Peristiwa Pemilu 1987, Bagaimana Orde Baru Mengatur dan Memanipulasi Hasil Pemilu

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Jumat Kemarin merupakan hari terakhir masa kampanye. NU PNI dan partai politik menggunakan kesemptan itu untuk mengadakan rapat umum. NU di lapangan banteng (gambar kanan) dan PNI sebelum memasuki gedung. SAMPING : sekilas pawai sebelum rapat kampanye partai katolik di Blok Q kebayoran baru kemarin.  *** Local Caption *** Mantan Menteri Agama Prof. KH Sjaifuddin Zuchri berpidato dalam kampanye partai NU Wilajah DKI Jakarta yang terakhir di lapangan Banteng Jumat 25 Juni 1971. Pada hari yang sama PNI kampanye di Istora Senayan. Sedangkan Partai Katolik melakukan pawai sebelum kampanye di Bok Q Kebayoran Baru, Jakarta.
Jumat Kemarin merupakan hari terakhir masa kampanye. NU PNI dan partai politik menggunakan kesemptan itu untuk mengadakan rapat umum. NU di lapangan banteng (gambar kanan) dan PNI sebelum memasuki gedung. SAMPING : sekilas pawai sebelum rapat kampanye partai katolik di Blok Q kebayoran baru kemarin. *** Local Caption *** Mantan Menteri Agama Prof. KH Sjaifuddin Zuchri berpidato dalam kampanye partai NU Wilajah DKI Jakarta yang terakhir di lapangan Banteng Jumat 25 Juni 1971. Pada hari yang sama PNI kampanye di Istora Senayan. Sedangkan Partai Katolik melakukan pawai sebelum kampanye di Bok Q Kebayoran Baru, Jakarta.

Intisari-online.com - Pemilihan umum atau pemilu merupakan salah satu sarana bagi rakyat untuk menentukan pilihan politiknya secara demokratis.

Namun, apakah pemilu di Indonesia selalu berjalan dengan jujur dan adil? Bagaimana dengan pemilu pada masa Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto?

Pemilu pada masa Orde Baru diselenggarakan sebanyak enam kali, yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Prinsip pemilu pada masa itu adalah LUBER, yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Pada masa itu hanya tiga partai politik yang mengikuti pemilu, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Golongan Karya (Golkar).

Pada tahun 1987, pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Pemilihan Umum.

Menariknya ini adalah pemilu pertama dengan sistem pencoblosan pertama di Indonesia.

Undang-undang ini memberikan hak kepada rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.

Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Namun, apakah pemilu 1987 benar-benar mencerminkan suara rakyat? Ataukah ada campur tangan pemerintah dalam mengatur dan memanipulasi hasil pemilu? Berikut adalah beberapa fakta dan bukti yang menunjukkan bahwa pemilu 1987 tidak berlangsung secara demokratis dan transparan.

1. Pemilu 1987 didominasi oleh Golkar, partai yang mendukung pemerintah Orde Baru. Golkar berhasil memperoleh 73,17% suara, sementara PPP hanya 16,10% dan PDI hanya 10,73%.

Baca Juga: Tanda-tanda Surat Suara Tidak Sah di Pemilu 2024, Simak Agar Tidak Rugi Hak Pilih Anda!

Golkar juga mendapatkan mayoritas kursi di DPR, yaitu 299 dari 400 kursi.

Hal ini menunjukkan bahwa Golkar memiliki kekuatan politik yang sangat besar dan tidak seimbang dengan partai-partai lain.

2. Pemilu 1987 diwarnai oleh berbagai bentuk kecurangan dan intimidasi yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan.

Beberapa contoh kecurangan yang terjadi adalah:

- Pemalsuan surat suara. Banyak surat suara yang sudah dicoblos sebelumnya oleh pihak-pihak yang pro-Golkar dan disebarkan ke tempat pemungutan suara (TPS).

Surat suara yang sudah dicoblos ini kemudian digunakan untuk menggantikan surat suara yang asli yang diberikan kepada pemilih.

- Penggelembungan suara. Banyak TPS yang melaporkan jumlah suara yang tidak sesuai dengan jumlah pemilih yang terdaftar.

Jumlah suara yang masuk ke kotak suara seringkali lebih banyak daripada jumlah pemilih yang hadir.

Hal ini menunjukkan adanya penambahan suara secara ilegal yang menguntungkan Golkar.

- Intimidasi dan ancaman. Banyak pemilih yang mendapatkan tekanan dan ancaman dari pihak-pihak yang berwenang, seperti pejabat pemerintah, aparat keamanan, dan kelompok-kelompok massa yang pro-Golkar.

Pemilih yang diduga akan memilih PPP atau PDI seringkali dihalang-halangi, diganggu, atau bahkan dianiaya.

Baca Juga: Jelang Pemilu Alhamdulillah Dapat Rp600.000 Dan Beras 10 Kg, Ini Jadwal BLT Yang Cair Februari 2024

Pemilih juga diberi iming-iming atau janji-janji palsu jika memilih Golkar, seperti bantuan uang, beras, atau pekerjaan.

3. Pemilu 1987 tidak memberikan ruang yang cukup bagi partai-partai oposisi untuk berkampanye dan menyampaikan visi-misi mereka kepada rakyat.

Pemerintah Orde Baru memberlakukan berbagai aturan dan pembatasan yang menghambat kebebasan berpendapat dan berpolitik bagi PPP dan PDI.

Beberapa contoh pembatasan yang diberlakukan adalah:

- Larangan menggunakan simbol-simbol agama atau ideologi dalam kampanye.

PPP yang merupakan partai Islam dilarang menggunakan lambang Ka'bah dan slogan "Allahu Akbar" dalam kampanye mereka.

PDI yang merupakan partai nasionalis dilarang menggunakan lambang banteng dan slogan "Merdeka" dalam kampanye mereka.

Pemerintah hanya mengizinkan penggunaan lambang bintang dan slogan "Pancasila" yang juga digunakan oleh Golkar.

- Larangan mengkritik pemerintah dan Golkar dalam kampanye.

PPP dan PDI dilarang menyampaikan kritik atau saran yang bersifat negatif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan kinerja Golkar.

Pemerintah menganggap hal ini sebagai upaya mengganggu stabilitas dan keamanan nasional. PPP dan PDI hanya boleh menyampaikan program-program yang bersifat positif dan konstruktif.

Baca Juga: Tata Cara Pencoblosan pada Pemilu 2024, Jangan Lupa Dokumen Ini

- Larangan mengadakan kampanye di tempat-tempat umum.

PPP dan PDI dilarang mengadakan kampanye di tempat-tempat umum yang ramai, seperti pasar, terminal, stasiun, atau lapangan.

Pemerintah menganggap hal ini sebagai upaya menghasut massa dan menimbulkan kerusuhan. PPP dan PDI hanya boleh mengadakan kampanye di tempat-tempat tertutup, seperti gedung, rumah, atau masjid.

Dari fakta-fakta dan bukti-bukti di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilu 1987 tidak berlangsung secara demokratis dan transparan.

Pemerintah Orde Baru mengatur dan memanipulasi hasil pemilu dengan berbagai cara yang tidak adil dan tidak jujur.

Pemilu 1987 hanya menjadi alat bagi pemerintah Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan dan mengeliminasi lawan-lawan politiknya.

Artikel Terkait