Pensucian Pusaka Mataram, Upaya Melestarikan Warisan Leluhur di Malam 1 Suro

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Keris Setan Kober
Ilustrasi - Keris Setan Kober

Intisari-online.com - Malam 1 Suro merupakan malam pergantian tahun dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Islam.

Malam ini dianggap sebagai malam yang sakral dan penuh makna bagi masyarakat Jawa, khususnya yang berasal dari Kerajaan Mataram.

Salah satu tradisi yang dilakukan untuk menyambut malam 1 Suro adalah pensucian pusaka Mataram, yaitu benda-benda bersejarah yang menjadi warisan leluhur dan simbol kekuasaan kerajaan.

Pensucian pusaka Mataram dilakukan dengan cara membersihkan dan merawat benda-benda pusaka seperti keris, tombak, pedang, mahkota, perhiasan, dan lain-lain.

Tujuannya adalah untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa para pendahulu yang telah membangun dan mempertahankan kerajaan, serta untuk memohon berkah dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Pensucian pusaka Mataram juga merupakan upaya untuk melestarikan warisan budaya dan sejarah yang menjadi identitas bangsa.

Tradisi pensucian pusaka Mataram dilakukan oleh beberapa keraton yang merupakan pewaris Kerajaan Mataram, seperti Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Keraton Kasepuhan Cirebon, dan Keraton Kanoman Cirebon.

Setiap keraton memiliki cara dan ritual tersendiri dalam melakukan pensucian pusaka Mataram. Namun, semuanya dilakukan dengan penuh khidmat dan hormat.

Salah satu contoh pensucian pusaka Mataram adalah kirab pusaka yang digelar oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat setiap malam 1 Suro.

Kirab pusaka adalah prosesi mengarak benda-benda pusaka dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta untuk dibersihkan dan disucikan dengan air khusus.

Kirab pusaka diikuti oleh ratusan abdi dalem keraton yang membawa berbagai macam pusaka seperti keris Kyai Ageng Kopek, tombak Kyai Baru Klinting, pedang Kyai Nogo Siluman, mahkota Kyai Prabu Mataram, dan lain-lain.

Baca Juga: Akibat dan Dampak Penyerahan Wilayah Mataram ke VOC pada Abad ke-18

Kirab pusaka juga diiringi oleh gamelan dan tarian tradisional.

Sementara itu, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki tradisi pensucian pusaka Mataram yang disebut dengan Labuhan Alit.

Labuhan Alit adalah upacara membersihkan benda-benda pusaka dengan air suling yang telah diberkahi oleh Sultan dan para abdi dalem keraton.

Labuhan Alit dilakukan di dalam kompleks keraton dengan suasana yang tenang dan khusyuk.

Beberapa benda pusaka yang dibersihkan dalam Labuhan Alit antara lain adalah keris Kyai Ageng Pleret, tombak Kyai Ageng Serang, pedang Kyai Ageng Jagad Buana, mahkota Kyai Prabu Anom, dan lain-lain.

Tradisi pensucian pusaka Mataram merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap warisan leluhur yang harus dilestarikan dan dijaga keasliannya.

Benda-benda pusaka Mataram tidak hanya memiliki nilai sejarah dan budaya, tetapi juga memiliki nilai spiritual dan magis bagi masyarakat Jawa.

Dengan melakukan pensucian pusaka Mataram di malam 1 Suro, diharapkan benda-benda pusaka tersebut tetap terawat dan terjaga keberkahannya.

Selain pensucian pusaka Mataram, ada juga tradisi lain yang dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk menyambut malam 1 Suro, yaitu grebeg suro.

Grebeg suro adalah upacara mengarak gunungan tumpeng yang berisi hasil bumi dan berbagai macam makanan dari keraton menuju alun-alun atau lapangan terbuka untuk dibagikan kepada rakyat.

Grebeg suro merupakan simbol rasa syukur dan berbagi atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Baca Juga: Kirab Pusaka Di Keraton Mataram Sukarta Ternyata Baru Dilaksanakan Di Masa Orde Baru, Presiden Soeharto Yang Minta

Grebeg suro juga memiliki makna filosofis bagi masyarakat Jawa, yaitu sebagai bentuk pengendalian diri dan pengekangan nafsu.

Hal ini sesuai dengan makna kata suro yang berasal dari bahasa Arab Asyura, yang berarti sepuluh. Sepuluh adalah angka yang melambangkan kesempurnaan dan keseimbangan.

Dengan mengikuti grebeg suro, diharapkan masyarakat Jawa dapat mencapai kesempurnaan dan keseimbangan dalam hidupnya.

Grebeg suro biasanya diadakan oleh beberapa keraton yang memiliki hubungan dengan Kerajaan Mataram, seperti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Keraton Kasepuhan Cirebon, dan Keraton Kanoman Cirebon.

Setiap keraton memiliki ciri khas tersendiri dalam menggelar grebeg suro.

Namun, semuanya dilakukan dengan penuh semarak dan meriah.

Salah satu contoh grebeg suro adalah grebeg suro yang digelar oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat setiap malam 1 Suro.

Grebeg suro ini merupakan salah satu rangkaian dari upacara sekaten yang berlangsung selama tujuh hari sebelum malam 1 Suro.

Sekaten adalah upacara untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilakukan dengan cara memainkan gamelan sekaten di alun-alun utara keraton.

Gamelan sekaten adalah jenis gamelan khusus yang hanya dimainkan pada saat sekaten.

Grebeg suro di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat diawali dengan prosesi pengambilan gunungan tumpeng dari dalam keraton oleh para abdi dalem keraton.

Gunungan tumpeng terdiri dari dua jenis, yaitu gunungan bregada yang berisi hasil bumi seperti buah-buahan, sayuran, dan rempah-rempah, dan gunungan wahana yang berisi berbagai macam makanan seperti nasi kuning, opor ayam, sate, dan lain-lain.

Gunungan tumpeng kemudian diarak menuju alun-alun utara keraton dengan diiringi oleh gamelan dan tarian tradisional.

Sesampainya di alun-alun utara keraton, gunungan tumpeng diserahkan kepada Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk diberkati dan disucikan.

Sultan kemudian menyerahkan kembali gunungan tumpeng kepada para abdi dalem keraton untuk dibagikan kepada rakyat yang telah menunggu sejak lama.

Rakyat berebut untuk mendapatkan bagian dari gunungan tumpeng karena dipercaya dapat membawa keberuntungan dan keselamatan.

Tradisi grebeg suro merupakan salah satu bentuk kepedulian dan kebersamaan antara raja dan rakyat yang harus dilestarikan dan dijaga keasliannya.

Grebeg suro tidak hanya memiliki nilai budaya dan sejarah, tetapi juga memiliki nilai sosial dan religius bagi masyarakat Jawa.

Dengan mengikuti grebeg suro di malam 1 Suro, diharapkan masyarakat Jawa dapat bersyukur dan berbagi atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Artikel Terkait