Ternyata Ini Alasan Kenapa Gedung Arsip Nasional Sarat Ornamen Kristiani

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Gedung Arsip Nasional yang berada di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, ini ternyata pernah dimiliki oleh komunitas gereja.
Gedung Arsip Nasional yang berada di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, ini ternyata pernah dimiliki oleh komunitas gereja.

[ARSIP]

Ternyata, Gedung Arsip Nasional yang berada di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, ini pernah dimiliki oleh komunitas gereja. Tidak heran bila banyak ornamen Kristiani di dalamnya.

OlehSiswadhi & Mary Jane untuk Kisah Jakarta Tempo Doeloe/Intisari

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kalau kita menengok ke rumah nomor 112 di tengah hiruk-pikuk keramaian lalu lintas Jalan Gajah Mada, rasanya waktu seolah-olah berhenti beberapa abad di situ. Perasaan itu memang tidak meleset jauh.

Pilar kuat, dinding dan pintu tebal memang ciri gedung zaman Kompeni. Ketika Reinier de Klerk membangun gedung itu, konon ia sudah menyatakan ingin membangun sebuah gedung abadi.

Reinier de Klerk seorang pedagang besar, membangun rumah itu ketika ia masih menjadi anggota Raad van Indie pada tahun 1760.

Ketika dia diangkat menjadi gubernur jenderal, baginya tersedia rumah kediaman resmi Istana Bogor dan 'Rumah Merah' yang dulu terletak di kompleks Duta Merlin sekarang. Tetapi dia paling senang tinggal di rumah Molenvliet (Gajah Mada), De Klerk meninggal tahun 1780, disusul istrinya lima tahun kemudian.

Lewat lelang (kebiasaan waktu itu), rumah tersebut jatuh ke tangan Johannes Siberg, menantu Gubernur Jenderal Alting, pengganti de Klerk. Siberg sendiri kemudian juga menjadi gubernur jenderal antara tahun 1801-1805.

Siberg meninggal di rumah itu pada 18 Juni 1817 sebagai pensiunan gubernur jenderal. Selanjutnya rumah itu dijual tahun 1818 kepada Lambertus Zegers Veeckens, yang kemudian menjadi presiden Raad van Financien (Dewan Keuangan).

Tetapi dua tahun kemudian dijual lagi kepada Leendert Miero, seorang tukang emas Yahudi yang kaya. Dari Miero rumah itu pindah ke tangan menantunya, notaris Joan Cornells Mayer. Pada 1844 dijual kepada College van der Hervormde Gemeente (Dewan Gereja Jemaat Pembaruan).

Waktu itu rumah tersebut banyak mengalami perubahan. Bagian depan ditambah dengan ruang gaya Yunani untuk gereja dan taman kanak-kanak, tetapi kemudian dibongkar lagi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pekarangan belakang dibuat tempat bermain dengan ditanami pohon pisang. Gedungnya sendiri dipakai sebagai rumah piatu.

Baca Juga: Penjelasan Mengapa Arsip Menjadi Sumber Sejarah Primer

Dewan Gereja kemudian merasa tempat itu kurang cocok lagi untuk gereja dan rumah piatu, karena dalam waktu selanjutnya makin banyak orang Cina dan Arab membangun rumah di daerah Molenvliet.

Akhirnya gedung tersebut dijual kepada Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900. Pemerintah Hindia Belanda membeli gedung itu untuk melindunginya dari penghancuran karena waktu itu kotapraja Batavia juga sedang giat melaksanakan program pengembangan kota.

Pada 1900 rumah tersebut ditempati Departemen Pertambangan, tetapi antara tahun 1900 dan 1925 sangat terlantar. Baru pada tahun 1925 rumah itu digunakan sebagai Landsarchief dan sekarang menjadi Arsip Nasional.

Setelah sekian kali berpindah tangan tentu saja rumah itu beberapa kali mengalami perubahan. Tapi keadaannya sekarang masih banyak menunjukkan corak aslinya.

Sewaktu rumah itu dipakai oleh Departemen Pertambangan, jajaran pilar di belakang diganti dinding modern. Cat merah dan emas yang merupakan ciri khas gedung itu diganti menjadi abu-abu, warna dari gedung-gedung pemerintah waktu itu. Ubin dari Delft (sebuah kota di Belanda) yang menutupi sebagian dinding juga dicopoti. Konon untuk menghiasi Kamar Kompeni di Museum Pusat.

Namun sebagian daripadanya masih dapat kita kagumi sampai sekarang. Ubin-ubin itu menunjukkan adegan-adegan dari kisah Kitab Injil. Warnanya tidak biru (Delftsblauw) sebagaimana lazimnya, tetapi agak coklat keungu-unguan.

Di atas pintu belakang yang sudah dibongkar ketika ditempati Departemen Pertambangan ada ukiran yang melambangkan 'Cinta kasih'. Konon ukiran itu sudah berpindah ke Amerika. Ukiran-ukiran gaya barok yang menghias bagian atas pintu itu memang bukan sekedar ukiran, tetapi ada maknanya.

Pintu depan yang tampak dari jalan, kalau didekati menggambarkan seorang wanita Eropa dengan satu tangan memegang jangkar dan tangan lain memegang obor. Ukiran itu melambangkan 'pengharapan'.

Pintu tengah yang menghubungkan bangsal tengah dengan bangsal belakang menggambarkan ‘iman’ yaitu ukiran wanita mengacungkan salib. Menurut dugaan, di atas pintu belakang pasti terukir lambang 'Cinta', sebab menurut kebiasaan 'pengharapan' dan 'iman' selalu bertaut dengan 'cinta.

Pintu inilah yang diperkirakan dibongkar oleh Departemen Pertambangan. Selain itu masih ada beberapa pintu lain yang di bagian atasnya berhias ukiran indah. Ketika Arsip Negara pindah ke rumah itu pada 1925, pemerintah Hindia Belanda telah memperbaikinya sebisa mungkin. Taman depan ditanami lagi. Bekas tempat tinggal budak di halaman belakang digunakan untuk gudang arsip.

Sepanjang jalan masuk dari pintu gerbang sampai ke pintu depan dulu ada sederetan pohon yang ditanam secara simetris. Kolam air di halaman belakang yang sekarang masih ada berasal dari tahun 1927, ketika sudah menjadi Arsip Negara.

Dulu di kolam itu ada air mancur kecil dan ikan mas. Kolam itu rupanya tiruan dari Istana Versailles, Prancis. Dulu juga ada meriam kecil di kiri-kanannya, lengkap dengan pedati mainan.

Sekarang pun masih ada dua meriam di belakang. Rupanya meriam itu sisa museum terbuka yang antara lain berisi pintu gerbang dan bagian depan rumah-rumah kuno.

Sumber air panas yang digali waktu zaman Departemen Pertambangan yang terletak dekat pintu gerbang masih ada sampai sekarang. Sumber air itu sudah ditutup, tetapi airnya disalurkan ke belakang. Airnya memang benar-benar hangat.

Baca Juga: Riwayat Museum Gajah, Dari Pusat Penelitian Sejarah Hingga Tempat Pacaran

Para pemilik rumah ini dulu menggunakan bagian atas sebagai ruang tinggal sehari-hari. Ruang atas yang terdiri dari enam kamar, berlantai kayu, keadaannya jauh lebih sederhana dari ruang-ruang bawah. Hanya anggota keluarga dan teman akrab yang naik ke sana. Kamar-kamar itu merupakan kamar tidur keluarga, tempat penyimpanan perabot dan dapur.

Kalau kita sekarang menaiki tangga gedung Arsip Nasional ini, ada satu hal yang menarik. Ternyata orang Belanda zaman dulu juga tidak terlalu tinggi.

Kalau tidak hati-hati, kepala seseorang setinggi 170 cm juga akan terbentur lantai loteng pada saat naik, atau turun. Sisi tangga dibuat rapat, tetapi di bagian bawah dan tengah ada tonggak berhias pot bunga ukir. Di atas tergantung ukiran seuntai buah anggur.

Ruang bawah meliputi tiga ruangan, yakni ruang utama, tengah dan belakang. Antara ruang utama dan tengah ada pilar. Sedang antara ruang tengah dan belakang ada dinding dengan hiasan atas pintu yang melambangkan 'iman’.

Ruangan-ruangan bawah ini merupakan ruangan resmi tuan dan nyonya rumah. Di situ mereka menerima tamu dan menyelenggarakan pesta atau resepsi yang menjadi kegemaran zaman itu.

Ruangan-ruangan bawah ini, terutama 'bangsal' utama digambarkan sangat megah dan mewah, penuh lampu kristal dan lilin. Cahayanya memantul dari jendela-jendela kaca jika dinyalakan. Hiasan dinding dari gelas dan porselin serta perabotan antik dari berbagai periode menambah kemegahan.

Sekarang juga masih terdapat banyak perabotan kuno yang menghias ruangan bawah, tetapi bukan asli dari rumah tersebut. Misalnya lonceng kecil, kursi dan meja makan, kursi dan meja rapat, lemari besi antik, peti besi dan sebagainya. Sebagian besar berasal dari Bataviaasch Genootschap dan titipan warga Belanda perorangan ketika mereka harus mengungsi waktu Jepang masuk.

Kalau kita masuk ke dalam gedung dan hari sedang dingin, mungkin kita akan merasa sedang berada di Den Haag atau Amsterdam. Sedang kalau melongok dari jendela loteng ke depan, dengan sedikit berkhayal kita akan mendapat kesan berada di Istana Versailles dekat Paris atau Schoenbrunn di Austria.

Soalnya taman di depan gedung dirancang menurut pola taman Prancis. Bedanya, kalau di Versailles pola itu dibentuk dengan bunga, di situ dengan berbagai jenis tanaman hijau.

Arsip Nasional memang indah dan patut kita banggakan serta kagumi. Gedung itu pun sebenarnya terbuka untuk umum. Namun sayang bahwa kebanyakan justru hanya wisatawan asing yang datang untuk menikmati peninggalan kuno itu.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait