda terhadap orang-orang Tionghoa selepas ketegangan di antara keduanya.

Para pedagang Tionghoa, yang semula menguasai distribusi barang-barang di pasaran Batavia, tidak lagi mendapatkan kebebasan dalam kegiatan berniaga mereka. Pemerintah Belanda amat membatasi gerak-gerik mereka.

Perlahan, hubungan VOC dengan orang-orang Tionghoa membaik. Mereka kembali memperoleh hak mengelola perdagangan di Batavia. Malah, imbuh Abdul Chaer, orang-orang Tionghoa diberi kekuasaan untuk memungut cukai pasar.

Tidak sampai di situ, orang Tionghoa juga diberi izin mengelola candu di sekitar Pasar Tanah Abang. Momentum itu dimanfaatkan oleh para pedagang untuk mengoperasikan kembali kegiatan niaga di Tanah Abang.

Penguasa pertama orang Tionghoa

Nama Tanah Abang diketahui pertama kali muncul pada abad ke-17. Mengutip PD Pasar Jaya, Pasar Tanah Abang 250, diperkirakan nama itu berasal dari tentara Kesultanan Mataram (Jawa Tengah) ketika melakukan penyerbuan ke Batavia pada 1628.

Penyerangan yang dipimpin oleh Sultan Agung tersebut, menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, dilakukan untuk menghentikan kekuasaan VOC atas Pulau Jawa.Tentara Mataram mengepung kota Batavia –usianya saat itu belum genap 10 tahun sejak didirikan tahun 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen– tidak hanya dari arah laut di utara, tetapi juga dari selatan.

Tentara Mataram lalu mendirikan sebuah perkemahan sebagai basis pertahanan mereka di Batavia. Mereka memilih sebuah tanah berbukit dengan rawa-rawa di sekelilingnya. Di tempat yang juga dilalui aliran Kali Krukut tersebut, tentara Mataram melihat tanahnya berwarna merah. Dalam bahasa Jawa sendiri “merah” disebut abang. Sehingga mereka pun menamai tanah perbukitan itu Tanah Abang.

“Ambisi Sultan Agung tidak seimbang dengan kemampuan militer dan logistiknya sehingga telah membawa dirinya ke dalam kehancuran di depan Batavia,” tutur Ricklefs.

Setelah ditinggalkan tentara Mataram, Tanah Abang dibiarkan begitu saja. Baru pada 1650, sebuah pemukiman baru didirikan di sana. Dikisahkan Herald van der Linde dalam Jakarta: History of a Misunderstood City, pemukiman tersebut dibangun oleh seorang Kapiten Tionghoa bernama Phoa Bing Gam, yang oleh orang Belanda namanya sering disebut Phoa Bingam.

Pemukiman milik Phoa Bingam itu tercatat sebagai pemukiman pertama di Tanah Abang. Sebelum membangunnya, Phoa Bingam sudah terlebih dahulu mendirikan perkebunan tebu dan pabrik tebu tidak jauh dari sana, di sebuah tempat yang dikenal sebagai Bingamshoogte (Puncak Bingam), tetapi di tahun-tahun berikutnya dikenal sebagai Tanah Abang Heuvel (Tanah Abang Bukit).

Phoa Bingam sendiri sudah menjadi penduduk Batavia sejak 1623. Dia merupakan pengusaha, sekaligus pemilik tanah yang membentang dari Sungai Ciliwung hingga Angke.

Menurut catatan pemerintah kolonial, dikutip Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia, Phoa Bingam membeli tanah tersebut, termasuk Tanah Abang, tahun 1650 dari Gubernur Jenderal Cornelis van der Lijn (1608-1679). Di atasnya, dia membangun sebuah rumah besar dan tempat pengolahan gula.

“Bingam adalah orang pertama yang memulai perdagangan di Tanah Abang, lebih dari 80 tahun sebelum Justinus Vinck memperoleh hak pasar dan mendirikan Pasar Tanah Abang pada 1735,” tutur Sven Verbeek Wolthuys dalam 250 Years in Old Jakarta: Tales of The Bik Family and The Rich History of Tanah Abang.

Di Tanah Abang, selain meneruskan usaha pengolahan tebu, Phoa Bingam menanam sejumlah komoditi. Dalam wawancara bersama Intisari, arkeolog Candiran Attahiyat mengatakan bahwa daerah Tanah Abang merupakan area perkebunan. Kala itu, daerah sekitar Tanah Abang cukup subur ditanami banyak tumbuhan, seperti kacang tanah, jahe, melati, dan jati.

Nama-nama tanaman itu dewasa ini menjadi nama jalan di wilayah Tanah Abang, di antaranya Jati Baru, Karet, Kebon Jahe, Kebon Jati, Kebon Sirih, dan Kebon Kacang.

Pada 1648, Phoa Bingam memperoleh izin dari pemerintah Belanda untuk menggali kanal dari Nieuwpoort (sekarang Jalan Pintu Besar) ke arah selatan sampai Harmonie (sekarang Jalan Harmoni) dan Jalan Suryopranoto sekarang. Kanal itu juga mengalir sampai ke Kali Ciliwung dan Kali Krukut, melewati banyak sekali tempat penting.

Penggalian kanal dilakukan Bingam untuk mempermudah dan menghemat kegiatan produksi, serta transaksi komoditi tanaman miliknya. Dengan adanya kanal, dia bisa mendistribusikan dagangan miliknya ke banyak tempat di Batavia dengan cepat. Kanal juga mempercepat perkembangan kota Batavia ke selatan. Banyak rumah yang mulai dibangun di sepanjang tepi kanal.

Melihat banyaknya kegunaan kanal tersebut, imbuh van der Linde, pada 1661 pemerintah Belanda lalu membeli kanal tersebut dari Bingam. Kanal yang semula bernama Kanal Bingam, diganti oleh pemerintah VOC menjadi Molenvliet (Kanal Mill).

“Kanal ini menjadi bagian penting dari kota (Batavia) di abad selanjutnya. Selain untuk mengangkut barang, kanal tersebut digunakan untuk mandi dan mencuci oleh masyarakat yang membangun rumah dan bangunanbangunan di sekitar kanal,” ujar Linde.

Phoa Bingam meninggal antara 1658 hingga 1664. Salah seorang putranya bernama Towasia, tutur Niemeijer, kemudian menjual lahan Tanah Abang kepada Litsoecko, letnan Tionghoa, sebesar 400 Rijksdaalders (Ringgit).

Berdasarkan dokumen yang diterima Litsoecko lahan milik Phoa Bingam membentang dari Sungai Ciliwung di timur hingga Angke di barat, dengan lebar 1.500 sampai 1.600 roeden (tongkat) dan panjang 300 roeden.

Pengukuran berdasarkan roeden itu memiliki definisi yang beragam. Namun Frederik de Haan dalam Priangan: de Preanger-regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur, menggambarkan luas tanah Phoa Bingam tersebut setara dengan tujuh hingga delapan kali ukuran Koningsplein (Lapangan Monas sekarang).

Di bawah naungan Litsoecko, tanah bekas Bingam diperluas dua kali (1672 dan 1674). Letnan Tionghoa itu pun menjadi salah satu pemilik lahan termasyhur di Batavia. Tetapi sayang, si pemilik tanah meninggal tidak lama setelahnya.

Pengelolaan Tanah Abang dan lahan lainnya lalu dilanjutkan oleh istri Litsoecko. Dia meneruskan pekerjaan suaminya, dengan mengembangkan sisi barat Tanah Abang menuju Angke pada 1685. Akan tetapi Heemraad (pejabat Dewan Belanda) berpendapat bahwa lahan di Tanah Abang dan sekitarnya telalu besar untuk dikelola secara pribadi oleh seorang Tionghoa.

Maka berdasarkan surat keputusan tahun 1688, dengan mengabaikan dokumen tahun 1650 yang diterima dari Phoa Bingam, keluarga Litsoecko menerima sebidang tanah, terdiri atas tiga bidang besar, seluas lebih kurang 800 hektar. Menurut Sven, ukurannya masih delapan kali Koningsplein (kini Lapangan Monas), kira-kira sama seperti sebelum diperluas pada 1672 dan 1674.

Pembukaan pasar Tanah Abang

Setelah istri Litsoecko wafat, tanah keluarga tersebut dibagikan ke sejumlah ahli waris. Salah seorang di antaranya kemudian menjual sebidang tanah kepada Joan de Sousa pada 1705, seharga 6.000 Rijksdaalders. Harga yang sangat tinggi jika dibandingkan masa Phoa Bingam.

De Sousa lalu menjual sebagian lahannya kepada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck pada 1705, seharga 600 Rijksdaalders. Tanah yang dimiliki oleh Riebeeck ini adalah Tanah Abang dan sekitarnya, termasuk di dalamnya wilayah selatan Pasar Tanah Abang hingga Rijswijkstraat (Jalan Majapahit), dan ke utara hingga Koningsplein Zuid (Jalan Medan Merdeka Selatan).

Pada 1706, Riebeeck memperluas lahan miliknya di Tanah Abang, dengan membeli dua bidang tanah di sepanjang Sungai Krukut. Dia terus memperbesar kepemilikan tanahnya di sekitar Tanah Abang pada tahun-tahun berikutnya.

Riebeeck juga menjadi orang pertama yang membangun rumah berdinding bata di Tanah Abang, karena para pemilik sebelumnya hanya mendirikan bangunan berbahan bambu. Lokasi rumah Riebeeck berada di lahan bekas pabrik gula milik Phoa Bingam, Tanah Abang Bukit.

Riebeeck tidak lama menikmati kekayaannya di Tanah Abang. Dia wafat pada 1713, setelah terkena penyakit disentri saat melakukan perjalanan ke gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat.Istrinya gagal mewarisi harta peninggalan Riebeeck karena dia pun wafat setahun kemudian.

Warisan milik Riebeeck akhirnya dipindahkan kepada menantunya, Gerrit van Oosten, yang menikah dengan putri Riebeeck, Elisabeth. “Tidak diketahui apa yang terjadi dengan lahan Tanah Abang selama dua dekade ke depan,” ujar Sven.

Selama periode “kekosongan” di Tanah Abang, tidak diketahui siapa pemiliknya. Baru pada 10 Januari 1733, Landdrost (setara hakim) Justinus Vinck menjadi tuan tanah di Tanah Abang. Dia membeli tanah tersebut seharga 12.600 Rijksdaalders dari Johanna Catharina Pelgrom, janda dari Direktur Jenderal Perdagangan Anthonij Huijsman.

Dalam dokumen yang diterimanya, Vinck berhak atas: tujuh buah lahan, sebidang tanah hortikultura, rumah bata, dua kandang sapi, dan berbagai bangunan lainnya di sekitar Sungai Krukut, serta Tanah Abang. Dia juga mendapat sejumlah budak, perabotan rumah lengkap, dan hewan-hewan ternak yang diternakan di sana.

Vinck melihat perkembangan Batavia ke wilayah selatan telah membentuk pemukiman baru. Dia melihat banyak sekali penduduk Batavia yang mendirikan rumah-rumah di sekitar Tanah Abang. Tetapi di sekitar hunian baru tersebut belum ada pasar.

Baru pada 1733 Vinck mengajukan pendirian pasar di dua lahan miliknya. Satu di Tanah Abang, lainnya ada di wilayah Weltevreden (Pasar Senen sekarang). Izin atas pendirian pasar Tanah Abang baru diperoleh Vinck dari Gubernur Jenderal Abraham Patras dua tahun setelahnya, pada 30 Agustus 1735.

Dalam suratnya kepada Vinck, dikutip PD Pasar Jaya, Abraham Patras mengatakan: “Pasar diselenggarakan hari Senin untuk Pasar Weltevreden, hari Sabtu untuk pasar yang akan dibangun di Bukit Tanah Abang”.

Tetapi pada 1751, pemerintah menambah izin pembukaan pasar Tanah Abang di hari Rabu. Bersamaan dengan izin menjalankan pasar, Vinck juga mendapatkan izin membangun jalan penghubung antara dua pasar miliknya. Jalan tersebut membentang dari barat ke timur, melewati Prapatan Kwitang dan Kampung Lima, sekarang Wahid Hasyim. Sementara di timur, jalan terbentang dari Jembatan Parapatan ke Pasar Senen.

Bangunan utama pasar Tanah Abang ketika dibangun sangatlah sederhana, dibuat dari bambu dan beratap rumbia. Pemilik petak di pasar tersebut umumnya berasal dari orang-orang Tionghoa. Jika pada masa Phoa Bingam etnis Tionghoa menjadi pemilik lahan, kini mereka harus membayar uang sewa kepada pemilik tanah.

Barang yang dijual di pasar di seluruh Batavia sebelumnya telah diatur oleh pemerintah Belanda. Hal itu membuat tiap pasar menawarkan barang dagangan yang berbeda. Di Tanah Abang hanya diperbolehkan menjual barang tekstil, kelontong, dan sedikit sayuran. Di luar itu, akan dianggap sebagai perdagangan ilegal.

