Benarkah Dulu Sebagian Daerah Di Jakarta Tempat Jin Buang Anak?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Benarkah Dulu Sebagian Daerah Di Jakarta Tempat Jin Buang Anak?
Benarkah Dulu Sebagian Daerah Di Jakarta Tempat Jin Buang Anak?

Awalnya, VOC hanya membangun kota di sekitar wilayah Jakarta Kota saja. Setelah Daendels datang, kota melebar ke selatan.

Oleh Sukendar, pemerhati sejarah Jakarta, untuk Intisari edisi Juni 2022

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Sebelum Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) membangun kota di Jakarta, sebagian besar tanah di Jakarta adalah lahan yang kebanyakan belum dibuka. Tentu saja Jakarta bukan wilayah tak berpenghuni.

Penguasa lokal sudah ada sebelum VOC datang. Sebuah pelabuhan kuno yang dikenal sebagai Sunda Kelapa juga sudah ada. Setelah VOC datang sebuah kota kecil untuk kepentingan dagang mereka di Nusantara. Tempat itu berada di kawasan yang kini dikenal sebagai Jakarta Kota.

“Kota Batavia lama, dahulu dikelilingi oleh tembok dan parit, tidak begitu luas (kurang lebih 1,5 km x 1 km). Wilayah itu meliputi daerah sekitar Menara Syahbandar di Pasar Ikan sampai Jalan Asemka-Jalan Jembatan Batu Sekarang,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016:101).

Selama sekitar 200 tahun Jakarta kota menjadi pusat kota dari sebuah kota yang oleh VOC Belanda disebut sebagai Batavia. Daerah di luar Jakarta Kota dulunya sempat dianggap daerah luar kota. Daerah luar kota itu biasanya dihuni golongan di luar VOC Belanda.

Entah orang Indonesia maupun Tionghoa. Dalam sejarahnya kota Batavia yang belakangan kita sebut Jakarta itu melebar ke arah selatan.

Baca Juga: Kenapa 22 Juni Yang Dipilih Sebagai Hari Ulang Tahun Jakarta?

Jakarta Kota dulu lalu Gambir

Marsekal Herman Willem Daendels adalah orang yang cukup berpengaruh dalam pembentukan kota Jakarta. "Dia memindahkan kota beberapa mil ke daerah pedalaman yakni ke daerah pinggiran, yang disebut Weltevreden, dahulu perkebunan Chastelein,” tulis Adolf Heuken.Weltevreden kini menjadi daerah yang disebut Gambir.

Era Daendels adalah masa perang. Daendels lebih suka menetap di Istana Bogor ketika bersiaga jika Inggris menyerbu Jawa. Di masa Daendels, seperti disebut Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010:42) ada rencananya pemindahan pusat pemerintahan ke Surabaya atau Semarang.

Namun, pusat pemerintahan itu akhirnya hanya dipindah ke Weltevreden di dekat Kota Itu lebih karena kekurangan biaya.

Bahan bangunan dalam pembangunan perkotaan baru itu, diambil dari puing-puing yang diruntuhkan dari bangunan warisan Jan Pieterszoon Coen di Kota Tua. Daendels sendiri pada 1809 mulai membangun sebuah istana di dekat Lapangan Banteng.

Perancang istana itu adalah Letnan Kolonel JC Schultze dengan gaya Empire Style yang sedang menjadi tren. Bagian induk istana akan menjadi tempat tinggal Gubernur Jenderal dan sayap kanan dan kirinya menjadi perkantoran.

Istana di dekat Lapangan Banteng itu tidak bisa dipakai oleh Daendels, karena sebelum istana ini selesai, pada tahun 1811 Daendels dipindahkan dan digantikan oleh Jan Willem Janssens. Heuken menyebut pada masa Janssens bagian istana yang belum kelar ini diatapi rumbia.

Sebelum Daendels datang, sekitar Gambir, bahkan sepanjang Jalan Gajah Mada (Molenvliet) masih terhitung daerah pinggiran atau luar kota dari Batavia. Di selatan Molenvliet itu terdapat lahan milik Jacob Andries van Braam.

Anak dari Laksamana VOC Jacob Pieter van Braam, (27 Oktober 1737-16 Juli 1803) ini pernah berdinas di VOC. Lahan di sekitar situ sebelumnya pernah dimiliki oleh Cornelis Chastelein yang sohor karena membagikan tanah-tanahnya untuk bekas budak yang dimerdekakannya.

