[ARSIP]
Dengan dibangunnya kompleks pertokoan Duta Merlin pada tahun 1971, tamatlah riwayat Hotel Duta Indonesia atau Hotel Des Indes. Jakarta pun kehilangan satu gedung beriwayat lagi, yang telah menyaksikan perkembangan kota ini dari akhir abad ke-18 sampai tahun 70-an.
Oleh Siswadhi untuk Kisah Jakarta Tempo Doeloe/Intisari
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Tidak seluruh Hotel Duta Indonesia yang dulu bernama Hotel des Indes berusia setua itu. Bagian yang tertua adalah dependance atau paviliun sebelah selatan yang biasanya dipakai untuk resepsi atau pameran.
Bangunan ini dulunya bukan paviliun, melainkan rumah kediaman lengkap dengan bangunan-bangunan gandok, rumah-rumah budak, kandang kuda dan kebun yang cukup luas. Keadaannya tidak banyak berubah dari rumah asalnya, yang dulu bernama Moenswijk.
Persil tanah Moenswijk merupakan satu di antara rumah-rumah peristirahatan yang dibangun orang-orang kaya sepanjang terusan Molenvliet pada akhir abad ke-18. Perkembangan kota ke arah selatan itu dirintis dengan pembuatan saluran air Molenvliet yang menghubungkan kota dengan kawasan yang kemudian menjadi Weltevreden. Jalan yang menghubungkan Batavia dengan daerah pedalaman itu sudah ada pada abad ke-17.
Pada abad ke-18, orang-orang kaya terutama para pejabat VOC berlomba-lomba membangun rumah-rumah mewah sepanjang jalan itu. Keadaan di kota makin dianggap tak sehat, sehingga mereka lalu membangun wisma-wisma dengan kebun-kebun luas di daerah luar kota, lebih-lebih ke arah selatan.
Baca Juga: Benarkah Dulu Sebagian Daerah Di Jakarta Tempat Jin Buang Anak?
Batas kota di sebelah selatan waktu itu adalah sekitar Pancoran-Glodok sekarang. Faktor lalu lintas air dan darat membuat perkembangan ke arah ini lebih menguntungkan.
Semula wisma-wisma itu hanya dihuni selama hari Minggu dan libur lainnya. Jadi seperti rumah-rumah peristirahatan di Puncak bagi orang-orang kaya sekarang. Jaraknya untuk waktu itu pun cukup lumayan. Dari pusat kota ke rumah istirahat Reinier de Klerk di Molenvliet (sekarang Gedung Arsip Nasional) memakan waktu satu jam berkereta.
***
MOENSWIJK boleh dikata rumah yang paling dekat dengan pinggiran sebelah selatan pada zaman itu. Sekitar gedung Tabungan Pos (BTN) dan Asrama CPM Jaga Monyet (sekarang Jl. Suryopranoto) terdapat pos penjagaan atau benteng kecil Rijswijk. Nama Jaga Monyet menumbuhkan dugaan bahwa kawasan di luar benteng seperti Harmoni, Petojo dan lain-lain masih hutan lebat berawa-rawa.
Moenswijk berasal dari nama pemilik pertamanya, Adriaan Moens, seorang Directeur Generaal VOC yang kaya-raya. Sayang tak banyak yang kita ketahui tentang riwayat rumah dan tanah seluas 22.000 m persegi ini. Akta-akta jual-belinya hanya mengisahkan perpindahan ke tangan orang-orang lain. Riwayatnya sebagai landhuis agaknya berakhir pada tahun 1816, ketika rumah megah itu dijadikan sekolah merangkap asrama putri.
Tanah paling lebar dalam persil Hotel Duta Indonesia berasal dari tanah Reinier de Klerk yang luasnya 30.000 meter persegi. Sebelum menjabat sebagai gubernur jenderal, Reinier de Klerk menduduki berbagai jabatan yang menguntungkan dalam Kompeni sehingga menjadi kaya-raya. Ia seorang yang keranjingan kemewahan. Miliknya meliputi beberapa wisma dengan kebun. Di antaranya yang kini menjadi Arsip Nasional di jalan Gajah Mada.
Tanah di sebelah utara Moenswijk itu dimiliki de Klerk sewaktu masih menjabat sebagai anggota Raad van Indie dalam tahun 1761. Dalam 1774 tercatat sebuah rumah batu besar dengan serambi belakang, dapur, sejumlah ruangan untuk para budak (pada waktu de Klerk meninggal tercatat 200 orang budak belian dalam warisannya), istal, rumah kereta dan dua rumah kusir.
De Klerk hanya memiliki rumah ini selama 6 tahun. Dalam tahun 1774 rumah itu dijual seharga 2000 ringgit kepada C. Postmans, seorang ahli obat-obatan. Dia hanya mendiaminya selama 4 tahun. Pemilik baru, seorang anak dari G.J. van der Parra, sempat menempatinya selama 20 tahun.
Setelah mengalami beberapa kali pergantian pemilik lagi, pada tahun 1824 rumah itu dibeli oleh pemerintah dari D.J. Papet untuk dijadikan asrama putri, seperti yang terjadi dengan Moenswijk delapan tahun sebelumnya.
***
PADA tahun 1828 rumah itu dibeli dua pengusaha Perancis bernama A. Chaulan dan JJ. Didero. Kedua orang ini agaknya memang punya usaha di bidang perhotelan, sebab mereka mempunyai sebuah losmen di Bidara Cina. Nama Chaulan diabadikan untuk nama Gang Chaulan. Penduduk lama kota Jakarta mengenal gang itu dengan nama jalan Kemakmuran, yang kemudian berganti nama lagi menjadi jalan Hasyim Ashari.
Mula-mula hotel itu dikenal dengan nama Hotel Chaulan saja; kemudian menjadi Hotel de Provence (1835) untuk menghormati daerah kelahiran pemiliknya. Pada 1841, anak Chaulan, Etienne, mengadakan perseroan dengan seorang bernama Deelman.
Nama itu masih bisa dikenali sampai sekarang dalam kata delman, kendaraan hasil rekaannya dalam bengkel keretanya. Pimpinan baru, C. Denninghoff, membaptisnya menjadi Rotterdamsch Hotel pada tahun 1854.
Nama Hotel des Indes yang membawanya ke puncak ke kemegahan diresmikan dengan akta pada tanggal 1 Mei 1856. Menurut Dr. de Haan, penulis buku Oud Batavia yang terkenal, nama baru ini merupakan hasil kasak-kusuk penulis Multatuli dengan pemilik hotel. Konon Multatuli yang sempat tinggal sementara di hotel itu tak melewatkan kesempatan untuk membujuk pemiliknya agar mengganti nama hotelnya menjadi "des Indes".
***
JACOB Lugt, pemilik baru yang membeli Hotel des Indes pada 1888, adalah seorang bekas militer dan pengusaha yang sukses. Dialah yang mulai mengusahakan hotel itu secara besar-besaran. Antara tahun-tahun 1891-94 dia membeli tanah-tanah di sekitarnya dan dijadikan suatu kompleks hotel yang cukup besar seluas 80.000 m persegi.
Tanah-tanah itu meliputi bekas Moenswijk yang dijadikan receptie-paviljoen, tanah Reinier de Klerk, persil yang disebut Hortus Medicus (kebun tanaman obat-obatan) douarier (janda) van der Parra dan persil Goldmann yang berbatasan dengan Gang Chaulan.
Jacob Lugt yang kaya-raya itu ternyata tidak sukses dalam usaha perhotelan. Entah karena spekulasi lain, ataukah ia terlalu royal terhadap para tamunya. Pada 1897 dia bangkrut dan hotel tersebut dijadikan perseroan terbatas. Para pemegang saham segera mengadakan berbagai penghematan. Selama itu tarifnya hanya F.5,- termasuk minum-minum gratis.
Betapa mewahnya hidangan hotel dapat kita baca dalam laporan penulis M. Buys:
"Siang-siang pukul setengah satu atau jam satu dihidangkan rijstafel, dengan hidangan pokok nasi dengan aneka macam lauk pauk, seperti ayam dimasak dalam berbagai cara, saus kari, daging, sayur-mayur, kaldu, aneka jenis sambal-sambalan, ikan merah Makassar, chutney dan sebagainya. Sesudah itu masih dihidangkan makanan Eropa seperti sayur-sayuran, daging dan selada. Makanan siang itu diakhiri dengan dessert."
Setelah penghematan, menu makanan pagi hanya 2 butir telur untuk setiap tamu, keju, daging dingin dan daging kaleng, selai dan sebagainya. Makan malam terdiri atas sup, kroket, tiga jenis hidangan dan dessert. Pada makan siang tidak dilakukan pengurangan sebab khawatir para tamu merasa dirugikan.
***
USAHA perluasan dengan menambah kamar-kamar baru diadakan pada 1898. Sembilan tahun kemudian ditambah dengan sejumlah paviliun baru. Bagian depan yang besar dengan lobby yang luas dibangun pada tahun 1931. Sedang rumah asli yang tampak sebagai bangunan induk dalam foto-foto kuno pada pertukaran abad ini masih berdiri di bagian belakang, dikenal sebagai "rumah merah".
Sejak masa itu sampai tahun lima puluhan, Hotel des Indes merupakan hotel kelas satu yang tiada duanya dalam prestise dan kedudukannya di Jakarta. Setelah itu kedudukannya makin merosot. Apalagi ketika harus menampung golongan pegawai negeri yang tak mendapat perumahan di Ibu kota.
Kemerosotan itu makin parah setelah pengambilalihan. Hotel kelas satu itu seakan-akan menjadi suatu asrama besar. Dengan adanya Hotel Indonesia (tahun enam puluhan), namanya nyaris tak pernah disebut-sebut lagi.
Pada tahun 1971 bangunan Hotel des Indes yang sudah mencatat riwayat selama 115 tahun itu diratakan dengan bumi. Bersamaan dengan itu hilang pula satu babak sejarah. Ternyata pragmatisme lebih menang atas historisitas. Atau mungkinkah masyarakat sengaja ingin menghapus kenang-kenangan pada kolonialisme?
Begitulah riwayat Hotel Des Indes, hotel paling mewah se-Batavia kini Jakarta pada masanya.
Dapatkan berita terupdate dari Intisari-Online.com di Google News