“... yang dijual sembako dan kelontong,” ujar Candrian kepada Intisari.

Dari Vinck, kepemilikan Tanah Abang diambil oleh Gustaaf Willem van Imhoff. Tidak dijelaskan bagaimana Imhoff bisa mendapat hak atas Tanah Abang. Tetapi dia sempat mendapat tugas di Sri Lanka, sehingga tidak secara langsung mengontrol keadaan di tanah miliknya tersebut.

Setelah kembali ke Batavia pada 1740, bukannya melakukan pembangunan, dia malah memicu malapetaka di Tanah Abang. Setelah kehancuran Tanah Abang tahun 1740, Imhoff mulai membenahi wilayah miliknya tersebut. Dia meratakan rumah Riebeeck di Tanah Abang Bukit, dan mendirikan bangunan baru yang lebih mewah sekitar tahun 1743 dan 1745.

Akan tetapi Sven menduga bahwa bangunan paling mewah di Tanah Abang tersebut tidak digunakan sebagai rumah utama oleh Imhoff. Sebab, perabotan rumah tangga, pegawai, kereta kuda, serta budak di perkebunan tidak cukup banyak untuk ukuran Gubernur Jenderal VOC.

Setelah Imhoff, Tanah Abang berturut-turut diambil alih G.J.A. von Trabe (1751), Jan van’t Hoff, Johanna Mauritia Mohr (1782), dan David Joan Smith (1789). Selama empat periode kepemilikan tersebut, wilayah Tanah Abang tidak terlalu banyak berubah. Bangunan utama bikinan Imhoff tetap berdiri dan menjadi pusat kegiatan di Tanah Abang Bukit.

Di penghujung abad ke-18, Tanah Abang dimiliki oleh Willem Vincent Helvetius van Riemsdijk. Dia putra dari Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk dan disebut-sebut sebagai orang terkaya di Hindia Belanda pada waktu itu. Riemsdijk lalu mewariskan Tanah Abang kepada putranya, Willem Vincent Helvetius Jr.

Pada permulaan abad ke-19, keadaan di Tanah Abang tidak banyak berubah. Wilayah sekitar Tanah Abang Bukit masih dikelilingi oleh perkebunan, hutan, padang rumput, dan dusun. Sama seperti sebelumnya, Si Tuan Tanah tidak melakukan pembangunan apa pun di sana.

Helvetius Jr., dan istrinya, Wilhelmina Reynira Martens tidak memiliki keturunan. Sehingga, ketika Helvetius Jr. wafat pada 1848, Tanah Abang dimiliki oleh Martens. Tidak lama, janda keluarga Helvetius menikah dengan Jannus Theodorus Bik. Setelah Martens meninggal tahun 1863, seluruh lahan di Tanah Abang sepenuhnya dimiliki oleh Bik.

“Sejak tahun 1820-an, banyak rumah-rumah besar dibangun di sepanjang jalan menuju kawasan pedesaan. Tanah Abang perlahan-lahan menjadi kawasan hunian orang kaya Batavia,” kata Sven.

Kawasan elite Batavia

Pada 1820-an, seiring dengan semakin banyaknya hunian elite di sekitar Tanah Abang, jalan utama Tanah Abang mengalami peningkatan pembangunan. Jika sebelumnya, hingga tahun 1795, pembangunan di kawasan tersebut hanya dilakukan di Tanah Abang Bukit dan Pasar, pada kuartal abad ke-19, Tanah Abang menjadi daerah yang ramai. Salah satu alasannya karena di sana dibangun sebuah perkebunan besar baru.

Memasuki pertengahan abad ke-19, kawasan hunian elite di sepanjang jalan utama Tanah Abang ditempati oleh orang-orang penting. Mereka berasal dari berbagai bidang pekerjaan, seperti pejabat tinggi pemerintah, pemimpin perusahaan, pedagang kaya, dan para pemilik tanah swasta.

Hunian penduduk elite ini mempercantik suasana di kawasan Tanah Abang. Rumah-rumah yang mereka dirikan memiliki interior sangat baik.

“Foto dan lukisan lama menunjukkan sebagian besar jalan yang kosong, tertutup penuh oleh rindangnya pepohonan tua yang megah. Rumah-rumah besar, dengan akses masuk yang panjang dan dikelilingi oleh taman yang rimbun, terpisah dari jalan serta rumah-rumah lain di dekatnya oleh pilar dan pagar bercat putih klasik,” tutur Sven.

Bangunan lain yang tidak kalah megah, berada di sebelah barat Pasar Tanah Abang. Bangunan yang sekarang menjadi Museum Tekstil tersebut dibangun oleh seorang Perancis dan sejak 1860 digunakan sebagai kediaman konsul Turki.

Ketika rumah itu dibeli oleh Said Abdullah Bin Aloei Alatas, kawasan di sebelah barat Pasar Tanah Abang menjadi tempat tinggal para pedagang Arab. Tidak hanya penduduk Arab yang membangun koloni di Tanah Abang, sebagai penduduk lama Tanah Abang, orang-orang Tionghoa juga mulai berdatangan membangun hunian di sekitar pasar.

Para pedagang kaya Tionghoa tersebut, pada akhir abad ke-19, mulai memperluas huniannya ke utara Tanah Abang Bukit, di tempat yang sekarang menjadi Jalan Fachrudin. Kedatangan penduduk Tionghoa itu mengubah gaya arsitektur rumah-rumah di kawasan tersebut.

“Tanah Abang dikenal dengan keragaman etnisnya. Meskipun pada awalnya hal itu hanya terlihat di sekitar pasar di Tanah Abang Bukit, lebih jauh ke barat dan selatan,” ungkap Sven.

Kawasan Tanah Abang menjadi tempat tinggal baru para penguasa tanah di Batavia. Di sana terlahir banyak keluarga terkemuka, yang tidak sedikit memberi pengaruh kepada kemajuan kota. Satu di antaranya keluarga de Riemer, yang membangun hunian besar di sepanjang Laan de Riemer (Jalan Tanah Abang III sekarang).

Layaknya keluarga Bik di Tanah Abang Bukit, rumah keluarga Riemer juga menjadi situs mengagumkan lain yang pernah berdiri di distrik Tanah Abang selama abad ke-19. Rumah tersebut dibangun sekitar tahun 1815 oleh seorang pedagang berpengaruh VOC, Gerrit Willem Casimir van Motman.

Kepemilikan lahan lalu berpindah kepada J.D. de Riemer, notaris kenamaan di Batavia, pada 1884. Setelah kepala keluarga Riemer wafat pada 1908, ahli warisnya menjual lahan Laan de Riemer kepada pemerintah Belanda. Oleh pemerintah, lahan tersebut digunakan untuk pusat perkantoran. Di sana berdiri kantor pusat Departemen Perusahaan Pemerintah, Departemen Pendidikan, Kantor Pegadaian, dan Departemen Candu.

Sebelum kematian Riemer, rumah tinggal di sekitar Laan de Riemer mulai banyak dibangun. Namun baru pada 1930, setelah bangunan utama de Riemer diruntuhkan, pemerintah mulai fokus mengubah kawasan perkantoran di Laan de Riemer menjadi daerah hunian. Di sana berdiri vila-vila besar yang megah nan mewah.

Menuju pusat niaga

Pada abad ke-20, penampilan Tanah Abang berubah dengan cepat. Wilayah tersebut tidak lagi identik dengan hunian kaum elite di Batavia. Pembangunan yang terjadi di kawasan Cideng dan Petojo pada 1930, membuat distrik Tanah Abang menjadi padat penduduk. Pembangunan juga membuat lahan kosong untuk perkebunan berubah menjadi area permukiman.

Tidak hanya itu, jalanan Tanah Abang yang semula diisi oleh rumah-rumah megah abad ke-19 digantikan oleh perumahan modern, dengan jumlah yang banyak tetapi tidak terlalu besar.Penduduk di Tanah Abang pun semakin beragam. Berbagai etnis membangun koloni mereka masing-masing.

Uniknya, sebagai akibat dari keragaman tersebut, hunian di Tanah Abang menjadi lebih bervariasi. Ada rumah-rumah gaya abad ke-19, rumah-rumah khas orang Tionghoa, hingga rumah bergaya art deco.

Peningkatan penduduk itu juga turut merubah infrastruktur dan sistem transportasi di Tanah Abang. Perbaikan jalan, pembangunan jalur trem, perbaikan gorong-gorong, serta infrastruktur penunjang lain, menjadi agenda pemerintah Belanda untuk kawasan Tanah Abang sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Berkatnya, jalanan di Tanah Abang menjadi semakin luas, dan mampu menghubungkan satu tempat ke tempat lain di seluruh kawasan tersebut. Untuk sistem transportasi, peningkatan sangat pesat terjadi di sana. Jika pada masa-masa sebelumnya, Tanah Abang hanya dilalui oleh jenis kendaraan sederhana, seperti Ebro atau Brik, juga Sado, yang sama-sama mengandalkan tenaga hewan, yakni kuda.

