Peristiwa pelanggaran HAM tersebut dapat ditarik dari upaya-upaya penceramah di masjid dan musala di kawasan Tanjung Priok, yang kerap mengkritik Orde Baru.
Para penceramah ini mengkritik berbagai kebijakan seperti penerapan asas tunggal Pancasila, pelarangan ceramah tanpa izin, pelarangan mengenakan kerudung bagi siswi SMA, dan sebagainya.
Di samping itu, juga ada muatan politik secara spesifik yang melatarbelakanginya, semisal pengkerdilan partai Islam dan organisasi Islam lainnya.
Hal inilah yang kemudian mengundang datangnya orang-orang berlatar belakang militer ke kawasan tersebut dan mulai menertibkan masjid dan musala, khususnya Mushola As-Sa'adah.
7 September 1984
Seorang anggota Babinsa mendatangi Mushola As-Sa'adah dan meminta untuk mencopot pamflet jadwal pengajian yang juga berisi tulisan tentang problem Islam masa Orde Baru.
Tindakan seorang Babinsa itu tentunya melahirkan kemarahan masyarakat yang hadir dalam peristiwa tersebut.
Tidak cukup pelepasan pamflet, ketegangan masih berlanjut di keesokan harinya.
8 September 1984
Keesokan harinya, seorang oknum ABRI bernama Sertu Hermanu mendatangi Mushola As-Sa'adah dan meminta pengurus musala itu menyerahkan pamflet yang dilepas kemarin.
Dalam aksi tersebut, dia tidak saja menyita pamflet, tetapi juga menyinggung perasaan rakyat muslim karena memasuki musala tanpa melepas sepatu.
Dia bahkan menyiramkan air got ke dinding Mushola As-Sa'adah dan menginjak-injak Al-Quran.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR