19 Oktober 1987, dua kereta api bertabrakan di sekitar Bintaro, lebih dari 156 orang meninggal dunia. Tragedi Bintaro meninggalkan duka hingga sekarang.
Intisari-Online.com -19 Oktober 1987 menjadi hari paling kelam dan paling berdarah dalam sejarah perkeretaapian Indonesia.
Hari itu, sekitar 156 orang tewas dalam sebuah kecelakaan kereta api yang kelak dikenal sebagai Tragedi Bintaro.
Itu adalah tragedi tabrakan adu banteng Kereta Api Rangkas dan Kereta Api Merak.
Tragedi itu kelak juga menginspirasi Iwan Fals menciptakan sebuah lagu berjudul "1910".
Akibat tabrakan tersebut, kedua kereta api ringsek karena benturan keras.
Saat bertabrakan, gerbong pertama di belakang lokomotif terdorong ke muka dan "mencaplok" lokomotif di depannya.
Dua lokomotif melengkung casisnya dan tertutup gerbong pertama yang diseretnya.
Menurut laporan Harian Kompas saat itu, lebih dari156 orang meninggal dan ratusan lainnya mengalami luka-luka.
Kecelakaan ini tercatat sebagai peristiwa maut dan terburuk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia.
Kecelakaan mengerikan itudisebabkan oleh kelalaian petugas.
Mengutip Kompas.com, peristiwa itu bermula dari kesalahpahaman kepala Stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 dengan tujuan Jakarta Kota.
Kereta itu berangkat menuju Sudimara tanpa mengecek kondisi di stasiun.
Alhasil, tiga jalur kereta yang berada di Stasiun Sudimara penuh akibat kedatangan KA 225.
Di sisi lain, KA 220 yang berada di Stasiun Kebayoran juga diberangkatkan tanpa komunikasi yang baik antara Stasiun Sudimara.
Kereta ini berada di jalur sebaliknya, yang mengarah ke Sudimara.
Kondisi itu memaksa juru langsir di Sudimara segera memindahkan lokomotif KA 225 menuju jalur tiga.
Masinis tak dapat melihat semboyan dari juru langsir karena ramainya jalur kereta.
Namun, KAA 225 yang seharusnya pindah rel tiba-tiba berangkat.
Semboyan 35 dilakukan.
Upaya dari juru langsir dan PPKA untuk menghentikan KA 225 sia-sia.
Lokasi kecelakaan yang berada di tikungan juga menyebabkan kedua masinis di kereta itu tak saling melihat.
KA 225 yang membawa tujuh gerbong akhirnya saling bertubrukan dengan KA 220 di Desa Pondok Betung pada pukul 06.45 WIB, kedua kereta ini saling bertabrakan.
KA 220 dengan kecepatan 25 kilometer per jam, sedangkan KA 225 dengan kecepatan 30 kilometer per jam saling beradu.
Soal kecepatan, kereta baru bisa berhenti total sekitar 200 meter setelah direm mendadak.
Sudah pasti ada usaha masinis untuk menghentikan laju kereta api, namun terdapat kendala karena peralatan rem yang digunakan sudah tua.
Dalam Tragedi Bintaro itu, masinis dan kondektur yang selamat dalam peristiwa itu mendapat sanksi tegas.
Harian Kompas pada 21 Oktober 1987 menjelaskan bahwa setelah peristiwa itu 15 orang petugas stasiun PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) mendapatkan pemeriksaan intensif.
Setelah melalui proses yang lama, akhirnya petugas itu mendapatkan sanksi.
PPKA (Pemimpin Perjalanan Kereta Api) Sudimara dianggap bersalah karena memberikan persetujuan persilangan kereta dari Sudimara ke Kebayoran tanpa persetujuan sebelumnya dari PPKA Kebayoran.
PPKA Stasiun Kebayoran juga disalahkan karena tak berkoordinasi lebih lanjut dengan Sudimara.
Masinis KA 225 dipersalahkan karena begitu menerima bentuk tempat persilangan langsung berangkat tanpa menunggu perintah PPKA dan kondektur.
Harian Kompas edisi 20 Oktober 1987 menjelaskan bahwa KA 225 dan KA 220 merupakan kereta buatan Henschel, Jerman.