Bangka Belitung, Sumber Daya Alam yang Menjadi Rebutan Kesultanan Palembang, Inggris, dan Belanda

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Benteng Kulo Besak peninggalan Kesultanan Palembang.
Benteng Kulo Besak peninggalan Kesultanan Palembang.

Intisari-online.com -Bangka Belitung adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama, yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung, serta ratusan pulau-pulau kecil lainnya.

Provinsi ini memiliki sumber daya alam yang melimpah, terutama timah, yang sudah dieksploitasi sejak zaman kerajaan hingga kolonial.

Namun, kekayaan alam ini juga menimbulkan konflik dan persaingan antara berbagai pihak yang ingin menguasainya, baik dari dalam maupun luar negeri.

Sejarah Bangka Belitung tidak lepas dari sejarah Kesultanan Palembang, yang merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Nusantara.

Kesultanan Palembang didirikan oleh Raden Fatah, putra dari Sultan Demak, pada tahun 1550.

Kesultanan ini menguasai wilayah Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung.

Salah satu sumber pendapatan utama Kesultanan Palembang adalah perdagangan lada, yang banyak dibudidayakan di Bangka Belitung.

Lada merupakan rempah-rempah yang sangat diminati oleh bangsa Eropa, sehingga menjadikan Bangka Belitung sebagai salah satu pusat perdagangan internasional.

Namun, kejayaan Kesultanan Palembang tidak berlangsung lama. Pada abad ke-17, bangsa Belanda mulai masuk ke Nusantara dengan membawa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur.

VOC berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah dengan cara monopoli dan mengalahkan pesaing-pesaingnya, baik dari Eropa maupun Asia.

Salah satu cara yang dilakukan oleh VOC adalah dengan membuat perjanjian dengan para raja dan sultan di Nusantara, termasuk dengan Sultan Palembang.

Baca Juga: Sejarah Kerajaan Perlak, Benarkah Kerajaan Islam Pertama di Indonesia?

Perjanjian ini menguntungkan VOC, tetapi merugikan Kesultanan Palembang, karena harus membayar pajak dan memberikan hak monopoli kepada VOC.

Selain itu, VOC juga tertarik dengan sumber daya alam lain yang ada di Bangka Belitung, yaitu timah.

Timah merupakan bahan baku penting untuk industri dan perang di Eropa.

VOC mengetahui adanya timah di Bangka Belitung dari laporan seorang pedagang Inggris bernama Alexander Hamilton, yang pernah mengunjungi pulau-pulau tersebut pada tahun 1714.

Hamilton menulis bahwa di Bangka Belitung terdapat banyak timah yang berkualitas tinggi, dan penduduk setempat sudah mahir menambang dan mengolahnya.

Hamilton juga menulis bahwa timah di Bangka Belitung lebih baik daripada timah di Inggris, yang merupakan produsen timah terbesar di dunia saat itu.

VOC kemudian berusaha mendapatkan timah dari Bangka Belitung dengan cara membeli dari penduduk setempat atau dari Sultan Palembang.

Namun, hal ini tidak berjalan lancar, karena ada persaingan dari pedagang-pedagang lain, terutama dari Inggris dan Tiongkok, yang juga menginginkan timah dari Bangka Belitung.

Selain itu, Sultan Palembang juga tidak senang dengan campur tangan VOC dalam urusan internal kesultanan, seperti menentukan siapa yang berhak menjadi sultan, mengatur administrasi, dan mengirimkan pasukan.

Sultan Palembang juga merasa dirugikan oleh VOC, karena harus membayar hutang dan memberikan konsesi kepada VOC.

Akibatnya, terjadi beberapa kali perang antara Kesultanan Palembang dengan VOC, yang dikenal sebagai Perang Palembang.

Baca Juga: Contoh Peranan Kerajaan Islam Demak dalam Menyebarkan Islam di Pulau Jawa

Perang ini berlangsung sejak tahun 1659 hingga 1825, dengan beberapa kali gencatan senjata dan perjanjian damai.

Salah satu perang yang paling terkenal adalah Perang Palembang II, yang terjadi pada tahun 1819-1821.

