Sandera Hamas Disebut Mengalami Stockholm Syndrom, Ini Penjelasannya

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Beberapa netizen menyebut para sandera Hamas mengalami stockholm syndrome kepada para penculiknya.
Beberapa netizen menyebut para sandera Hamas mengalami stockholm syndrome kepada para penculiknya.

Intisari-Online.com -Ada yang menarik dalam proses pelepasan sandera/tawanan selama gencatan senjata antara Hamas dan Israel.

Dalam salah satu video yang beredar memperlihatkan salah satu gadis Israel yang menjadi sandera Hamas terlihat melambaikan tangan saat dilepaskan.

Netizen serempak menyebut sandera itu mengalamistockholm syndrome.

Tak hanya gadis itu, netizen juga menyebutkebanyakan warga Israel yang disandera terlihat memiliki raut wajah bahagia serta sempat melambaikan tangan dan berfoto bersama dengan pasukan Hamas.

Apa itustockholm syndrome?

“Confirmed Israelis have Stockholm syndrome. A hostage waves and greets Palestinians as they cheer and applaud (Warga Israel dikonfirmasi menderita Stockholm syndrome. Seorang sandera melambaikan tangan dan menyapa warga Palestina sambil bersorak dan bertepuk tangan),” tulis akun @YungravenCEO, Sabtu (25/11/2023).

“Stockholm syndrome is obvious when your prisoner alqassam trooper (Stockholm syndrome terlihat jelas ketika tawanan Anda adalah seorang tentara alqassam (sayap militer Hamas)),” tulis @dr_rahash, Minggu (26/11/2023).

"Stockholm syndrome at it finest (Stockholm syndrome yang terbaik)," ketik @rk_uae, Minggu (26/11/2023).

Dosenpsikologi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani Subardjo berkomentar terkait video-video yang beredar itu.

“Stockholm syndrome memang ada, suatu gangguan psikologis pada korban penculikan, penyanderaan, atau tawanan perang,” kata Ratna kepada Kompas.com, Selasa (28/11/2023).

Dia bilang,sindrom tersebut ada karena muncul perasaan positif seperti gembira dan nyaman selama menjadi tawanan atau korban penculikan.

“Korban tidak menyangka bahwa pelaku akan memanusiakan mereka dan bersikap santun,” ujar dia.

“Dalam bayangan kebanyakan orang, korban penculikan terutama tawanan perang akan diperlakukan tidak manusiawi dan caranya kejam hingga akhirnya muncul trauma,” imbuhnya.

Stockholm syndrome bisa terjadi karena berbagai faktor. Dari berbagai faktor inilah, perasaan yang positif bisa membuat tawanan menjadi “menyukai” atau “jatuh hati”.

Sehingga menurutnya, akan muncul kedekatan emosional yang terbangun di antara keduanya, pelaku dan tawanan bisa saling membantu di dalam keadaan terbatas.

“Bahkan saat dipulangkan atau bebas, akan terasa berat untuk meninggalkan pelaku, serta justru ingin membuat kenangan bersama, seperti meminta foto bersama,” terangnya.

Masih menurut Ratna, sindrom stockholm ini juga sebagai bentuk coping mechanism atau suatu upaya yang dilakukan seseorang ketika dalam kondisi tertekan atau stres untuk mengatasi tekanan, melindungi diri, dan bertahan hidup.

“Stockholm syndrome ini muncul karena korban penculikan ingin memiliki kesempatan bertahan hidup atau waktu lebih lama untuk menikmati hidup,” ucap Ratna.

Menurutnya, coping mechanism ini bisa terjadi secara sadar ataupun tidak sadar.

“Dalam waktu lama, mereka harus menikmati kondisi yang ada. Di sisi lain, mereka diperlakukan dengan baik oleh pelaku,” ujar dia.

Sehingga, tawanan tidak melawan atau menolak untuk berinteraksi dengan pelaku.

Istilah sindrom tersebut muncul dari peristiwa perampokan bank di Stockholm, Swedia pada 1973.

Saat itu, banyak pegawai yang ditawan oleh perampok.

Para tawanan tersebut kemudian bersimpati kepada para perampok yang telah menawannya.

Bahkan setelah bebas, para pegawai bank menolak untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan justru mengumpulkan uang untuk membela perampok.

“Kriminolog dan psikiater Swedia bernama Nils Bejerot menamainya dengan istilah sindrom stockholm,” jelas Ratna.

Artikel Terkait