Kaum Adat dan kaum Padri yang awalnya bertikai kini justru bekerja sama melawan Belanda.
Sayangnya, meskipun sudah bergabung, kaum Adat dan kaum Padri mengalami kekalahan dalam Perang Padri.
Tuanku Imam Bonjol kemudian menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.
Saat berguru kepada Tuanku Nan Renceh, pertentangan antara kaum Adat dan Padri terkait masalah agama tengah memanas.
Perselisihan tersebut memicu terjadinya Perang Padri antara kaum Adat dan kaum Padri, yang meletus pada 1803.
Tuanku Nan Renceh menunjuk Imam Bonjol sebagai imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol.
Imam Bonjol kemudian membangun sebuah benteng di Bukit Tajadi yang diberi nama Benteng Bonjol.
Sejak peristiwa itulah, nama Tuanku Imam Bonjol lebih populer daripada nama aslinya, Muhammad Shahab.
Perang Padri yang awalnya perang saudara antara kaum Adat dan kaum Padri, berubah menjadi perang kolonial pada 1821, di mana kaum Adat mendapat bantuan dari Belanda.
Ketika Belanda mengusulkan gencatan senjata pada 1825, Tuanku Imam Bonjol mencoba mengajak kaum Adat bersatu melawan Belanda.
Langkah tersebut membuahkan hasil, dan pada akhir 1832 kedua kubu melakukan persetujuan di lereng Gunung Tandikat.
Mengetahui hal itu, Belanda menutup pesisir barat yang merupakan garis bantuan ekonomi dan pesisir timur yang merupakan pintu gerbang perdagangan Minangkabau.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR