Surat ultimatum ini tidak hanya meresahkan RIS saja, tetapi juga beberapa pihak Belanda.
Guna mencegah tindakan Westerling, Moh. Hatta mengeluarkan perintah untuk melakukan penangkapan terhadap Westerling.
Jenderal Vreeden pun bersama Menteri Pertahanan Belanda yang merasa resah dengan ultimatum ini kemudian menyusun rencana untuk mengevakuasi pasukan RST tersebut.
Namun, upaya mengevakuasi RST, gabungan baret merah dan baret hijau sudah terlambat untuk dilakukan.
Westerling sudah lebih dulu mendengar rencana penangkapan tersebut, sehingga ia mempercepat pelaksanaan kudetanya.
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temui di jalan.
Sementara Westerling menyerang kota Bandung, anak buahnya, Sersan Meijer menuju ke Jakarta untuk menangkap Presiden Soekarno dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan.
Sayangnya, karena pasukan KNIL dan Tentara Islam Indonesia (TII) tidak muncul untuk membantu Westerling, serangannya di Jakarta mengalami kegagalan.
Setelah melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST kembali ke tempat mereka masing-masing.
Meskipun sudah banyak korban jiwa, Westerling tetap tidak tinggal diam.
Dia berniat untuk mengulang kembali tindakannya tersebut.
Namun, upaya keduanya ini gagal, sehingga kudeta pun tidak berhasil dilakukan.
Kegagalan kudeta yang dilakukan Westerling terhadap RIS menyebabkan adanya demoralisasi anggota milisi terhadap Westerling dan ia terpaksa melarikan diri ke Belanda.
Larinya Westerling ini kemudian membuat APRA berdiri sendiri tanpa adanya seorang pemimpin yang kuat.
Oleh karena itu, APRA resmi tidak kembali berfungsi pada Februari 1950.
Begitulah, APRA melakukan kekacauan di Jakarta dengan tujuan untuk menculik Soekarno dan menguasai pemerintahan pusat RIS.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR