Intisari-online.com - Pengungsi etnis Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar dan Bangladesh menghadapi nasib yang tidak pasti di laut.
Sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara menolak untuk menerima pengungsi Rohingya dengan berbagai alasan, mulai dari faktor ekonomi, sosial, politik, hingga kesehatan.
Siapa saja negara-negara tersebut dan apa alasannya?
Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang sering menjadi tujuan para pengungsi Rohingya.
Namun, Indonesia juga memiliki kebijakan yang tidak konsisten terkait penanganan pengungsi.
Pada Juni 2020, Indonesia menolak untuk menampung 94 pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan Aceh Utara dengan alasan situasi pandemi Covid-19.
Namun, setelah mendapat desakan dari masyarakat dan organisasi kemanusiaan, Indonesia akhirnya mengizinkan mereka untuk turun ke daratan dan menjalani rapid test virus corona.
Indonesia juga mengklaim bahwa negara ini tidak memiliki kewajiban hukum untuk menampung pengungsi Rohingya, karena tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.
Selain itu, Indonesia juga menganggap bahwa masalah Rohingya adalah tanggung jawab Myanmar dan Bangladesh sebagai negara asal dan transit.
Malaysia
Malaysia adalah negara yang paling banyak menampung pengungsi Rohingya di Asia Tenggara, dengan jumlah sekitar 100.000 orang.
Namun, Malaysia juga menghadapi tantangan dalam mengelola pengungsi, terutama di tengah pandemi Covid-19 yang memukul ekonomi dan kesehatan negara ini.
Pada April 2020, Malaysia menolak untuk menampung sekitar 200 pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut dengan alasan keselamatan nasional dan kesehatan masyarakat.
Malaysia juga mengkritik Bangladesh yang dianggap tidak berbuat cukup untuk mencegah pengungsi Rohingya melakukan perjalanan laut yang berbahaya.
Malaysia juga menuntut Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya dan memberikan solusi politik yang berkelanjutan.
Thailand
Thailand juga merupakan negara yang sering menjadi transit para pengungsi Rohingya yang ingin mencapai Malaysia atau Indonesia.
Namun, Thailand juga memiliki kebijakan yang ketat terkait pengungsi, yaitu menerapkan prinsip push back atau mengembalikan pengungsi ke laut.
Pada Februari 2020, Thailand menolak untuk menampung sekitar 65 pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan provinsi Satun dengan alasan bahwa mereka tidak meminta suaka.
Thailand juga tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, sehingga tidak mengakui status pengungsi secara hukum.
Thailand juga menganggap bahwa masalah Rohingya adalah masalah internal Myanmar yang harus diselesaikan oleh pemerintah Myanmar.
Singapura
Singapura adalah negara yang memiliki kebijakan yang sangat ketat terkait pengungsi.
Singapura tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, dan tidak memiliki undang-undang atau mekanisme untuk menangani pengungsi.
Singapura juga menolak untuk menampung pengungsi Rohingya dengan alasan bahwa negara ini terlalu kecil dan padat untuk menampung orang-orang asing.
Singapura juga mengatakan bahwa negara ini tidak memiliki sumber daya dan kapasitas untuk menangani masalah kemanusiaan yang kompleks seperti pengungsi Rohingya.
Singapura juga mengharapkan negara-negara lain di kawasan ini untuk berbagi tanggung jawab dan bekerja sama untuk mencari solusi bersama.
India
Baca Juga: Sejarah Rohingya Diusir dari Myanmar, Dimulai oleh Polah Inggris?
India adalah negara yang memiliki jumlah pengungsi Rohingya terbesar di Asia Selatan, dengan perkiraan sekitar 40.000 orang.
Namun, India juga memiliki sikap yang bermusuhan terhadap pengungsi Rohingya, terutama di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi yang berafiliasi dengan sayap kanan Hindu.
Pada Desember 2020, India menolak untuk menampung sekitar 185 pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di Samudra Hindia dengan alasan bahwa mereka tidak memiliki dokumen yang sah.
India juga berencana untuk mendeportasi pengungsi Rohingya yang sudah ada di negara ini dengan alasan keamanan dan kedaulatan.
India mengklaim bahwa pengungsi Rohingya adalah ancaman bagi stabilitas dan keamanan nasional, karena diduga ada keterlibatan kelompok militan dan teroris di antara mereka.
Pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut menghadapi situasi yang sangat tragis dan memprihatinkan.
Mereka tidak hanya menjadi korban dari kekerasan dan diskriminasi di Myanmar, tetapi juga dari penolakan dan pengabaian dari negara-negara lain yang seharusnya memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan.
Negara-negara yang menolak pengungsi Rohingya memiliki alasan-alasan yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya berasal dari kepentingan nasional dan ketidaksiapan untuk menangani masalah pengungsi.
Pengungsi Rohingya membutuhkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan, yang melibatkan kerja sama dan tanggung jawab bersama dari semua pihak yang terkait, termasuk Myanmar, Bangladesh, negara-negara penerima, dan organisasi internasional.
Pengungsi Rohingya juga berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan manusiawi, serta hak-hak dasar yang dijamin oleh hukum internasional.
Pengungsi Rohingya bukanlah beban, tetapi adalah manusia yang berhak hidup dengan damai dan bermartabat.