Intisari-online.com - Indonesia dan Malaysia adalah dua negara tetangga yang memiliki banyak kesamaan, baik secara geografis, budaya, maupun agama.
Namun, dalam hal penanganan pengungsi Rohingya, kedua negara ini menunjukkan perbedaan yang mencolok.
Pengungsi Rohingya adalah etnis minoritas Muslim yang berasal dari Myanmar, yang mengalami diskriminasi dan kekerasan berat di negara asalnya.
Sejak tahun 2015, ribuan pengungsi Rohingya mencoba melarikan diri dengan menggunakan kapal-kapal yang tidak layak, dan berharap mendapatkan perlindungan di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia.
Indonesia: Negara Penampung dengan Perspektif Keamanan Insani
Indonesia belum menandatangani Konvensi Pengungsi PBB, yang merupakan instrumen hukum internasional yang mengatur hak dan kewajiban negara-negara terhadap pengungsi.
Namun, Indonesia memiliki Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, yang menunjukkan komitmen Indonesia untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi, sesuai dengan prinsip non-refoulement, yaitu larangan untuk mengembalikan pengungsi ke negara asal atau negara transit yang tidak aman.
Indonesia juga memiliki kerjasama dengan Badan Pengungsi PBB (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), yang bertanggung jawab untuk melakukan registrasi, verifikasi, dan penempatan pengungsi di tempat-tempat penampungan sementara, serta memberikan bantuan logistik, kesehatan, dan psikososial.
Selain itu, Indonesia juga mendapat dukungan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemanusiaan, dan komunitas lokal, yang turut membantu pengungsi dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan integrasi sosial.
Salah satu contoh yang menarik adalah penampungan pengungsi Rohingya di Aceh, yang diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat setempat, yang memiliki kesadaran tinggi akan nilai-nilai kemanusiaan dan agama.
Pengungsi Rohingya di Aceh mendapat fasilitas yang memadai, seperti tempat tinggal, makanan, pakaian, dan akses ke layanan kesehatan dan pendidikan.
Mereka juga mendapat kesempatan untuk belajar bahasa Indonesia, mengikuti kegiatan seni dan budaya, serta berinteraksi dengan warga lokal.
Indonesia memiliki perspektif keamanan insani dalam menangani pengungsi Rohingya, yaitu menempatkan kepentingan dan kesejahteraan pengungsi sebagai prioritas utama, tanpa mengabaikan kepentingan nasional dan kedaulatan negara.
Indonesia berusaha untuk memberikan perlindungan dan solusi yang berkelanjutan bagi pengungsi, dengan mengharapkan adanya kerjasama regional dan internasional yang lebih efektif dan inklusif.
Malaysia: Negara Transit dengan Perspektif Keamanan Tradisional
Malaysia juga belum menandatangani Konvensi Pengungsi PBB, dan tidak memiliki kerangka hukum nasional yang mengatur status dan perlindungan pengungsi.
Malaysia menganggap pengungsi Rohingya sebagai imigran ilegal, yang tidak berhak mendapatkan hak-hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
Malaysia juga tidak memiliki kerjasama resmi dengan UNHCR dan IOM, dan seringkali melakukan penangkapan, penahanan, dan deportasi terhadap pengungsi.
Malaysia memiliki perspektif keamanan tradisional dalam menangani pengungsi Rohingya, yaitu menempatkan kepentingan dan keamanan nasional sebagai prioritas utama, dengan menganggap pengungsi sebagai ancaman potensial terhadap stabilitas sosial, ekonomi, dan politik negara.
Malaysia berusaha untuk mencegah dan mengurangi arus masuk pengungsi, dengan mengharapkan adanya penyelesaian konflik di Myanmar sebagai solusi akhir.
Meskipun demikian, Malaysia tetap menjadi negara tujuan utama bagi pengungsi Rohingya, karena memiliki komunitas diaspora Rohingya yang besar, serta kesamaan budaya dan agama.
Pengungsi Rohingya di Malaysia berharap mendapatkan kesempatan untuk hidup yang lebih baik, meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan risiko, seperti diskriminasi, eksploitasi, dan penyelundupan manusia.
Baca Juga: Etnis Rohingya Datang Minta Izin Mendarat, Kenapa Warga Aceh Menolak Mereka?
Indonesia dan Malaysia memiliki perbedaan yang mencolok dalam hal kebijakan dan perlakuan terhadap pengungsi Rohingya.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan perspektif keamanan yang digunakan oleh aktor pembuat kebijakan di kedua negara.
Indonesia memiliki perspektif keamanan insani, yang menempatkan kepentingan dan kesejahteraan pengungsi sebagai prioritas utama, sementara Malaysia memiliki perspektif keamanan tradisional, yang menempatkan kepentingan dan keamanan nasional sebagai prioritas utama.
Perbedaan ini berdampak pada bentuk dan dinamika kebijakan yang diambil oleh kedua negara, serta pada kondisi dan harapan pengungsi Rohingya di kedua negara.