Pertama Kali Digunakan Di Filipina, Sistem Quick Count Berperan Penting Bongkar Kecurangan Rezim Ferdinand Marcos

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Quick count pertama kali digunakan di Filipina pada 1986. Sistem quick count berperan penting bongkar kecuragan rezeim Ferdinand Marcos dalam menyingkirkan lawan politiknya saat itu, Corazon Aquino.
Quick count pertama kali digunakan di Filipina pada 1986. Sistem quick count berperan penting bongkar kecuragan rezeim Ferdinand Marcos dalam menyingkirkan lawan politiknya saat itu, Corazon Aquino.

Intisari-Online.com -Selain real count versi KPU, salah satu yang paling ditunggu selama pemilu adalah quick count alias hitung cepat versi lembaga-lembaga survei.

Berbicara quick count, sistem ini pertama kali digunakan di Filipina pada 1986.

Ternyata, sistem quick count berperan penting bongkar kecuragan rezeim Ferdinand Marcos dalam menyingkirkan lawan politiknya saat itu, Corazon Aquino.

Bagaimana ceritanya?

Mengutip Kompas.ID,penyelenggaraan hitung cepat dalam pemilu sudah mulai dilakukan pada 1986 di Filipina.

Ketika itu, sebuah komite independen yang berfungsi memantau pelaksanaan pemilu, National Citizens Movement for Free Elections (NAMFREL), mengadakan perhitungan cepat untuk memantau penyelenggaraan pemilu Filipina di bawah rezim presiden Ferdinand Marcos.

Saat itu, calon presiden Filipina adalahFerdinand Marcos (petahana) dan Corazon Aquino.

NAMFREL dianggap sukses melaksanakan pemantauan pemilu.

Tapi usut punya usut, hitung cepatNAMFREL ternyata punya peran penting mendeteksi dan mengungkap kecurangan manipulasi suara yang dilakukan pemerintah rezim Marcos untuk menganulir kemenangan Corry--panggilan Corazon.

Hal ini pun memicu gelombang protes yang kemudian berhasil menggulingkan rezim otoriter Marcos.

Setelah itu, metode tersebut digunakan pula oleh sejumlah lembaga survei di beberapa negara yang sedang mengalami transisi ke demokrasi serta menjadi alat kontrol pemilu.

Negara-negara yang menggunakan metode ini di antaranyaChile pada 1988, Panama 1989, Yugoslavia dan Peru pada 2000, juga Indonesia pada 2004.

Di Indonesia, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bisa disebut sebagai perintis Hitung Cepat dalam pemilu.

Entjeng Shobirin Nadj dalam Kompas edisi 10 Juli 2004 menyebutkan bahwa LP3ES sudah mulai mempelajari metode Parallel Vote Tabulation/PVT untuk hitung cepat sejak 1993.

Ketika itu lembaga tersebut mengirim stafnya ke lembaga polling di tiga negara, Amerika Serikat (AS), Filipina, dan Korea Selatan.

Kemudian, mencoba mengaplikasikanya pada Pemilu 1997, untuk wilayah DKI Jakarta.

Lalu pada Pemilu 1999 untuk beberapa wilayah di Jawa dan Nusa Tenggara Barat.

Meski hasil prediksi sama persis dengan hasil pemilu, ketika itu LP3ESbelum berani mempublikasikannya karena khawatir akan berdampak secara politis.

Pada Pemilu 2004, karena hasil uji coba hitung cepat memuaskan, LP3ES bekerja sama dengan National Democratic Institute for International Affairs (NDI) melakukan hitung cepat untuk Pemilu Legislatif 5 April 2004 dan Pemilu Presiden 5 Juli 2004.

Hasil hitung cepat LP3ES-NDI mengagumkan.

Menggunakan sampel perhitungan suara di TPS, hitung cepat berhasil memprediksi perolehan suara secara cepat dan mendekati hasil resmi.

Pada pemilu legislatif, LP3ES-NDI mampu mengumumkan hasil penghitungan sehari setelah pemungutan suara dan hanya berbeda 0,15 persen dari hasil akhir penghitungan resmi KPU.

Pada saat itu, hitung cepat tak lepas dari kritik dan keraguan.

Hitung cepat oleh LP3ES-NDI pun sempat memicu ketegangan dengan KPU.

Bahkan, KPU mengancam akan mencabut akreditasi sebagai pemantau dalam pemilu.

Pasalnya, dinilai menyalahi aturan pemantau, yakni harus menyampaikan lebih dulu hasil pemantauan kepada KPU sebelum dipaparkan kepada publik.

Walau begitu, LP3ES-NDI tetap melanjutkan Hitung Cepat.

Pada pemilu presiden, hasil Hitung Cepat yang diumumkan LP3ES-NDI pada 6 Juli 2004 juga tidak meleset jauh dari perhitungan suara oleh KPU yang diumumkan 26 Juli 2004.

Hasil penghitungan KPU menyatakan bahwa pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid meraih 22,15 persen suara, Megawati-Hasyim memperoleh 26,61 persen suara, pasangan Amien-Siswono memperoleh 14,66 persen suara, pasangan Yudhoyono-Kalla meraih 33,57 persen, dan pasangan Hamzah-Agum 3,01 persen.

Sementara, dari penghitungan cepat, pasangan Wiranto-Wahid memperoleh 23,3 persen suara, pasangan Megawati-Hasyim meraih 26 persen, pasangan Amien-Siswono dengan 14,4 persen, pasangan Yudhoyono-Kalla memperoleh 33,2 persen suara, dan pasangan Hamzah-Agum meraih 3,1 persen suara.

Pada pilpres putaran kedua, proyeksi hitung cepat kembali terbukti cukup akurat.

Hasil penghitungan KPU menyatakan pasangan Yudhoyono-Kalla unggul dengan meraih 60,62 persen dan pasangan Megawati-Hasyim dengan 39,38 persen.

Sementara hasil hitung cepat menunjukkan, pasangan Yudhoyono-Kalla unggul dengan meraih 60,20 persen dan pasangan Megawati-Hasyim dengan 39,80 persen.

Sejak saat itu, karena tingkat keakuratannya tinggi, Hitung Cepat menjadi rujukan untuk mengikuti jalannya pemilu.

Hitung Cepat menjadi sangat populer di Indonesia.

Banyak lembaga riset atau penelitian yang kemudian juga melakukan penghitungan cepat pada pemilu-pemilu berikutnya, baik untuk pilpres, pileg, atau pilkada.

Beberapa stasiun televisi juga ikut meramaikan, meliput dan menyiarkan ajang penghitungan suara cepat pemilu.

Kompas melalui Litbang Kompas sendiri memulai hitung cepat saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2007. Saat itu, hasil hitung cepat Litbang Kompas hanya berbeda 0,11 persen dengan hasil resmi KPU.

Sejak itu, Litbang Kompas secara rutin menyelenggarakan hitung cepat.

Hingga saat ini, terhitung sebanyak 16 kali hitung cepat yang dilakukan.

Seluruhnya hasilnya memiliki selisih di bawah 1 persen dari perhitungan resmi KPU.

Begitukah quick count, sistem ini pertama kali digunakan di Filipina pada 1986,sistem quick count berperan penting bongkar kecuragan rezeim Ferdinand Marcos dalammenyingkirkanlawan politiknya saat itu, Corazon Aquino.

Artikel Terkait