Pada abad ke-20, atau sekurang-kurangnya penghujung abad ke-19, jenis kendaraan bermesin sudah melewati distrik Tanah Abang. Beberapa di antaranya, ada trem uap, trem listrik, mobil, hingga kereta api.

Tempat lain yang tidak luput dari perkembangan Tanah Abang adalah area pasar. Pada 1927, pemerintah Kota Batavia mengubah wajah pasar menjadi lebih modern. Bangunan utama pasar dibuat permanen, dan lebih kokoh dari sebelumnya.

Menariknya, hingga akhir tahun 1920-an, waktu buka pasar dalam seminggu masih sama seperti operasional abad ke-18, yakni Rabu dan Sabtu.

“Sampai tahun 1927, Pasar Tanah Abang pada dasarnya terdiri atas kios-kios pasar terbuka, meskipun selama dua dekade terakhir kios-kios dan bangunan pasar berdiri di atas fondasi mortar, dan sebagian tempat ditutupi atap,” tutur Sven.

Pada periode akhir masa kekuasaan Belanda ini, Tanah Abang menjadi tempat lahirnya organisasi pendidikan Jamiat Kheir (1923) dan organisasi sosial Hati Suci (1929). Namun pada masa ini juga, distrik Tanah Abang menjadi tempat pengurungan orang-orang Belanda oleh tentara Jepang semasa Pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Di sana, tinggal lebih dari 10.000 orang Belanda, yang menjadi tahanan kota tentara Jepang semasa Perang Dunia II.

Setelah Proklamasi

Kemerdekaan tahun 1945, antara dekade 1950-an hingga 1960-an, tidak banyak perubahan terjadi di Tanah Abang, maupun distrik-distrik lain di seluruh Jakarta. Pemerintah Indonesia ketika itu lebih mengutamakan pembangunan di sekitar Jalan Medan Merdeka dan Jalan Sudirman, yang diproyeksikan menjadi wajah ibu kota Republik Indonesia.

Pembangunan besar pertama di Tanah Abang sesudah Kolonialisme terjadi pada 1970-an. Pemerintah DKI Jakarta, di bawah pimpinan Ali Sadikin, mengubah total distrik Tanah Abang.

Pada 1973 dan 1975, Pasar Tanah Abang dibuat lebih besar, dengan kios-kios yang berdiri kokoh. Bangunan-bangunan peninggalan Hindia Belanda juga dialihfungsikan. Bahkan rumah-villa di sepanjang jalan Tanah Abang yang dahulu memiliki bentuk khas era kolonial, diubah menjadi ruko-ruko yang bentuknya lebih komersial.

Sementara, pembangunan stasiun kereta api Tanah Abang, sebagai cikal bakal bangunan stasiun sekarang, dikerjakan pada periode 1970-an hingga 1980-an. Bangunannya menggantikan bentuk stasiun lama yang dibangun pada 1899.

“Tanah Abang telah mengalami metamorfosis sempurna dalam delapan dekade terakhir. Distrik ini sebagian besar tetap bertingkat rendah sampai awal 1980-an, meskipun karakter pemukimannya berangsur-angsur berubah menjadi lebih komersial,” tulis Sven.

Bentuk Pasar Tanah Abang seperti yang kita ketahui sekarang, dibangun pada dekade pertama milenium ke-2. Setelah kebakaran hebat yang menghanguskan hampir seluruh area pasar pada 2003, dibangunlah bangunan baru yang jauh lebih megah. Terdiri atas tiga area, yakni Tanah Abang Metro, Tanah Abang Lama, dan Tanah Abang AURI.

Distrik Tanah Abang telah eksis selama ratusan tahun, melewati berbagai peristiwa dan zaman yang terus berubah. Kini daerah tersebut identik dengan pusat perbelanjaan di wilayah Jakarta. Di sini dijual berbagai macam barang, dengan harga terjangkau. Pasar Tanah Abang bahkan termasuk salah satu pusat perdagangan pakaian dan tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Begitulah sejarah Tanah Abang, wilayah yang kini menjadi salah satu denyut nadi perekonimian Jakarta. Sudah begitu sejak zaman Belanda.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait