Intisari-Online.com -Ternyata Amangkurat I sudah gemar bikin onar bahkan sebelum dia diangkat menjadi raja Mataram menggantikan sang ayah, Sultan Agung.
Raden Mas Sayyidin, begitu namanya saat lahir, disebut menculik istri tercantik Tumenggung Wiraguna.
Tumenggung Wiraguna adalah panglima perang andalan Raja Mataram Sultan Agung dalam menaklukkan lawan-lawannya.
Menurut catatan H.J. De Graaf dalam Disinegrasi Mataram Di Bawah Mangkurat I, kejadian itu terjadi pada 1637.
"Putra Mahkota menjadi pusat suatu komplotan intrik istana yang gawat," begitu tulis De Graaf.
Intrik itu melibatkan Tumenggung Danupaya dan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang pada 1629 turut menyerang Belanda di Batavia.
Bahkan, tambah De Graaf mengutip pernyataan Antonie Paulo, pemimpin para tawanan Belanda, sampai berbuat zina.
Intik atau skandal itu kemudian dilaporkan oleh kaki tangan adik Putra Mahkota, yaitu Pangeran Alit.
Mereka berharap, dengan pelaporan itu, hak-hak putra mahkota dilucuti dan diserahkan kepada Pangeran Alit,
Ternyata itu harapan yang sia-sia, tulis De Graaf.
Yang ada, Sultan Agung justru memarami kedua belah pihak, tetapi tetap mempertahankan status putra mahkota.
Meskipun selama beberapa waktu Amangkurat sempat dibuang dari keraton.
Dan sebagai "sanksi"-nya, putra mahkota akan kembali mendapat bimbingan dari gurunya, Tumenggung Mataram yang sudaha tua renta.
Sementara di lain pihak, Tumenggung Wiraguna yang marah membunuh istrinya yang sudah dikembalikan oleh putra mahkota.
Karena perbuatannya itu, dia mendapatkan teguran keras dari Sultan Agung walaupun tidak sampai dihukum.
Tapi menurut para tawanan, intrik itu sejatinya diselesaikan dengan lebih keras.
Dua puluh pengabdi istana putra mahkota--yang diduga terlibat dalam penculikan--dibunuh.
Tumenggung Danupaya harus membayar denda yang berat.
Pun begitu dengan Tumenggung Sura Agul-Agul.
Selain itu, nama terakhir juga diperintahkan untuk berjuang mati-matian merebut Batavia.
Dan begitulah yang dilakukan oleh Tumenggung Sura Agul-Agul.
Kontroversi lain Amangkurat I: jalin persahabatan dengan kompeni
Beberapa hal dilakukan Amangkurat I di awal kekuasaannya sebagai raja Mataram Islam: bersahabat dengan VOC dan pindah ke Keraton Plered.
Intisari-Online.com - Beberapa langkah kontroversial dilakukan Amangkurat I di awal-awal dia berkuasa sebagai Raja Mataram Islam.
Yang paling kontroversial tentu menjalin persahabatan dengan VOC-Belanda.
Langkah ini tentu berkebalikan dengan apa yang dilakukan ayahnya, Sultan Agung.
Raja Mataram Islam terbesar itu dua kali menyerang benteng VOC di Batavia meskipuan dua serangan itu berakhir dengan kegagalan.
Di tahun pertama berkuasa, Amangkurat I menandatangani perjanjian dengan VOC.
Perjanjian itu berisi enam pasal.
1. mengatur pengiriman utusan Belanda ke Mataram
2. kesediaan Belanda mengatur perjalanan ulama Mataram
3. pembebasan tawanan Belanda di Mataram
4. penyerahan orang-orang berutang
5. perang bersama
6. pelayaran bebas di Kepulauan Maluku.
Perjanjian ini ditandatangai pada tanggal 24 September 1646.
Perjanjian ini disambut baik oleh Belanda.
Dentuman-dentuman meriam sebagai wujud perayaan perdamaian terdengar dari loji-loji Belanda.
Oleh Amangkurat I perjanjian ini menjadi bukti bahwa VOC telah takluk dengan kekuasaan Mataram.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Pemerintah Batavia mengakui Amangkurat sebagai penguasa Mataram dan berjanji mengirimkan duta setiap tahun serta membawa hadiah yang banyak kepada pemerintahannya.
Pemberian-pemberian ini menjadi pemasukan yang besar bagi pemerintahannya tapi dia memperlakukan duta-duta Belanda yang pertama sebagai orang kelas bawah dan tidak penting.
Dia membuat mereka duduk jauh darinya, di luar pendopo.
Amangkurat I membuat mereka menunggu berjam-jam tanpa memberi perhatian kepada mereka.
Tak hanya itu, Sang Sunan juga mengkritik pemberian meraka agar membawah hadiah yang lebih baik di pemberian tahun berikutnya.
Menanggapi kritik tersebut, pemerintah di Batavia mengirimkan pesan ke Persia untuk meminta kuda-kuda terbesar dan terbaik yang dapat diperoleh untuk dibeli bagi Amangkurat.
Permintaan tersebut meningkat setiap tahunnya.
Pemerintah Batavia menanggung biaya kira-kira 60.000 gulden untuk hadiah yang diberikan pada 1652.
Sebagai balasan, VOC menerima beras dan kayu, diserahkan oleh orang-orang dari daerah pantai atas perintah Amangkurat.
Batavia membutuhkan suplai ini dan Mataram bermurah hati memberikannya meskipun pemberian ini menjadi beban berat bagi rakyatnya.
Pindah ke Plered
Mengutip catatan Siswanta dalam jurnal Karmawibangga berjudul "Sejarah Perkembangan Mataram Islam Kraton Plered", setahun setelah dikukuhkan, Amangkurat I juga memindahkan ibu kota Mataram dari Karta ke Plered.
Berbeda dari Keraton Karta yang banyak terbuat dari kayu, Keraton Plered disebut lebih banyak dibangun denga batu bata.
Keraton baru ini letaknya tak begitu jauh dari Keraton Karta, cuma 2 km di sebelah timur.
Berbeda dengan Keraton sebelumnya, Keraton Plered dikelilingi dengan tembok-tembok setinggi 18-20 kaki dengan kedalaman 8-12 kaki.
Tapi sayang, perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo atau Pangeran Alit, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior.
Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit.
Amangkurat I ganti menghadapi para ulama.
Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alunalun untuk dibantai.
Rijklof van Goens melukiskan kondisi Plered sebagai berikut.
Dalam perjalanan menuju Plered sekitar 18 - 19 mil dari kota pelabuhan Semarang, terletak pintu gerbang pertama, disebut Selimbi.
Pada pintu gerbang ini terdapat sebuah benteng, yang dihuni sekitar 1500 - 1600 orang.
Dengan dijaga oleh para prajurit kraton, semua yang lewat gerbang dicatat oleh juru tulis.
Sekitar 1 - 1,5 mil dari gerbang Selimbi, terbentang daerah Mataram yang subur, sawah sangat luas hingga batasnya tidak tampak.
Desa-desa sangat subur banyak ditemui sepanjang jalan.
Di antara sawah-sawah ditemui perbukitan yang ditanami pohon buah-buahan.
Diperkirakan pintu gerbang Selimbi merupakan pintu masuk wilayah negara agung Mataram.
Jalan antara gerbang Selimbi dan gerbang tadi (gerbang masuk kedua), berjarak sekitar 7 mil.
Setelah gerbang kedua, terlihat pegunungan mengitari pusat kerajaan Plered.
Rijklof van Goens juga menggambarkan bahwa desa-desa di antara kedua pintu gerbang tersebut, padat penduduk.
Setiap desa berpenduduk sekitar 100 - 150 orang, bahkan ada yang berpenghuni sekitar 1000 - 1500 orang.
Pusat kerajaan dicapai setelah melalui gerbang ketiga, yang dinamai Kaliajir.
Dari gerbang ini terdapat jalan menuju istana raja, sepanjang 2 mil.
Antara gerbang Kaliajir dan istana raja, banyak ditemui rumah para pangeran dan berbagai residen.
Pagar kota diperkirakan berukuran luas 2 x 2 mil, dengan ketinggian tembok sekitar 6 – 7 meter.
Beberapa komponen di dalam tembok keraton adalah sebagai berikut sitinggil, bangsal witana, mandungan, sri menganti, pecaosan, sumur gumuling tempat memandikan keris pusaka, masjid panepen (Suronoto), prabayeksa, bangsal kencana, bangsal kemuning, bangsal manis, gedong kuning, dan tempat tinggal abdi dalem kedhondhong.
Itulah beberapa hal yang dilakukan Amangkurat I di awal-awal dia berkuasa sebagai Sunan Mataram Islam.
Baca artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News