Desa Hokse di Nepal dikenal sebagai Kidney Valley, sebagian besar penduduknya telah menjual salah satu ginjalnya ke India.
Intisari-Online.com -Sindikat jual beli ginjal di Indonesia berhasil dibongkar oleh Polda Metro Jaya.
Setidaknya ada 12 orang yang ditangkap yang diduga sebagai bagian dari sindikat tersebut.
Dari 12 orang itu, satu di antaranya adalah seorang anggota polisi berpangkat Ajun Inspektur Dua atau Aipda.
Satu lagi seorang petugas imigrasi, 10 lainnya anggota sindikat.
Berbicara tentang jual-beli ginjal ilegal, jadi teringat sebuah desa di Nepal yang mendapat julukan Kidney Valley alias Lembah Ginjal.
Hampir seluruh penduduk desa tersebut telah menjual salah satu ginjalnya, rata-rata ke India.
Bagaimana cerita Kidney Valley?
Hampir seluruh penduduk di Desa Hokse, Nepal,telah menjual salah satu ginjalnya.
Karena itulahdesa ini disebut dengan “Kidney Valley” alias “Lembah Ginjal”.
Pangkalnya, tak lain dan tidak bukan, adalah kemiskinan.
Broker organ manusia secara teratur mengunjungi desa dan meyakinkan pendudukan yang miskin untuk menjual salah satu ginjalnya.
Mereka, para broker itu, menggunakan pelbagai cara untuk meyakinkan mereka supaya mau pergi ke India melakukan operasi pengambilan ginjal.
Para broker itu meyakinkan penduduk: manusia hanya butuh satu ginjal untuk bertahan hidup.
Tak berhenti sampai situ, mereka juga menambahi, bahwa ginjal akan tumbuh kembali setelah beberapa saat.
Untuk setiap ginjal, para broker itu biasa menebusnya seharga 2000 dolar (sekitar Rp30 juta).
“Selama 10 tahun orang datang ke desa kami mencoba meyakinkan kami untuk menjual ginjal kami, tapi saya selalu bilang tidak,” kata Geetha, salah seorang penduduk.
Tapi seiring bertambahnya keluarganya, dia tetap ingin menyediakan rumah yang lebih layak.
“Saya selalu ingin rumah saya sendiri dan sebidang tanah, dan dengan anak-anak lagi, saya benar-benar membutuhkannya.”
Dia pun akhirnya pergi bersama kakak iparnya yang seorang broker, ke India, untuk menjalani operasi.
Sayangnya, rumah Gethaa—yang ia bayar menggunakan salah satu ginjalnya—hancur dilanda gempa yang mengguncang Nepal pada akhir April 2015.
Bencana itu membuat sebagian besar penduduk desa menjadi tunawisma dan memaksa beralih ke alkohol untuk memendam kepedihan mereka.
Dan dalam kondisi seperti ini, perdagangan ginjal semakin giat.
Meski ilegal, diperkirakan ada 10 ribu operasi gelap dengan 7.000 ginjal dijual tiap tahun.
Tidak semua pedagang ginjal bersikap baik menunggu persetujuan penduduk untuk menjual ginjalnya.
Kadang-kadang korban diculik dan dipaksa untuk menjalani operasi.
Atau, mereka dipaksa untuk percaya bahwa mereka sedang membutuhkan jenis operasi lain, dan ginjal akan dipotong tanpa sepengetahuan mereka.
Beberapa korban bahkan dibunuh untuk dua ginjal mereka.
Pada 2014,TIME menulis cerita tentang Kenam Tamang yang ditipu oleh menantunya sendiri.
Dia menjanjikan Tamang pekerjaan yang lebih baik di Chenai, India, tapi begitu mereka sampai di sana, ternyata itu adalah tipuan semata.
“Saya diantar ke rumah sakit, di mana saya diberi tahu bahwa mereka akan mengambil ginjal saya,” ujar Tamang.
“Dia bilang saya akan mendapatkan jumlah yang baik untuk ginjal saya, dan tidak akan berpengaruh terhadap kesehatan saya. Dia bahkan bilang bahwa ginjal saya akan tumbuh lagi.”
Cerita mirip juga dialami oleh Bahadur Damai.
Dia juga melakukan perjalanan ke India untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.
Alih-alih pekerjaan, Damai dipaksa menenggak minuman hingga mabuk.
“Ketika saya terbangun, saya sudah berada di sebuah tempat tidur di rumah sakit. Mereka telah mengambil ginjal saya,” cerita Damai.
Tiga bulan kemudian, dia diberi uang ganti 150 dolar.
Dengan uang itu, ia membeli sebidang tanah yang jauh dari kata luas.
Laxman Lamichhane, pengacara dan koordinator program di Forum for Protection of People’s Rights Nepal (PPR Nepal), mengatakan bahwa orang-orang merasa tidak aman dan ketakutan di tempat tinggal mereka sekarang meskipun ada pasukan keamanan yang memantau.
“Mereka harus menghadapi begitu banyak wajah-wajah baru dalam kehidupan mereka,” kata Lamichhane.
Mereka, orang-orang baru itu, telah diidentifikasi sebagai pelaku perdagangan manusia yang sengaja mencoba untuk memikat warga agar mau bekerja ke luar negeri, seperti India.
“Ketika kembali ke desa, orang-orang itu ternyata sudah tertipu. Mereka tidak dipaksa untuk menjual ginjal mereka,” tambah Krishna Pyari Nakarmi, pengacara lain di PPR Nepal.
Ironisnya, tidak mendapat dukungan, orang-orang tertipu ini justru menjadi bahan omongan warga lokal.
Mereka dikucilkan di komunitasnya sendiri.
“Bahkan anak-anak mereka didiskriminasi di sekolah. Ini membuat mereka frustasi dan depresi dan akhirnya lari ke minuman,” tambah Nakarmi.