Cikal Bakal Jam “Ngaret” di Indonesia
Para peserta melanjutkan perjalanan menuju Menara Syahbandar dengan semangat meski di bawah teriknya matahari. Sayangnya, kami tidak diperkenankan memasuki lantai atas Menara Syahbandar karena kondisinya yang rapuh.
Walaupun begitu, ada sebuah kisah menarik yang diceritakan pada saat rombongan singgah di halaman sekitar menara.
Ade berkisah, “Zaman dulu, orang di Batavia belum banyak yang memiliki arloji. Untuk penentuan waktu, biasanya mereka mengacu pada jam lima pagi saat meriam dipantik untuk memicu ledakan. Dari sanalah, kentungan dijadikan alat untuk meneruskan waktu bagi masyarakat.”
Kentungan merupakan alat komunikasi masyarakat Nusantara yang belakangan diadopsi oleh Daendels sebagai penanda waktu, khususnya untuk masyarakat di Batavia.
Daerah yang terletak paling dekat dengan sumber suara akan membunyikan kentungan lebih awal. Kemudian, penanda waktu itu terus merambat ke daerah yang lebih jauh seiring waktu bertambah.
Metode penunjuk waktu itulah yang kemudian diasosiasikan dengan lelucon kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering tidak disiplin dalam waktu—jam karet.
Dari Museum Bahari Menuju Jembatan Kota Intan
Menuju akhir perjalanan PTD, para peserta singgah ke Gudang VOC Barat atau Westzijdepakhuizen—yang nasibnya lebih mujur daripada Gudang VOC Timur. Gudang ini digunakan untuk menyimpan hasil bumi Nusantara.
Gudang ini dibangun secara bertahap mulai 1652 sampai 1771. Kini, tiga unit bangunan Gudang VOC Barat telah menjadi Museum Bahari semenjak zaman Gubernur Ali Sadikin.
Rute perjalanan kali ini berakhir di Jembatan Kota Intan, sebuah replika jembatan jungkit yang pernah ada pada lokasi yang sama. Seperti jembatan yang menghubungkan dua sisi yang berbeda, Plesiran Tempo Doeloe pun menghubungkan peserta hari ini dengan masa lalu kotanya. (Akbar Gibrani)
Baca Juga: Kongsi Penguasa dan Pengusaha; JP Coen - Souw Beng Kong
Penulis | : | Akbar Gibrani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR