Di sisi lain, psikiater Institute of Mental Health Singapura menemukan bahwa Saridewi tidak menderita penyakit mental atau cacat intelektual apa pun selain riwayat penyalahgunaan narkoba.
Hal tersebut bertentangan dengan klaim Saridewi bahwa dirinya menderita gangguan depresi yang terus-menerus.
Lantaran menyelundupkan lebih dari 15 gram heroin, sebagaimana aturan di Negeri Singa, Saridewi Djamani pun divonis dengan hukuman mati.
Jika benar-benar dilaksanakan, Saridewi Djamani akan menjadi wanita Singapura pertama yang mendapat hukuman mati dalam kurun waktu hampir 20 tahun.
Dilansir The Guardian, Selasa (25/7/2023), sebelum Saridewi, Singapura terakhir mengeksekusi mati seorang wanita pada 2004.
Dia adalah Yen May Woen, seorang penata rambut berusia 36 tahun yang digantung mati karena kasus perdagangan narkoba.
Singapura memiliki beberapa undang-undang narkoba paling keras di dunia yang menuai kritik internasional dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah disebut mempertahankan hukuman mati sebagai pencegah paling efektif terhadap kejahatan narkoba.
Namun, pakar hukuman mati di Amnesti Internasional, Chiara Sangiorgio, mengatakan, tidak ada bukti hukuman mati memiliki efek jera pada penggunaan dan ketersediaan narkoba.
"Tidak masuk akal bahwa otoritas Singapura dengan kejam terus mengejar lebih banyak eksekusi dengan dalih pengendalian narkoba," kata dia.
"Ketika negara-negara di seluruh dunia menghapus hukuman mati dan merangkul reformasi kebijakan narkoba, otoritas Singapura tidak melakukan keduanya," ungkapnya.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR