Sampai Dibuang Ke Ambon, Begini Perjuangan Pahlawan Yang Mempunyai Nama Asli Peto Syarif Ini

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sampai dibuang ke Ambon, begini perjuangan pahlawan yang mempunyai nama asli Peto Syarif itu.
Sampai dibuang ke Ambon, begini perjuangan pahlawan yang mempunyai nama asli Peto Syarif itu.

Intisari-Online.com -Sungguh berat perjuangan para pahlawan Indonesia di masa lampau.

Termasuk apa yang ditempuh oleh tokoh Perang Padri, Tuanku Imam Bonjor.

Sampai dibuang ke Ambon, begini perjuangan pahlawan yang mempunyai nama asli Peto Syarif itu.

Mengutip Kompas.com, TuankuImam Bonjol adalah seorang ulama, pemimpin, sekaligus pejuang yang pernah melawan Belanda.

Perang Padri sendiri terjadi pada1803 hingga 1838.

Peto Syarifh atau Tuanku Imam Bonjol atau Muhammad Syahab menjadi seorang ulama setelah belajar tentang agama dari ayahnya.

Setelah menjadi seorang ulama, Imam Bonjol meraih beberapa gelar, seperti Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.

Berkat kepiawaiannya ini, Tuanku Imam Bonjol pun ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh dari Kamang, pemimpin dari Harimau Nan Salapan menjadi imam bagi kaum Padri di Bonjol.

Karena itulah dia dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol.

Setelah ditunjuk sebagai pemimpin Padri, Imam Bonjol pun mulai ikut terlibat dalam beberapa kontroversi Adat-Padri.

Salah satu kontroversi Adat-Padri terjadi pada 1803, ketika ada tiga orang haji yang kembali dari Mekkah ke Indonesia.

Ketiganya adalahHaji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang.

Sekembalinya ke Indonesia, mereka ingin memperbaiki syariat Islam yang masih belum sempurna yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.

Harimau nan Salapan pun meminta para kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan mereka yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, salah satunya sabung ayam.

Namun tidak pernah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, baik itu kaum Adat maupun kaum Padri.

Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik antara kedua belah kaum.

Pada 1815, pertempuran memuncak di Koto Tengah dekat Batu Sangkar.

Imam Bonjol bersama pasukannya dari kaum Padri pun berhasil mendesak kaum Adat, sampai akhirnya mereka meminta bantuan kepada Belanda pada 21 Februari 1821.

Meskipun kaum Adat mendapat dukungan dari pihak Belanda, hal ini tidak membuat kaum Padri kesulitan dalam melakukan perlawanan.

Justru kaum Padri semakin bergerak maju hingga sulit ditaklukkan oleh Belanda dan kaum Adat.

Oleh sebab itu, melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, Belanda mengajak Imam Bonjol selaku pemimpin kaum Padri untuk berdamai.

Sayangnya, perjanjian ini dilanggar oleh Belanda sendiri dengan menyerang Desa Pandai Sikek.

Lebih lanjut, pada 1833, peperangan pun berubah.

Kaum Adat dan kaum Padri yang awalnya bertikai kini justru bekerja sama melawan Belanda.

Sayangnya, meskipun sudah bergabung, kaum Adat dan kaum Padri mengalami kekalahan dalam Perang Padri.

Tuanku Imam Bonjol kemudian menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Saat berguru kepada Tuanku Nan Renceh, pertentangan antara kaum Adat dan Padri terkait masalah agama tengah memanas.

Perselisihan tersebut memicu terjadinya Perang Padri antara kaum Adat dan kaum Padri, yang meletus pada 1803.

Tuanku Nan Renceh menunjuk Imam Bonjol sebagai imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol.

Imam Bonjol kemudian membangun sebuah benteng di Bukit Tajadi yang diberi nama Benteng Bonjol.

Sejak peristiwa itulah, nama Tuanku Imam Bonjol lebih populer daripada nama aslinya, Muhammad Shahab.

Perang Padri yang awalnya perang saudara antara kaum Adat dan kaum Padri, berubah menjadi perang kolonial pada 1821, di mana kaum Adat mendapat bantuan dari Belanda.

Ketika Belanda mengusulkan gencatan senjata pada 1825, Tuanku Imam Bonjol mencoba mengajak kaum Adat bersatu melawan Belanda.

Langkah tersebut membuahkan hasil, dan pada akhir 1832 kedua kubu melakukan persetujuan di lereng Gunung Tandikat.

Mengetahui hal itu, Belanda menutup pesisir barat yang merupakan garis bantuan ekonomi dan pesisir timur yang merupakan pintu gerbang perdagangan Minangkabau.

Selain itu, serangan yang dilancarkan penduduk Minangkabau selalu dapat diredam oleh Belanda yang terus mendapatkan dukungan dari Batavia.

Pada 1837, daerah Bonjol berhasil direbut Belanda, tetapi Tuanku Imam Bonjol berhasil lolos dan memimpin pasukan gerilya di pedalaman Sumatera Barat.

Setelah itu, Belanda menggunakan taktik licik untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol.

Taktik Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol adalah dengan ajakan berunding.

Pada Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang oleh Residen Francais di Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, untuk berunding.

Namun, perundingan itu hanyalah akal bulus Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol.

Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, sebelum dipindahkan ke Ambon.

Wafat di Minahasa Dari Ambon, Tuanku Imam Bonjol akhirnya diasingkan ke Lotak, Minahasa, hingga akhir hayatnya.

Tuanku Imam Bonjol wafat pada tahun 1864, tepatnya pada tanggal 8 November.

Setelah meninggal, Tuanku Imam Bonjol tetap dihormati sebagai salah satu tokoh yang gigih berjuang di daerah Sumatera Barat.

Sebagai penghormatan atas jasanya, Tuanku Imam Bonjol ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tertanggal 6 November 1973.

Tak hanya itu, namanya diabadikan menjadi nama-nama jalan, sekolah, dan institusi di sejumlah daerah.

Indonesia juga pernah mempunyai uang Rp 5.000 yang bergambar Tuanku Imam Bonjol. Uang kertas tersebut terbit pada 6 November 2001

Begitulah,sampai dibuang ke Ambon, begini perjuangan pahlawan yang mempunyai nama asli Peto Syarif itu, semoga bermanfaat.

Artikel Terkait