Intisari-online.com - Pada tahun 1964/1965, Indonesia mengalami konfrontasi dengan Malaysia, sebuah negara baru yang dibentuk oleh Inggris dari bekas jajahannya di Asia Tenggara.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, menganggap Malaysia sebagai "boneka neo-kolonialisme" dan "ancaman bagi revolusi Indonesia".
Soekarno, yang dikenal sebagai pemimpin revolusioner dan karismatik, mengobarkan semangat nasionalisme dan anti-imperialisme di kalangan rakyat Indonesia.
Ia memerintahkan operasi militer dan gerilya untuk mengganyang Malaysia, terutama di wilayah Serawak dan Sabah yang berbatasan dengan Kalimantan.
Konfrontasi ini tidak hanya melibatkan Indonesia dan Malaysia, tetapi juga menarik perhatian dunia internasional.
Negara-negara persemakmuran Inggris, seperti Australia, Selandia Baru, dan India, menurunkan ribuan pasukannya untuk membantu Malaysia.
Amerika Serikat, yang memiliki perjanjian keamanan dengan Australia, juga turut terlibat secara serius dan siap memberikan bantuan militer.
Situasi ini sangat berbahaya, karena saat itu dunia sedang berada di tengah Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
Indonesia, yang cenderung berkiblat ke Blok Timur, dianggap sebagai ancaman oleh Blok Barat.
Apalagi, saat itu Amerika Serikat juga sedang berperang di Vietnam Selatan untuk membendung komunisme Vietnam Utara yang didukung oleh China dan Uni Soviet.
Jika konfrontasi Indonesia-Malaysia berubah menjadi perang terbuka, maka ada kemungkinan perang itu akan memicu Perang Dunia III.
Baca Juga: Peristiwa Penting yang Terjadi Menjelang Proklamasi Kemerdekaan
Perang Dunia III adalah perang yang melibatkan banyak negara di dunia, terutama negara-negara yang memiliki senjata nuklir. Perang ini bisa menyebabkan kerusakan besar dan kematian massal di seluruh dunia.
Namun, beruntungnya, konfrontasi Indonesia-Malaysia tidak sampai menjadi perang terbuka. Ada beberapa faktor yang mencegah hal itu terjadi, antara lain:
- Adanya peran Letnan Jenderal Soeharto dan Kolonel LB Moerdani, yang diam-diam melancarkan operasi intelijen untuk mengakhiri konfrontasi secara damai.
Mereka berhasil menghubungkan Soekarno dengan Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson, yang kemudian menawarkan bantuan ekonomi dan politik kepada Indonesia.
- Adanya perubahan situasi politik di Indonesia, yang ditandai dengan terjadinya Gerakan 30 September 1965, yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Gerakan ini berusaha untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno, tetapi berhasil digagalkan oleh Soeharto.
Akibatnya, Soekarno kehilangan kekuasaan dan pengaruhnya, sementara Soeharto naik menjadi pemimpin baru Indonesia.
- Adanya kesadaran dari kedua belah pihak, Indonesia dan Malaysia, bahwa konfrontasi tidak akan menguntungkan siapa pun, tetapi hanya akan merugikan kedua negara.
Kedua negara akhirnya sepakat untuk menyelesaikan perselisihan mereka secara diplomatis, dengan bantuan dari negara-negara lain, seperti Thailand, Filipina, dan Jepang.
Pada tanggal 11 Agustus 1966, Indonesia dan Malaysia menandatangani Perjanjian Bangkok, yang mengakhiri konfrontasi secara resmi.
Perjanjian ini juga mengakui kedaulatan dan integritas teritorial Malaysia, serta menghapuskan klaim Indonesia atas Serawak dan Sabah.
Baca Juga: Kronologi Peristiwa Rengasdengklok yang Terjadi di Indonesia Hingga Indonesia Merdeka
Dengan demikian, konfrontasi Indonesia-Malaysia berakhir dengan damai, tanpa menyulut Perang Dunia III.
Ini adalah hasil dari upaya bersama dari berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar negeri, yang berusaha untuk menjaga perdamaian dan stabilitas dunia.