Jacob Andries van Braam antara tahun 1796 hingga 1804 sudah membangun rumah peristirahatannya di sana. Rumah peristirahatannya itu belakangan menjadi Paleis Rijswijk atau Istana Negara. Setelah istana negara itu dirasa sempit, sebuah istana baru dibangun pada tahun 1873.

Istana itu selesai pada 1879 dan dinamai Koningsplein Paleis (Istana lapangan kerajaan). Istana merdeka dibangun menghadap lapangan kerajaan. Lapangan kerajaan itu kini dikenal sebagai kawasan Monumen Nasional (Monas).

Di sekitar daerah istana yang dibangun van Bram itu lalu berdiri banyak rumah pejabat, kantor pemerintah atau fasilitas umum lainnya. Daerah di selatan lapangan kerajaan lalu menjadi hunian-hunian pribadi.

Menteng, yang kini menjadi perumahan elite, sebelum 1908 adalah tanah partikelir yang di atasnya adalah persawahan yang juga ditumbuhi kelapa. Restu Gunawan dalam Gagalnya Banjir Kanal (2010:54) menyebut kala itu sudah ada perencanaan pembangunan perumahan yang sehat.Perumahan yang sehat itu adalah hunian kelas atas yang digarap oleh NV De Bouwploeg (baca: boplo). Perumahan itu, setelah Indonesia merdeka menjadi hunian para pejabat Republik Indonesia.

Sebelum Daendels memindahkan pusat pemerintahan ke Gambir, dua pasar sudah dibangun oleh Justinus Vinck pada 1735, yakni Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Dua pasar itu kemudian dihubungkan sebuah jalan yang melalui Kebon Sirih. Jumlah pasar tentu saja terus bertambah dan pasar yang ada di Jakarta umumnya menjadi besar.

Tuan tanah Jakarta tempo dulu

Pada abad ke-19, daerah pinggiran dari pusat kota Batavia adalah daerah-daerah yang sunyi dan biasanya merupakan tanah-tanah partikelir yang dikuasai tuan tanah. Tanah partikelir itu biasanya adalah hutan yang dibuka menjadi perkebunan.

Di atas tanah partikelir biasanya terdapat landhuis yang merupakan rumah dari si tuan tanah. Kampung-kampung kecil para penggarap biasanya ada di atas tanah partikelir itu.

Cornelis Senen asal Banda yang tiba di Jakarta pada 1621 itu dikenal sebagai guru yang sangat berpengaruh di kalangan Kristen Pribumi dan enggan dijadikan pendeta oleh persekutuan pendeta Belanda. Senen juga menjadi kepala Kampung Bandan dan punya banyak tanah. Tak heran dia dikenal sebagai Meester Cornelis Senen.

“Pada pertengahan abad ke-17, Meester Cornelis Senen memiliki tanah yang sangat luas. Bayangkan, tanahnya membentang dari Jatinegara (dekat Ciliwung yang kini jadi langganan banjir) hingga Cakung, ke arah Bekasi,” tulis Alwi Shahab dalam Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006:179).

Cornelis Senen, menurut Adolf Heuken (2016:413), di tahun 1656 mendapat hak untuk menebang pohon di tepi Sungai Ciliwung, di selatan kota. Di tahun 1661 dia telah mengelola lahan seluas 5 km, di antara Ciliwung dan Cipinang.

Tanah-tanah itu semula hutan. Ketika hutan dibuka, para pembuka lahan tinggal di dalam sebuah kamp yang dilindungi pagar berduri. Di dekat situ lalu menjadi daerah bernama Bukit Duri.

Daerah yang dibuka karena jasa Meester Cornelis Senen itu, di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Meester Cornelis. Di atasnya pada awal abad ke-20 sudah terdapat pemukiman, pasar, stasiun dan instalasi militer. Setelah Indonesia merdeka, nama Meester Cornelis diganti menjadi Jatinegara sampai hari ini.

Tanah partikelir semakin banyak setelah terjadi perang antar kerajaan di Eropa. Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe (2017:11) menyebut setelah VOC bubar banyak tanah-tanah di Batavia dan di kota lain dijual kepada orang kaya Arab, Eropa dan Tionghoa.

Cakung, di zaman tuan tanah partikelir berkuasa, juga daerah perkebunan. Buku Regerings Almanak van Nederlandsch Indië voor het Jaar 1867 Volume 40 (1867:228) memuat, Cakung dimiliki oleh Adolph Robertsen serta menjadi daerah penghasil padi dan kelapa.

