Penjaran dan Pembakaran di Depan Mata, Ini Kesaksian di Balik Kerusuhan Mei 1998 di Solo

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998.
Ilustrasi - Kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998.

Intisari-online.com - Kerusuhan Mei 1998 adalah salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia.

Kerusuhan yang dipicu oleh krisis ekonomi, kritik terhadap pemerintahan Orde Baru, dan tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa itu tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di beberapa kota lain, termasuk Solo.

Solo, yang dikenal sebagai kota budaya dan pusat peradaban Jawa, menjadi saksi mata dari kekerasan dan pembakaran yang melanda kota itu pada tanggal 14-15 Mei 1998.

Banyak toko dan bangunan milik etnis Tionghoa yang menjadi sasaran amukan massa.

Tak hanya itu, banyak pula warga etnis Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan.

Salah satu saksi mata yang mengalami langsung kerusuhan itu adalah Eddy Hasby, seorang fotografer Kompas yang saat itu sedang bertugas di Yogyakarta.

Ia mengaku begitu terkejut dan lelah saat melihat keadaan Solo yang berubah menjadi lautan api dan darah.

"Saya sampai di Solo sekitar jam 10 malam tanggal 14 Mei. Saat itu saya melihat banyak massa yang bergerak menuju pusat kota. Saya ikut menyusuri jalan Slamet Riyadi dan melihat banyak toko yang sudah dibakar dan dirusak. Saya juga melihat banyak orang yang menjarah barang-barang dari toko-toko itu," kata Eddy.

Eddy mengatakan bahwa ia sempat berhenti di depan Mal Ratu Luwes, salah satu mal terbesar di Solo yang juga terbakar.

Ia mencoba mengambil gambar dari dalam mobilnya, tetapi tiba-tiba ada sekelompok orang yang mendekat dan memukuli mobilnya.

"Mereka menuduh saya sebagai mata-mata atau intel. Saya berusaha menjelaskan bahwa saya wartawan, tetapi mereka tidak percaya. Mereka memecahkan kaca mobil saya dan mencoba menarik saya keluar. Untungnya ada polisi yang datang dan membantu saya lolos dari mereka," ujar Eddy.

Baca Juga: Ngerinya Kerusuhan di Balik Peristiwa Mei 1998, Titik Nol Reformasi Indonesia

Eddy mengaku bahwa ia sempat trauma dan tidak bisa tidur setelah kejadian itu. Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah membayangkan bahwa Solo bisa menjadi begitu mengerikan.

"Solo itu kan kota yang ramah, sopan, toleran, dan luhur budayanya. Saya tidak tahu apa yang membuat mereka menjadi begitu brutal dan tidak berperikemanusiaan. Saya merasa sedih melihat kota ini hancur seperti itu," kata Eddy.

Eddy menambahkan bahwa ia sempat bertemu dengan beberapa korban yang selamat dari kerusuhan itu.

Ia mendengar kisah-kisah pilu dari mereka yang kehilangan harta benda, keluarga, atau martabat mereka.

"Ada yang cerita bahwa dia diperkosa oleh beberapa orang di depan suaminya yang terikat. Ada yang cerita bahwa dia melihat adiknya dibunuh di depan matanya. Ada yang cerita bahwa dia harus bersembunyi di dalam selokan untuk menghindari kejaran massa. Saya merasa iba dan prihatin dengan nasib mereka," kata Eddy.

Eddy berharap bahwa peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Solo tidak akan terulang lagi.

Ia berharap bahwa masyarakat Solo bisa menjaga toleransi dan persaudaraan antara sesama, tanpa membedakan suku, agama, atau ras.

"Solo itu kota yang indah dan kaya akan budaya. Saya berharap Solo bisa kembali menjadi kota yang damai dan harmonis. Saya berharap Solo bisa menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia," ujar Eddy.

Sementara itu, Suhatmi, seorang penjual angkringan yang juga menjadi saksi mata kerusuhan itu, mengaku masih merinding dan takut saat mengingat kejadian itu.

Ia mengatakan bahwa ia melihat banyak ledakan, pembakaran, dan penjarahan yang terjadi di sekitar tempatnya berjualan.

"Saya melihat banyak orang yang bawa-bawa obor, minyak tanah, dan tong minyak. Mereka melempar-lempar ke toko-toko dan membakarnya. Banyak toko yang milik orang Tionghoa yang jadi sasaran mereka," kata Suhatmi.

Baca Juga: Syarat & Cara Mendapatkan Bansos BLT Kemensos Rp 2,4 Juta Disalurkan Mulai Mei 2023

Suhatmi mengatakan bahwa ia sempat melihat beberapa korban yang terbakar hidup-hidup saat mencoba menjarah toko-toko itu.

Ia mengatakan bahwa ia merasa histeris dan tidak tega melihat pemandangan itu.

"Saya lihat ada orang yang seperti pitik dibakar dikarungin. Saya nggak ngerti apa salah mereka sampai harus dibunuh seperti itu. Saya merasa kasihan dan sedih melihatnya," kata Suhatmi.

Suhatmi berharap bahwa kerusuhan Mei 1998 di Solo adalah peristiwa terakhir yang menimpa kota ini.

Artikel Terkait