Aipda M merupakan anggota polisi aktif yang terlibat dalam sindikat jual beli ginjal di Kamboja. Komisinya cukup besar.
Intisari-Online.com -Ada sosok Aipda M saat ditangkapnya sindikat jual-beli ginjal ilegal di Kamboja.
Bukan sebagai penangkap, Aipda M justru menjadi bagian dari sindikat tersebut.
Dari aksinya membantu jual-beli ginjal ilegal, Aipda M disebut mendekat komisi hingga Rp612 juta.
Angk yang besar, bukan?
Dua hari yang lalu, Polda Metro Jaya berhasil membongkar sindikat jual beli ginjal ilegal.
Ada12 orang yang ditangkap dalam sindikat itu, satu orang anggota polisi, dan satu lagi anggota imigrasi.
Operasi jual beli ginjal ini ternyata terjadi di Kamboja, kliennya juga orang-orang dari berbagai negara.
Dilaporkan Kompas.com, Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi mengatakan, para donor ginjal dari Bekasi, Jawa Barat.
Sebelum bertemu dengan para penerima, mereka akan diobservasi selama satu minggu di Kamboja.
"Setelah itu dipertemukan, baru kemudian dilaksanakan transplantasi ginjal," tambah dia.
Setelah transplantasi selesai, masa penyembuhan para donor dilakukan selama tujuh hari di Kamboja.
"Masa penyembuhannya selama tujuh hari, kemudian kembali ke Indonesia," ujar dia.
Adapun para penerima ginjal dari sindikat jual beli ginjal ini berasal dari berbagai negara.
"Menurut keterangan donor, receiver ginjal ini berasal dari mancanegera, salah satunya India, Tiongkok, Malaysia, Singapura, dan sebagainya," ungkap Hengki.
Hengki menjelaskan, satu ginjal dihargai Rp 200 juta oleh rumah sakit di Kamboja.
Namun, masing-masing donor hanya menerima uang Rp 135 juta.
Sisa Rp 65 juta diambil anggota sindikat dengan alasan ongkos operasional serta pembuatan paspor.
Sebelumnya, tim gabungan dari Polda Metro Jaya dan Mabes Polri menangkap 12 orang terkait kasus jual-beli ginjal manusia.
"Dari 12 tersangka ini, 10 merupakan bagian daripada sindikat, di mana dari 10 orang, sembilan adalah mantan donor," ujar Hengki.
Sementara itu, dua orang lainnya yakni oknum anggota Polri dan oknum petugas imigrasi yang bersekongkol dengan sindikat tersebut.
Anggota polisi yang terlibat dalam sindikat jual beli ginjal itu adalah Aipda M.
Dia berperan membantu para tersangka agar tidak terlacak oleh aparat.
"Dia ini anggota yang berusaha mencegah, merintangi, baik langsung atau tidak langsung proses penyidikan yang dilakukan tim gabungan," kata Hengki.
"Yaitu dengan cara menyuruh membuang HP, berpindah-pindah tempat, pada intinya adalah menghindari pengejaran dari pihak kepolisian."
Atas perannya itu, Aipda M disebut menerima uang total Rp612 juta.
Sementara itu, oknum petugas imigrasi, berinisial HA, berperan memalsukan surat rekomendasi perjalanan ke luar negeri untuk para korban.
HA diketahui menerima uang Rp 3,2 juta-Rp 3,5 juta untuk setiap korban yang berangkat ke Kamboja.
"Keberangkatan ke luar negeri, ternyata mereka memalsukan rekomendasi dari beberapa perusahaan seolah-olah akan family gathering ke luar negeri," kata Hengki.
"Apabila ditanya petugas imigrasi akan ke mana, family gathering, ini surat rekomendasi. Ini ada dua perusahaan yang dipalsukan oleh kelompok ini, seolah-olah akan family gathering, termasuk stempelnya (dipalsukan)," sambung dia.
Hengki menuturkan, para tersangka selalu mengincar korban yang tergolong kelompok ekonomi rentan.
Mayoritas korban adalah orang-orang yang terdesak secara ekonomi imbas diterpa pandemi Covid-19.
"Kami perlu sampaikan bahwa tindak pidana saat ini, terkait dengan tindak pidana perdagangan orang yang meliputi perekrutan, pengangkutan, penampungan, pemindahan, termasuk dengan memanfaatkan posisi rentan dengan tujuan eksploitasi," ucap Hengki.
Korban memiliki latar belakang berbeda.
Hengki memerinci, para korban itu ada yang berprofesi sebagai pedagang hingga seorang lulusan strata-2 yang tidak bekerja.
"Profesi korban ini ada pedagang, ada guru privat, bahkan calon donor ini ada yang S2 dari universitas ternama, karena tidak ada kerjaan dari dampak pandemi (Covid-19) ini," ungkap Hengki.
"Kemudian juga ada buruh, sekuriti, dan sebagainya. Jadi, motifnya sebagian besar adalah ekonomi dan posisi rentan ini dimanfaatkan oleh sindikat ini," jelas dia.
Adapun para korban didapatkan oleh para pelaku melalui media sosial Facebook.
Hengki menyebutkan, ada dua akun grup komunitas yang dikendalikan oleh tersangka.
Dua grup itu yakni "Donor Ginjal Indonesia" dan "Donor Ginjal Luar Negeri".
"Di sini ada yang spesifik ternyata dari donor berubah jadi perekrut, kemudian dijanjikan uang Rp 135 juta masing-masing apabila selesai melaksanakan transplantasi ginjal di Kamboja sana," ujar Hengki.
Setelah menangkap 12 tersangka, polisi pun mengetahui harga satu ginjal yang diambil dari para korban.
Hengki menyebutkan, korban sebenarnya mendapat uang Rp 200 juta.
Namun, uang itu dipotong Rp 65 juta oleh tersangka sebagai biaya ganti akomodasi, penggantian paspor, dan biaya rumah sakit selama proses pengangkatan ginjal berlangsung.
"Rp 135 juta dibayar ke donor, sindikat terima uang Rp 65 juta untuk setiap satu orang," tutur Hengki.
"Menurut keterangan para donor, penerima ginjal-ginjal itu juga berasal dari berbagai negara, yakni India, China, Malaysia, dan Singapura," imbuh dia.
Operasi di RS milik Pemerintah Kamboja Adapun operasi pengangkatan ginjal dilakukan di rumah sakit milik Pemerintah Kamboja.
Hal itu diungkapkan oleh Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Krishna Murti.
"Tindak pidana ini dilakukan di rumah sakit yang secara otoritas di bawah kendali pemerintahan Kamboja," ungkap Krishna di Mapolda Metro Jaya, Kamis.
Karena itu, polisi akan berkomunikasi dengan otoritas pemerintah untuk menyelidiki lebih lanjut soal jual beli ginjal di rumah sakit tersebut.
Polri juga akan meminta Staf Khusus (Stafsus) Perdana Menteri Kamboja Hun Sen untuk memulangkan para korban di rumah sakit itu.