“Dalam bayangan kebanyakan orang, korban penculikan terutama tawanan perang akan diperlakukan tidak manusiawi dan caranya kejam hingga akhirnya muncul trauma,” imbuhnya.
Stockholm syndrome bisa terjadi karena berbagai faktor. Dari berbagai faktor inilah, perasaan yang positif bisa membuat tawanan menjadi “menyukai” atau “jatuh hati”.
Sehingga menurutnya, akan muncul kedekatan emosional yang terbangun di antara keduanya, pelaku dan tawanan bisa saling membantu di dalam keadaan terbatas.
“Bahkan saat dipulangkan atau bebas, akan terasa berat untuk meninggalkan pelaku, serta justru ingin membuat kenangan bersama, seperti meminta foto bersama,” terangnya.
Masih menurut Ratna, sindrom stockholm ini juga sebagai bentuk coping mechanism atau suatu upaya yang dilakukan seseorang ketika dalam kondisi tertekan atau stres untuk mengatasi tekanan, melindungi diri, dan bertahan hidup.
“Stockholm syndrome ini muncul karena korban penculikan ingin memiliki kesempatan bertahan hidup atau waktu lebih lama untuk menikmati hidup,” ucap Ratna.
Menurutnya, coping mechanism ini bisa terjadi secara sadar ataupun tidak sadar.
“Dalam waktu lama, mereka harus menikmati kondisi yang ada. Di sisi lain, mereka diperlakukan dengan baik oleh pelaku,” ujar dia.
Sehingga, tawanan tidak melawan atau menolak untuk berinteraksi dengan pelaku.
Istilah sindrom tersebut muncul dari peristiwa perampokan bank di Stockholm, Swedia pada 1973.
Saat itu, banyak pegawai yang ditawan oleh perampok.
Para tawanan tersebut kemudian bersimpati kepada para perampok yang telah menawannya.
Bahkan setelah bebas, para pegawai bank menolak untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan justru mengumpulkan uang untuk membela perampok.
“Kriminolog dan psikiater Swedia bernama Nils Bejerot menamainya dengan istilah sindrom stockholm,” jelas Ratna.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR