Sekarang Dikritik Karena Jalannya Lubang-lubang, Lampung Ternyata Menyimpan Kisah Pelanggaran HAM Mengerikan

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Tragedi Talangsari berdarah yang terjadi di Lampung buntut dari diterapkannya asas tunggal Pancasila oleh Orde Baru.
Tragedi Talangsari berdarah yang terjadi di Lampung buntut dari diterapkannya asas tunggal Pancasila oleh Orde Baru.

Tragedi Talangsari berdarah yang terjadi di Lampung buntut dari diterapkannya asas tunggal Pancasila oleh Orde Baru.

Intisari-Online.com -Lampung sedang disorot, semua berawal dari postingan seorang TikToker yang mengritisi jalan di Provinsi Lampung yang banyak lubang.

Kritik itu direspon dengan cara yang represif oleh otoritas terkait.

Masih soal Lampung, barangkali ini adalah salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat yang susah dilupakan oleh orang Indonesia.

Ini adalah Peristiwa Talangsari 1989 di Lampung.

Peristiwa mencekam ini terjadi pada 7 Februari 1989 diDusun Talangsari III, Kabupaten Lampung Timur.

Peristiwa ini adalah respon dari penerapan asas tunggal Pancasila oleh penguasa Orde Baru.

Aturan ini bermaktub dalamUU No. 3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya.

Dilansir Kompas.com, Peristiwa Talangsari memakan130 korban terbunuh, 77 orang dipindah secara paksa, 53 orang haknya dirampas, dan 46 lainnya disiksa.

Ketika itu, pemerintah Orde Baru sedang gencar-gencarnya mengampanyekan doktrin asas tunggal Pancasila.

Prinsip yang diterapkan Soeharto dalam asas ini disebut dengan Eka Prasetya Panca Karsa dengan pedoman program bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).

Program P-4 ini banyak menyasar kelompok Islamis yang saat itu bersikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru.

Akibatnya, aturan ini membuat sekelompok orang di Lampung melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh Warsidi.

Kronologi Talangsari

Bagi warga Talangsari, Warsidi bukan orang sembarangan, dia sering dijadikan imam salat oleh teman-temannya.

1 Februari 1989,Kepala Dukuh Karangsari mengirimkan surat untuk Komandan Koramil Way Jepara, Kapten Soetiman.

Dalam surat itu Kepala Dukuh bilang bahwa ada sekelompok ornag yang melakukan kegiatan mencurigakan.

Warsini dan kelompoknya sendiri menamakan diri sebagaiKomando Mujahidin Fisabilillah di Lampung Tengah.

6 Februari 1989, Warsidi dan pengikutnya dimintai keterangan melaluiMusyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA).

Musyawarah itu dipimpin langsung oleh Kapten Soetiman.

Rombongan dari Kantor Camat Way Jepara berangkat menuju kompleks kediaman Anwar, salah satu pengikut Warsidi.

Rombongan yang berangkat berjumlah sekitar 20 orang, dipimpin oleh Kepala Staf Kodim Lampung Tengah May Sinaga, termasuk kapten Soetiman.

Sesaat setelah Kapten Soetiman sampai di sana, ia langsung dihujani panah dan perlawanan golok.

Dalam bentrokan ini, Kapten Soetiman tewas.

Tewasnya Kapten Soetiman lantas membuat Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono bertindak melawan Warsidi.

7 Februari 1989, tiga peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu Cihiedung, pusat gerakan.

Menjelang subuh, keadaan di Cihiedung sudah berhasil dikuasai oleh ABRI.

Dalam bentrokan ini, sedikitnya 246 penduduk sipil tewas.

Sementara, menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut ada 47 korban tewas dan 88 lainnya hilang.

Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi berhasil ditangkap.

Bagi Komnas Ham, kasus Peristiwa Talangsari tergolong dalam pelanggaran HAM berat, karena peristiwanya yang terjadi secara meluas dan sistematis, berbeda dengan kejahatan biasanya.

Menurut UU No. 26 Tahun 2008 pasal 9 tentang pengadilan HAM menyebutkan bahwa penyerangan terhadap kelompok sipil yang dilakukan atas perintah dari atasan militer maupun non-militer dapat dikategorikan sebagai kejadian sistematis, dianggap kejahatan terhadap kemanusiaan.

Tahun 2001, korban dari Peristiwa Talangsari mendesak Komnas HAM untuk segera membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM).

Pada 23 Februari 2001, tim penyelidikan pun dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999.

Tim ini terdiri dari: Enny Suprapto (Kekerasan) Samsudin (Hak Hidup) Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan) Muhammad Farid (Anak-anak) Tim mulai bekerja pada akhir Maret sampai awal April 2005.

Setelah Komnas HAM turun ke lapangan pada Juni 2005, didapati adanya pelanggaran HAM yang berat.

Setelah Komnas HAM mengeluarkan laporan penyelidikan, berkas diserahkan ke Kejaksaan Agung.

Namun, laporan tersebut ditolak oleh Kejaksaan Agung karena dianggap kurang ada bukti formil dan materiil.

Beberapa tahun berselang, 20 Februari 2019, terjadi deklarasi damai Talangsari yang diinisiasi oleh Tim Terpadu Penangan Pelanggaran Ham dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Deklarasi ini dilakukan di Dusun Talangsari, Lampung Timur, dihadiri oleh anggota DPRD Lampung Timur, Kapolres, Dandim, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu.

Isi dari deklarasi tersebut adalah agar korban Talangsari tidak lagi mengungkap kasus tersebut karena telah dianggap selesai oleh pemerintah dengan kompensasi berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung.

Dari isi tersebut, korban dan masyarakat sipil pun melemparkan penolakan, karena kompensasi yang diberikan bukan kompensasi khusus untuk orang-orang yang menjadi korban dalam Peristiwa Talangsari.

Korban yang ada dalam Perkumpulan Keluarga Korban Peristiwa Pembantaian Talangsari Lampung didampingi oleh Kontras dan Amnesti Internasional Indonesia melaporkan perihal deklarasi tersebut pada Ombudsman Republik Indonesia.

Akhirnya, tanggal 13 Desember 2019, Ombudsman mengumumkan bahwa deklarasi damai Talangsari dinyatakan maladministrasi. Dengan demikian, para korban Talangsari masih harus berjuang memperoleh haknya.

Artikel Terkait