Menyambut Malam 1 Suro, Ada Tujuan Khusus Kenapa Sultan Agung Menciptakan Kalender Jawa

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sultan Agung punya tujuan khusus kenapa mencitapkan Kalender Jawa, dengan menggabungkan kalender Saka dan kalender Hijriah. Selamat Malam 1 Suro,
Sultan Agung punya tujuan khusus kenapa mencitapkan Kalender Jawa, dengan menggabungkan kalender Saka dan kalender Hijriah. Selamat Malam 1 Suro,

Sultan Agung punya tujuan khusus kenapa mencitapkan Kalender Jawa, dengan menggabungkan kalender Saka dan kalender Hijriah. Selamat Malam 1 Suro.

Intisari-Online.com -Berbicara soal Malam 1 Suro atau 1 Suro, tak bisa dilepaskan dari Kalender Jawa yang diciptakan oleh Sultan Agung.

Tak sekadar menciptakan, penguasa terbesar Mataram Islam itu ternyata punya maksud khusus menciptakan kalender yang menggabungkan kalender Saka dan kalender Hijriyah tersebut.

Selama (18/7) malam, masyarakat Jawa, terutama di sekitar Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, akan menyambut Malama 1 Suro.

Ini adalah malam yang begitu sakral bagi mereka.

Ada beberapa ritual dan pantangan selama menyambut Malam 1 Suro.

Seperti disebut di awal, 1 Suro tak bisa dilepaskan dari Kalender Jawa yang diciptakan Sultan Agung.

Kalender Jawa diciptakan Sultan Agung pada 1633 Masehi.

Sistem penanggalan ini mencoba memadukanpenanggalan Saka dari India dengan kalender Hijriah yang bersumber dari tradisi Islam.

Sebelum masa pemerintahan Sultan Agung, masyarakat Mataram Islam menggunakan kalender Saka.

Kalender Saka didasarkan pada pergerakan matahari, berbeda dengan kalender Islam atau Hijriah yang didasarkan pada pergerakan bulan.

Perbedaan itu menyebabkan perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan oleh keraton tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam.

Nah, Sultan Agung menginginkan agar perayaan adat oleh keraton dan hari besar Islam dapat terjadi dalam waktu bersamaan.

Itulah kenapa Sultan Agung menciptakan kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan Hijriah.

Perubahan sistem penanggalan oleh Sultan Agung dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M.

Penanggalan yang baru tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 menjadi tahun 1.

Tapi meneruskannya dengan berbagai penyesuaian.

Salah satu penyesuaiannya terletak pada sistem perhitungan, yang bukan mengikuti kalender Saka dengan berdasarkan matahari, tetapi perhitungan berdasarkan pergerakan bulan, seperti penanggalan Hijriah.

Sehingga, jumlah hari dan bulan dalam kalender Jawa memakai sistem Islam, tetapi angka tahunya tetap mengikuti kalender Saka.

Nama bulan dalam kalender Jawa adalah Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangidah, Besar.

Nama bulan tersebut mirip dengan urutan kalender Hijriah yakni Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syaban, Ramadan, Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah.

Karena sistem perhitungannya sama, awal tahun baru kalender Jawa selalu jatuh bersamaan dengan tahun baru Islam.

Sehingga saat umat Muslim merayakan tahun baru Islam 1 Muharam, masyarakat Jawa juga merayakan tahun baru kalender Jawa yaitu 1 Suro, meski tahunnya berbeda.

Selain itu, sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari.

Yang pertama adalah siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari seperti kalender Masehi.

Pemberian nama hari dalam kalender Jawa menyerap dari bahasa Arab, di antaranya Ahad (Minggu), Isnain (Senin), Tsalasa (Selasa), Arba’a (Rabu), Khamisi (Kamis), Jum‘ah (Jumat), dan Sab’ah (Sabtu).

Yang kedua adalah siklus pancawara, yang terdiri dari lima hari pasaran, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Sistem penanggalan Jawa yang diciptakan Sultan Agung berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram Islam.

Kini, kalender Jawa masih digunakan oleh sebagian masyarakat Jawa.

Artikel Terkait