Ia menjabat sebagai menteri penerangan, menteri luar negeri, dan perdana menteri. Ia juga menjadi salah satu pendiri Front Demokrasi Rakyat (FDR), sebuah koalisi partai-partai sayap kiri yang mendukung sistem demokrasi parlementer.
Amir Syarifuddin memiliki pandangan politik yang berbeda dengan Sukarno dan Hatta, yang lebih condong ke arah nasionalisme dan kerjasama dengan Belanda.
Amir Syarifuddin menentang perjanjian Renville yang mengakui kedaulatan Belanda atas sebagian wilayah Indonesia.
Ia juga menolak konsep negara kesatuan yang diusulkan oleh Sukarno dan Hatta, dan lebih memilih sistem federal yang memberikan otonomi lebih kepada daerah-daerah.
Juga mendukung hubungan yang lebih dekat dengan Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya.
Pada tahun 1948, Amir Syarifuddin terlibat dalam pemberontakan PKI di Madiun, sebuah kota di Jawa Timur.
Pemberontakan ini bertujuan untuk menggulingkan pemerintah Sukarno-Hatta dan mendirikan Republik Indonesia Sosialis.
Pemberontakan ini dipicu oleh ketidakpuasan PKI terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap mengkhianati cita-cita revolusi.
Namun, pemberontakan ini gagal karena tidak mendapat dukungan dari rakyat dan tentara.
Pemerintah Sukarno-Hatta menumpas pemberontakan ini dengan keras dan menangkap para pemimpinnya, termasuk Amir Syarifuddin.
Amir Syarifuddin diadili oleh pengadilan militer dan dihukum mati.
Baca Juga: Dituduh Berambisi Jadi Presiden Sosok Jenderal Ini Berani Gebrak Meja di Hadapan Presiden
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR