Intisari-online.com - Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun (1967-1998), Indonesia menyelenggarakan pemilu sebanyak 6 kali, yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Meskipun digembar-gemborkan sebagai wujud demokrasi, pemilu di era Orde Baru memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dengan pemilu di masa kini.
1. Sistem Kepartaian yang Terbatas:
UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya (Golkar) membatasi jumlah partai menjadi hanya 3, yaitu Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Golkar, sebagai organisasi yang didirikan oleh pemerintah, memiliki kekuatan politik yang dominan dan selalu memenangkan pemilu dengan perolehan suara mayoritas.
PPP dan PDI dibatasi pergerakannya dan diawasi ketat oleh pemerintah.
2. Kampanye yang Terkendali:
Kampanye pemilu diatur dan diawasi dengan ketat oleh pemerintah.
Peserta pemilu hanya boleh berkampanye sesuai dengan arahan pemerintah.
Kritik terhadap pemerintah dan kampanye negatif antar peserta pemilu tidak diperbolehkan.
Baca Juga: Kisah Sisa-Sisa Tentara Jepang di Taman Makam Pahlawan Indonesia
3. Pemilih yang Diawasi:
Terjadi praktik intimidasi dan penekanan terhadap pemilih agar memilih Golkar.
Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak selalu akurat dan rawan manipulasi.
Kebebasan memilih bagi rakyat tidak sepenuhnya terjamin.
4. Hasil Pemilu yang Direkayasa:
Hasil pemilu di era Orde Baru umumnya dianggap tidak mencerminkan suara rakyat yang sesungguhnya.
Kecurangan dan manipulasi suara diduga terjadi di berbagai daerah.
Kemenangan Golkar dalam setiap pemilu selalu di atas 70%, bahkan mencapai 80% pada pemilu 1992.
5. Dampak Pemilu Era Orde Baru:
Meskipun dengan segala keterbatasannya, pemilu di era Orde Baru tetap memberikan kontribusi bagi stabilitas politik nasional.
Pemilu juga menjadi sarana bagi pemerintah untuk menunjukkan legitimasinya kepada masyarakat internasional.
Baca Juga: Faktor-faktor Penyebab Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru Dan Lengsernya Soeharto
Di sisi lain, pemilu yang tidak demokratis ini turut memperpanjang kekuasaan Soeharto dan menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia.
Kesimpulan:
Pemilu di era Orde Baru jauh dari ideal dan sarat dengan manipulasi. Sistem kepartaian yang terbatas, kampanye yang terkendali, pemilih yang diawasi, dan hasil pemilu yang direkayasa menjadi ciri khas pemilu di masa tersebut.
Meskipun demikian, pemilu tetap menjadi sarana bagi pemerintah untuk menunjukkan legitimasinya dan memberikan kontribusi bagi stabilitas politik nasional.
Penting untuk memahami ciri-ciri pemilu di era Orde Baru sebagai refleksi perjalanan demokrasi di Indonesia.
Dengan mempelajari sejarah ini, diharapkan generasi penerus dapat terus memperjuangkan demokrasi yang lebih adil dan transparan di masa depan.