Tak banyak yang tahu tentang bagaimana makanan diperoleh masyarakat pada permulaan Batavia. Seperti apa rupa Batavia ketika itu? Bagaimana ketika orang-orang Eropa mengenal nasi? Bagaimana pula rupa pasar, aktivitasnya, dan lainnya?
Oleh A.S. Rimbawana untuk Majalah Intisari edisi Juni 2022
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sebagai kota terbesar di Indonesia, sudah banyak kisah terkait Jakarta yang sudah terdokumentasi dengan baik. Meski begitu, tak sedikit pula yang tercecer. Salah satunya adalah kisah tentang bagaimana masyarakat Batavia memperoleh makanan.
Kisah itu, bila ada, minim belaka. Di Indonesia, kisah tentang pangan memang baru saja tumbuh. Beberapa dirintis oleh para sejarawan, jurnalis, maupun penulis pada umumnya.
Di ranah sejarah, menaja kisah pangan hanya mungkin dilakukan dengan memahami berbagai kelindan selubung topik— seperti lingkungan, kesehatan, politik, dan ekonomi. Maka itu, topik-topik lain perlu diperhatikan betul.
Seperti ungkap Fadly Rahman, sejarawan pangan dari Universitas Padjajaran, Bandung, dalam korespondensi dengan Intisari, bahwa menguasai pola perkembangan pangan dengan segala permasalahannya tentu akan mempermudah kerja-kerja pendokumentasian kisah pangan.
Tanpa memahami kelindan aspek itu, sukar untuk memahami dengan cermat permasalahan di balik makanan. Maka kali ini, mari menelusuri masa silam, melihat bagaimana orang-orang di Batavia berjumpa, memperoleh, pangan dan kisah di baliknya.
Harimau di Kastil Batavia
Usai digilas oleh armada Kongsi Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie/ VOC) yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen (1587–1629) pada 1619, Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Usai Belanda berkuasa atas Jayakarta, mereka mengubah nama bandar itu menjadi Batavia dan membangun kastil. Kelak, penduduk Eropa mukim di dalam bangunan kastil itu. Dari situlah hikayat Batavia sebetulnya bermula.
Meski telah dikuasai Belanda, Batavia hanyalah wilayah kecil di tepi laut. Menurut Denys Lombard, sejarawan Indonesia asal Prancis dalam karya sohor, Nusa Jawa Silang Budaya (2005) menulis bahwa pada abad ke-17 masih ditemukan harimau yang berkeliaran di lapangan Kastil Batavia.
Ketika Lombard menulis riset yang perdana terbit di Prancis pada 1990 itu, sebagian orang Barat masih menganggap bahwa Nusantara berupa hutan yang belum banyak terjamah.
Tampaknya, hutan di Batavia memang masih lebat pada waktu itu. Baru pada 1866 seseorang perlu mencapai Priangan–wilayah di selatan Batavia—untuk berburu sepasang badak. Baru pada abad setelahnya, hutan-hutan tampak telah semakin mundur ke pedalaman di selatan kota.Ketika hutan masih terjaga, tentu jenis tumbuhan lebih beragam.
Pada abad ke-19, Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur ketika Inggris berkuasa di Jawa, juga mendokumentasikan seluruh amatannya dalam The History of Java. Raffles takjub dengan alam Jawa. Katanya, “Di pulau yang banyak terdapat tumbuhan, seperti Jawa, tak perlu khawatir bila kelaparan.”
Meskipun amatan Raffles tidak menyebut Batavia secara khusus, tetapi pada masa itu demarkasi antar wilayah memang masih kabur. Tidak begitu kentara antara Jawa bagian tengah, Batavia, maupun Sunda. Selain itu, Pulau Jawa secara keseluruhan juga masih lebat oleh hutan. Maka, tak sukar bagi Raffles untuk berkata demikian.
“Orang bisa hidup hanya dengan memakan sayur. Andaikata tidak ada pemerintahan yang opresif atau kerusuhan massa, maka tidak ada alasan kekurangan makanan di antara penduduk,” tulis Letnan Gubernur Inggris itu.
Bila sebuah keluarga hidup di hutan, lanjut Raffels, mereka akan mudah menemukan berbagai akar, daun, atau umbi yang dapat dimakan.
Cara makan bumiputera pun amat sederhana. Para bumiputera jelata lazim bersantap beralas daun pisang atau piring kayu, sembari duduk lesehan. Mereka makan langsung menggunakan tangan yang dibasuh air bersih terlebih dulu.
“Makan enak berarti makan dengan lahap, demikian istilah mereka, dan mereka merasa puas dengan hidup secukupnya,” ujar Raffels.
Ikan asin disukai orang Betawi
Selain hutan yang masih lebat, para pemukim di Batavia juga mendapat limpahan pangan dari tangkapan hasil laut–seperti udang, berbagai jenis ikan, dan kerang. Namun, karena kadang bahan pangan ini tidak sekaligus habis, maka ikan-ikan dijemur di bawah terik matahari.
Ikan akan terawetkan secara alami dan menjadi ikan asin, salah satu lauk andalan orang-orang Batavia. Orang-orang di pedalaman juga gemar menyantap nasi serta ragam sayuran, ditambah lauk berupa ikan atau unggas. Namun, ikan yang lebih banyak dikonsumsi ketimbang yang lain.
Produk yang lain seperti garam dan terasi juga digemari di pedalaman. Masyarakat pedalaman kemudian menukar barang-barang yang bisa mereka produksi–beras, buah, dan sayur—dengan berbagai barang dari pemukim di pantai ini.
Sementara itu, orang-orang yang mukim di pantai, demikian tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, memang bergantung pada beras yang dihasilkan oleh orang-orang yang mukim di pedalaman. Maka itu, permukiman tepi laut acap ramai oleh aktivitas perdagangan, sebab di sinilah tempat barang kebutuhan saling dipertukarkan.
Rempah yang menarik para pedagang Eropa semula hanyalah komoditas belaka. Justru, ketika orang Eropa datang mencari rempah ke Batavia, bukan sekadar rempah seperti pala dari Maluku, misalnya, yang mereka jumpai. Akan tetapi ragam tanaman asing yang sohor khasiatnya.
“Asam, kunyit, jahe, kemukus, serta berbagai rempah lainnya yang digunakan sebagai penyedap makanan dan obat-obatan,” tulis Reid.
Pasar di bawah pohon rindang
Selain dari hutan dan laut, pasar memang salah satu sumber orang-orang Batavia mendapatkan bahan pangan. Andries Beeckman (1628–1664), seorang pelukis Belanda mendokumentasikan aktivitas perdagangan ini di lingkungan Kastil Batavia dilihat dari tepi Kali Besar–kini daerah sekitar tepian sungai di Kota Tua–sebelah barat pada sekitar 1662.
Di lukisan itu, tampak di bawah jajaran pohon kelapa orang-orang dari berbagai suku bangsa riuh dengan beragam aktivitas. Bila kita melihat detail lukisan Beeckman, tampak pula beberapa aktivitas perdagangan bahan makanan yang berlangsung oleh warga Batavia.
Misalnya, tampak figur para wanita tengah menjajakan buah-buahan: pisang, nanas, serta aneka buah lainnya.
Di sebelah kanan lukisan, di tepi kali yang riuh, juga terdapat figur lelaki Tionghoa tengah menjaja daging atau ikan. Di bagian atas lukisan, di antara dahan-dahan kelapa, juga terdapat figur para lelaki yang tampak sedang menyadap nira kelapa.
Bukan hanya Beeckman, salah satu perwira artileri Belanda berdarah Denmark, Johannes Rach (1720–1783) juga mahir melukis. Ia telah mendokumentasikan pula aktivitas perdagangan di beberapa pasar Batavia.
Rach bertugas sejak 1762 dan telah melukis beberapa sudut kota Batavia. Dari beberapa lukisan Rach, tersirat gambaran bagaimana orang-orang Batavia memperoleh makanannya melalui perdagangan di pasar.
Dalam salah satu lukisan Rach, “Het Gezigt de Passer van Batavia te zien Langs het Groote/Revier na de Dies Poort in’t verschiet zien de Groote/Portegiese en Luyterse Kerk” (1775), tampak pasar terbuka yang berada di tepi Kali Besar (groote rivier).
Satu yang paling kentara, terdapat figur Tionghoa bertaucang–kepang rambut yang dibiarkan menjuntai pada laki-laki Tionghoa—tampak tengah menjajakan dagangannya dalam dua keranjang bambu besar. Segala aktivitas perdagangan itu dilakukan di bawah pohon asam Jawa yang rindang yang tumbuh berjajar di kanan-kiri jalan.
Pada lukisan lain, Rach menunjukkan aktivitas suatu hari di Meester Cornelis–kini Jatinegara. Di situ tampak detail pasar dan tampak para pedagang Tionghoa dan bumiputera. Tidak seperti di Kali Besar yang para pedagang menjajakan dagangan di bawah jajaran pohon asam Jawa, di sini tak tampak barisan pepohonan yang menaungi.
Nasi dianggap membahayakan otak
Menurut Raffles dalam The History of Java, nasi adalah makanan utama para bumiputera pada abad ke-19. Nasi diperoleh dari beras yang telah melalui proses tanak. Beras lazim ditanak di dalam wadah yang terbuat dari tanah liat atau tembaga, hingga siap menjadi nasi putih nan harum. Sementara para bumiputera mengonsumsi nasi, sebaliknya pada awal persinggungan orang Eropa belumlah memakan nasi.
Pulau Jawa memang bertanah subur dan di beberapa tempat sungguh cocok untuk budidaya padi. Ketika armada Raffles menggempur Batavia pada 1811, menurut Tim Hannigan dalam Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa (2015), para pasukan Inggris juga melewati hamparan sawah.
Namun, tampaknya tanah-tanah di Batavia tak sesubur di bagian Jawa tengah-selatan yang hingga surplus padi. Beras juga jadi komoditas penting bagi VOC dan pelabuhan Batavia adalah salah satu distributor besar besar di Jawa.
Di samping beras, terdapat pula sumber pangan lain, seperti jagung dan umbi-umbian—singkong, ubi, talas, atau gadung. Lalu, apa yang masyarakat Eropa konsumsi sebelum mereka akrab dengan nasi?
Jacobus Bontius (1592–1631), seorang lulusan Universitas Leiden yang namanya sohor di Batavia pada medio abad ke-17, mengatakan bahwa nasi sangat berbahaya bagi perkembangan otak. Orang Eropa tidak boleh makan nasi, begitu saran Bontius.
Dalam tesis Gregorius Ariwibowo di UGM berjudul “Pendidikan Selera: Perkembangan Budaya Makan di Perkotaan Jawa pada Masa Akhir Kolonial” (2011), serealia menjadi makanan pokok sekaligus bekal utama perjalanan laut pada masa itu.
“Sereal dimasak menjadi sejenis bubur, lalu disantap bersama buah kering, ikan asin, atau daging asap sewaktu pagi. Semula, nasi juga dimasak menyerupai bubur. Lantas dicampur susu, ditambah gula, asam Jawa, sedikit wijn, dan rempah. Dihidangkan bersama daging ayam atau kalkun, daging sapi, tiram, atau lauk lainnya,” demikian tulis Gregorius.
Namun, masyarakat Eropa tak hanya mengkonsumsi sereal, tapi juga roti. Menurut Gregorius, terdapat sebuah toko roti di Batavia yang didirikan pada 1755. Roti dari toko itu dikenal enak. Sementara, bahan utama roti, yakni terigu, didatangkan dari Benggala dan Surat (India), Jepang, serta Tanjung Harapan.
Sebetulnya, pada 1655 Jacques de Bollan dan Pierre de Bancs, pemilik tempat penggilingan beras di Batavia juga telah membikin roti. Mereka mencampur tepung beras dan terigu untuk dijadikan bahan pembuatan roti.
Semula roti ini sempat digemari oleh masyarakat Batavia sebagai sajian makan malam. Mereka menyebut roti ini sebagai roti beras. “Namun pada akhirnya sajian roti beras (rijst brood) hanya dimakan oleh para budak-budak, dan dikenal dengan nama koelibrood,” sebagaimana dinukil dari tesis Gregorius.
Masyarakat kelas atas Eropa yang mulai terbentuk juga mengonsumsi berbagai makanan yang pada waktu itu dianggap mewah, seperti: tiram, manisan apel, keju, mentega, daging ham, saucisse de Boulogne, ikan herring, moster, kismis (rozijnen), buah amandel (biasanya dijadikan selai lalu disajikan dengan roti), buah prem, kurma, kenari, atjar, kaviar–telur ikan sturgeon—tjing tjauw (Japansche agar-agar), kedelai, dan lainnya.
“Ragam bahan pangan itu adalah hasil niaga yang berasal dari Tiongkok, Persia, Jepang, India, Afrika Selatan, Belanda, dan daerah lain yang menjadi bagian dari jalur perdagangan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC),” demikian tulis Gregorius.
Sambal yang membakar mulut
Yang menarik adalah apabila kita menengok renik-renik catatan para pelancong yang singgah ke Jawa. Mereka menulis dengan kesan beragam: aneh, jijik, tetapi ada pula yang riang gembira. Seperti kisah Francois Leguat, salah satu pencatat tentang Batavia. Leguat terpaksa berlayar Jawa, setelah ia dipindahkan oleh Gubernur Belanda di Mauritius.
Leguat tiba di Batavia pada 1696. Ketika itu, ia mendapati orang-orang Batavia mengunyah sirih dan pinang.
“Biasanya orang-orang membungkus seperempat dari buah pinang dalam beberapa lembar daun sirih, kemudian mengunyahnya secara bersamaan, beberapa orang menambahkan sedikit kapur yang dihancurkan tetapi hal ini tidak biasa dilakukan di Batavia,” kata Leguat.
Pada masa lalu, mengunyah sirih dan pinang bisa dipersamakan dengan mengonsumsi tembakau. Seperti keterangan Reid, “Mengunyah sirih-pinang mempunyai fungsi sosial untuk beramah-tamah.”
Kebiasaan mengunyah sirih-pinang, seperti juga tembakau dan gambir juga merupakan kebiasaan yang ada di semua kalangan, demikian catat Raffles.
“Tampaknya kebiasaan ini menimbulkan rasa nikmat bagi mereka. Apabila mereka tidak mempunyai kotak sirih, mereka akan menyimpannya di dalam sapu tangan. Cengkeh dan gambir juga terdapat di kotak sirih tersebut,” tulisnya.
Mengunyah sirih-pinang tampak lain dari kelaziman Eropa pada waktu itu.
Rokok pada waktu itu tampak belum begitu populer. Sebuah lukisan Johannes Rach berjudul "Het Gezight van de Nieuw Poort van Batavia van Buyten af/ te zien Langs de Ryweg" menunjukkan figur dua orang Eropa yang tampak dari gaya pakaiannya.
Mereka tengah bersantai mengisap rokok–dan bukan mengunyah sirih-pinang—berupa pipa panjang yang diisap sembari bersantai di bawah rindang pepohonan.
Sirih juga amat membantu orang yang tengah bepergian untuk menahan lapar lebih lama. Meskipun Leguat tahu bahwa sirih dan pinang bila dikonsumsi secara rutin dapat memperkuat gusi dan gigi, tetapi tak suka dengan noda hitam yang ditinggalkan pada gigi.
Mengunyah sirih dipandang kebiasaan aneh orang-orang bumiputera Batavia waktu itu. “Orang-orang ini kurang mengerti keelokan mulut yang bersih atau segara,” cibir Leguat.
Namun ketimbang mengunyah sirih-pinang, terasi mendapat prasangka lebih buruk. Seorang naturalis berkebangsaan Skotlandia, Henry Ogg Forbes (1851–1932) pada sekitar 1878–1883 menjelajah keliling Jawa. Ketika ia menginap di Hotel der Nederlanden di Batavia, hidungnya mengendus bau busuk. Forbes pun kelimpungan mencari asal bau itu.
Ia kira unggas yang diawetkan telah busuk dan mengeluarkan bau tak sedap. Forbes mendapati asal bau itu dari dapur, tempat si pelayan menyiapkan boga.
“Ya ampun, apakah ini?” tanyanya heran kepada pelayan hotel.
“Terasi, Tuan,” jawab si pelayan.
“Apakah enak dimakan?” sergah Forbes.
“Enak dimakan, Tuan, enak sekali,” jawab si pelayan.
Sembari keheranan, Forbes berkata, “Baru saya mengetahui bahwa setiap masakan, lokal maupun Eropa, yang telah saya makan sejak kedatangan saya ke daerah Timur ini, sari makanan busuk ini (terasi) dicampur sebagai bumbu penyedap.”
Lanjut Forbes, “Sulit bagi saya menerima kenyataan bahwa secara tidak sengaja saya sudah menyantap benda tersebut setiap hari tanpa merasa jijik sedikit pun.” Anda tak keliru baca. Forbes memang menganggap terasi sebagai “sari makanan busuk”.
Kisah jenaka juga terjadi ketika para orang Barat untuk kali pertama merasakan sambal. Salah satu kisah diriwayatkan oleh Clockener Brousson, dalam memoar Batavia: Awal Abad ke-20. Waktu itu, ia bertugas sebagai tentara Kerajaan Belanda dan bertugas di Hindia Belanda. Ketika itu, ia belum lama tiba di Hindia Belanda.
Suatu kali, ia menyantap makan siang yang terdiri atas sop lezat, nasi, serta sambal dan daging. Ia masih ingat betul bagaimana kawannya, Overdijk, yang berasal dari Friesland–Belanda sebelah utara— mengira sambal merah itu harus dicampur ke dalam sop.
“Akibatnya, ia menghabiskan satu ketel air. Lada Spanyol itu nyaris membakar mulutnya [...] berkat Overdijk kami jadi tahu bahwa sambal dimakan secukupnya dengan nasi, sup, serta daging.”
Air sumur diedarkan pakai gerobak
Soal pelepas dahaga, para bumiputera juga berbeda dari orang Tionghoa yang menggemari teh, dan orang Belanda yang doyan mabuk. Masyarakat bumiputera Batavia lazim meminum air putih untuk melepas dahaga atau usai bersantap.
Bontius bahkan pernah menyarankan agar air kali juga dikonsumsi, asal diambil agak ke hulu agar lebih jernih. Air putih lazim direbus sebelum dikonsumsi. Beberapa juga bakal menambahkan rempah ke dalam minuman, dan teh biasanya lazim dinikmati ketika istirahat.
Dalam dokumentasi Tio Tek Hong, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: 1882–1959 (2007), tercatat bagaimana sebagian orang-orang Batavia memperoleh air untuk dikonsumsi. Tulis Hong, air minum lazim diambil dari penampungan tadah hujan yang dikumpulkan dalam tempayan besar.Sumber air lain adalah dari kali yang gampang diperoleh dengan membeli kepada para tukang pemikul air.
“Sesen sepikul,” imbuh Hong.
Di Kampung Lima, di kawasan Tanah Abang, terdapat pula sumur berair jernih. Namun, sumur itu terletak di pekarangan seorang warga. Oleh warga itu, air sumur dijual seharga satu setengah florin per tong yang diedarkan dengan gerobak.
Pada waktu itu air ledeng belum terpasang. “Jadi laku sekali air-air itu,” kata Hong.
Menurut Hong, air dari kedalaman sumur itu berkualitas bagus sekali. “Terutama untuk menyeduh teh dan ahli teh menggunakan air itu untuk mengetahui mana teh yang baik dan mana yang tidak,” kata Hong.
Sebetulnya ada air dari sumur bor. Celakanya, banyak orang yang tak suka air dari sumur ini. “Sebagai air minum rasanya tidak enak dan bila dipakai menyeduh teh, air teh menjadi hitam,” kata Hong. Orang yang lebih mampu, akan menyaring dulu air dari kali tersebut menggunakan sejenis saringan kapur.
Namun, seiring abad yang berganti, budaya makan juga mengalami perubahan. Pada medio abad ke-19–20, banyak restoran dan hotel berbintang bermunculan di Batavia. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa alasan, salah satunya banyak kaum Eropa yang berdatangan ke Hindia dan kesejahteraan para pekerja Eropa.
Hal itu berakibat pada kemunculan kelas menengah Eropa. Mereka pun akhirnya membikin budaya tersendiri, dengan standar makan Eropa–mengkonsumsi makanan kaleng, mengonsumsi susu, menyantap daging. Namun, di sisi lain, kebiasaan para pribumi seperti mengunyah sirih-pinang serta menyantap nasi juga makin digemari para orang Eropa. Babak pangan baru di Batavia pun dimulai.