Perang ini dipicu oleh penolakan Sultan Mahmud Badaruddin II untuk menyerahkan timah dari Bangka Belitung kepada VOC, yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap perjanjian sebelumnya.

VOC kemudian menyerang Palembang dengan bantuan pasukan Inggris, dan berhasil mengalahkan Sultan Mahmud Badaruddin II, yang melarikan diri ke daerah pedalaman.

VOC kemudian mengangkat adik Sultan Mahmud Badaruddin II, yaitu Sultan Ahmad Najamuddin, sebagai sultan boneka yang taat kepada VOC.

VOC juga mengambil alih penguasaan Bangka Belitung, dan menjadikannya sebagai daerah monopoli VOC.

Namun, VOC tidak bisa menikmati kekayaan timah dari Bangka Belitung dengan tenang.

Pada tahun 1824, terjadi perjanjian antara Inggris dan Belanda, yang dikenal sebagai Perjanjian London.

Perjanjian ini mengatur pembagian wilayah pengaruh di Nusantara antara kedua negara.

Menurut perjanjian ini, Inggris harus menyerahkan semua wilayahnya di Sumatera kepada Belanda, termasuk Bengkulu, yang merupakan basis Inggris di Sumatera.

Sebagai gantinya, Belanda harus menyerahkan semua wilayahnya di Semenanjung Malaya kepada Inggris, termasuk Melaka, yang merupakan basis Belanda di Malaya.

Baca Juga: Keruntuhan Kerajaan Mataram Islam, Akibat dari Perjanjian Giyanti dan Perang Jawa yang Dimanfaatkan Belanda

Selain itu, Belanda juga harus menyerahkan Bangka Belitung kepada Inggris, karena dianggap sebagai bagian dari Malaya.

Dengan demikian, Bangka Belitung menjadi daerah jajahan Inggris, dan diberi nama Duke of Island.

Inggris kemudian mengembangkan industri timah di Bangka Belitung, dengan mendirikan perusahaan-perusahaan tambang, seperti Biliton Maatschappij dan Bangka Tin Winning Bedrijf.

Inggris juga memperkenalkan sistem kerja paksa atau rodi, yang membuat para pekerja timah hidup dalam kondisi yang sangat buruk.

Inggris juga membawa banyak pekerja imigran dari Tiongkok, yang kemudian menetap di Bangka Belitung, dan membentuk komunitas Tionghoa Peranakan.

Pada tahun 1942, Jepang menginvasi Nusantara, dan mengusir Inggris dari Bangka Belitung.

Jepang kemudian mengambil alih industri timah di Bangka Belitung, dan memaksa para pekerja untuk bekerja lebih keras demi kepentingan perang Jepang.

Jepang juga melakukan berbagai kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap penduduk Bangka Belitung, seperti pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan penahanan.

Salah satu kejadian yang paling tragis adalah Pembantaian Parit Sulong, yang terjadi pada tahun 1942.

Saat itu, sekitar 300 tentara dan perawat Australia yang terluka dalam Pertempuran Muar di Malaya, ditawan oleh Jepang, dan dibawa ke Bangka Belitung.

Mereka kemudian ditembak mati, dibakar, dan dibuang ke sungai oleh Jepang, tanpa belas kasihan.

Baca Juga: Kerajaan Banten, Dari Kejayaan Hingga Kehancuran Akibat Belanda

Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Bangka Belitung kembali menjadi daerah jajahan Belanda, yang ingin mengembalikan kekuasaannya di Nusantara.

Namun, hal ini ditentang oleh Indonesia, yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Terjadi perang kemerdekaan antara Indonesia dan Belanda, yang berlangsung hingga tahun 1949.

Salah satu peristiwa penting dalam perang ini adalah Peristiwa Rengasdengklok, yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945.

Saat itu, Soekarno dan Hatta, yang merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, diculik oleh sekelompok pemuda, dan dibawa ke Rengasdengklok, sebuah desa di Karawang, Jawa Barat.

Mereka kemudian dipaksa untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sebelum Belanda datang dan mengambil alih kembali Nusantara.

Soekarno dan Hatta akhirnya setuju, dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Artikel Terkait