Adolph Robertsen adalah cucu mantan Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen (1778 – 1848). Adolph Robertsen memiliki tanah di Pondok Kelapa, Duren Sawit, di selatan Cakung. Pondok Kelapa kala itu menjadi daerah penghasil padi.

Tuan tanah partikelir biasanya sering berubah dalam hitungan puluhan tahun. Jadi, ada pula yang keluarga tuan tanah yang menguasai sebuah tanah partikelir lebih dari setengah abad dan ada pula yang lebih singkat lagi. Seperti tanah partikelir lain, pemilik tanah partikelir di Cakung juga mengalami perubahan.

Sementara menurutRegeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1898 Volume 1 (1898:423) pemilik Cakung pada 1898 itu adalah Lie Tjoe Hong dan pengelolanya adalah Ong Tjeng Bio. Kala itu Cakung menghasilkan padi, kacang dan Indigo.

Menurut De locomotief (04-07-1905) pada awal abad ke-20 tuan tanah Cakung adalah Lauw Koei Kim yang tinggal di Meester Cornelis.

Tanah partikelir Cililitan pada abad ke-17 pernah dimiliki Pieter van der Velde. Tanah itu pernah menjadi perkebunan karet. Pada awal abad ke-20 keluarga Rollinson pernah menjadi penguasanya.

Lady Rollinson, disebut Nugroho Notosusanto dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, ±1700-1900 (2008) pada 5 April 1916 mengadakan pertunjukan tari topeng Vila Nova, namun diserang massa Entong Endut.

Sebagian tanah Cililitan lalu dikuasai pemerintah kolonial. Di Cililitan pada 1924 berdiri lapangan udara tertua di nusantara. Kemang juga pernah menjadi tanah partikelir. Regerings Almanak van Nederlandsch Indië voor het Jaar 1867 Volume 40 (1867:230) menyebut tanah partikelir Kemang tahun 1867 adalah daerah penghasil kelapa dengan pemilik Achmat Djoehari.

Di masa-masa ini Kemang adalah daerah yang cukup sepi seperti kebanyakan daerah lain di Jakarta, punya reputasi sebagai “tempat jin buang anak”.

Setelah tahun 1938, pemerintah kolonial berusaha menguasai kembali tanah yang semula dikuasai tuan tanah partikelir. Koran De Telegraaf (26-03-1938) memberitakan bahwa pemerintah kolonial membeli tanah partikelir di Teluk Pucung, Bekasi Barat, Rawa Pasung, Sukapura, Ujung Menteng, Cikunir, Pondok Kelapa dan Cakung melalui NV Javasche Private Landerijen Maatschappij.

Berubah jadi kota

Pada awal abad ke-20, Sunter adalah daerah sepi. Pernah ada cerita perkosaan dan pembunuhan terhadap Siti Ariah dari Kampung Sawah di pertengahan abad ke-19. Setengah abad kemudian, Sunter masih daerah sepi.

Letnan Oerip Soemohardjo pernah berlatih di sana bersama pasukannya. Kata istri Oerip, Rochmah Subroto dalam Oerip Soemohardjo: Letjen Jenderal TNI 22 Pebruari 1893 - Nopember 1948 (1973:42), kerbau liar sering berkeliaran di daerah itu.

Di era Oerip dan pasukannya latihan di Sunter, Jakarta belum sepadat saat ini. Peta Batavia en Omstreken terbitan Topographische Inrichting Batavia 1914 memperlihatkan daerah yang disebut kota masih meliputi, Jakarta Kota, Kecamatan Gambir, Salemba hingga Jatinegara saja.

Kawasan elite Menteng kala itu masih dibangun. Di luar daerah itu hanya ada kampung-kampung yang dihuni orang Indonesia yang terpinggirkan dan juga persawahan. Setelah era 1930-an, daerah yang disebut kota pun juga tidak banyak berubah.

Peta Batavia Military Guide Map 1945 memperlihatkan Jakarta masih dikepung banyak kampung dan sawah-sawah. Di era-era ini Menteng sudah menjadi perumahan elite. Di selatan Menteng hanya ada kampung-kampung. Begitu juga di selatan daerah Jatinegara.

Setengah abad setelah Letnan Oerip berlatih bersama anak buahnya di Sunter, daerah Sunter bahkan masih sepi juga. Pemerintah di era 1960-an juga tak hendak menjadikan Sunter sebagai daerah ramai.

Buku Pelita I Jakarta Utara, 1 April 1969-31 Maret 1974 (1974) menyebut Semper, Cilincing, Tugu, Kelapa Gading. Pegangsaan, Sunter dan Petukangan hendak dijadikan daerah pertanian. Perannya bukan tidak penting tapi sebagai penyangga ibukota dengan pangan.

Bukan sebagai hunian seperti sekarang. Sunter setelah 1970-an menjadi hunian setelah pada 1973, ketika perusahaan milik Thong Sit Lim alias Anton Haliman (1926-1999) membangun kawasan perumahan Sunter Agung Podomoro.

Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto (2016:242) mencatat Ciputra pernah ditawari Liem Sioe Liong untuk menggarap daerah itu sebagai hunian yang dilengkapi pusat perbelanjaan dan pendidikan, namun Ciputra menolaknya dan memilih Pondok Indah, di selatan Jakarta.

Setelah Sunter, daerah Kelapa Gading digarap sebagai perumahan setelah 1970-an. Kelapa Gading, seperti dicatat Arifin Pasaribu dalam Hotel Indonesia: Gagasan Bung Karno, Cagar Budaya Bangsa, Dibangun dengan Dana Perampasan Perang Jepang (2014:161) menyebut bahwa hingga tahun 1974 daerah Kelapa Gading masih berupa rawa-rawa dan resapan air.

Wajah Kelapa Gading mulai berubah tahun 1975, ketika Summarecon Agung yang dipimpin Liong Sie Tjien alias Soetjipto Nagaria menjadikannya proyek Real Estate yang kemudian terkenal ramai. "Saya merasa tahun 1974 inilah permintaan rumah para ekspatriat ini mencapai masa keemasannya," aku Soetjipto Nagaria, seperti dikutip Hermawan Kertajaya dkk dalam Creating land of golden opportunity (2005:8).

Di sisi barat Jakarta, beberapa pengembang juga merubah rawa-rawa menjadi perumahan yang tidak bisa dibeli kebanyakan orang di Jakarta. Kini di daerah itu muncul perumahan mewah Pantai Indah Kapuk (PIK). Selain PIK, daerah Cengkareng dan Kalideres juga berubah.

Perusahaan pengembang milik Ciputra membangun perumahan Citra Garden. Kehadiran bandara Soekarno-Hatta (Soetta) sejak 1985 ikut meramaikan kawasan itu. Perumahan-perumahan terus bermunculan di daerah Cengkareng dan Kalideres itu.

Semakin ke barat, yang secara administratif tidak dalam wilayah DKI Jakarta lagi, seperti Serpong dan Bintaro bahkan ikut menjadi ramai.

Di selatan Jakarta, tak hanya daerah Pondok Indah saja yang berkembang menjadi perumahan yang bonafid. Di daerah Kebayoran muncul pusat keramaian bernama Blok M setelah era 1980-an. Setelah Blok M daerah Kemang dan sekitarnya menjadi ramai. Tak hanya daerah yang termasuk dalam wilayah Kotamadya Jakarta Selatan saja yang ramai, daerah yang termasuk Depok dan Tangerang Selatan juga menjadi ramai.

Para pekerja Jakarta adalah orang-orang yang memilih tinggal di luar wilayah DKI Jakarta, demi mendapatkan hunian nyaman dengan harga miring, sesuatu yang tidak bisa didapat lagi di Jakarta.

Banyaknya pekerja Jakarta yang tinggal di luar DKI Jakarta menjadi penyebab kemacetan di Jakarta pada jam pulang dan pergi kerja. Setelah tahun 2000 menjadi sulit menemukan daerah dengan reputasi sebagai tempat jin buang anak di dalam provinsi DKI Jakarta.

Daerah perbatasan ibukota dengan provinsi lain saja sudah cukup ramai saat ini. Ramainya daerah perbatasan provinsi DKI Jakarta dengan Banten dan Jawa Barat itu, tentu ada kaitannya sentralisasi orde baru yang membuat Jakarta dianggap pusat segala-galanya.

Bahkan di antara pemilik rumah di Jakarta bukan golongan orang yang dianggap sebagai penduduk dengan KTP Jakarta. Orang kaya dari daerah bahkan kerap menempatkan asetnya di DKI Jakarta.

Begitulah riwayat dan perubahan Jakarta dari sebuah kota dagang menjadi kota modern seperti sekarang ini.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait