Pemindahan pusat pemerintahan dilakukan karena sultan menginginkan ibu kota barunya berada di jantung Kota Medan.
Selain itu, wilayah Medan Labuhan juga dianggap sudah terlalu sesak dengan aktivitas perniagaan.
Arsitek yang membangun Istana Maimun adalah Theodore van Erp, Kapten Konijnlijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) atau tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Salah satu hal menarik dari Istana Maimun adalah memiliki gaya arsitektur lintas budaya, yakni perpaduan antara corak Eropa, Persia, India, Melayu, dan Indonesia.
Gaya arsitektur Melayu dapat ditemukan pada atap istana yang berbentuk limas, kemudian adanya corak pucuk rebung dan awan boyan.
Nuansa Eropa dalam Istana Maimun tampak pada tiang-tiang penyangga, dinding vertikal, kubah, serta lampu-lampu gantung yang didatangkan dari Perancis.
Sedangkan perabot istana didatangkan dari Belanda dan Inggris.
Lantai tangga utama, pintu masuk balairung, tempat Sultan menerima tamu dan menggelar upacara, mencirikan budaya Italia.
Saat ini, Istana Maimun tidak lagi digunakan sebagai tempat tinggal sultan, tetapi hanya untuk acara adat, yang biasanya bertempat di sayap kanan dan kiri bangunan.
Sementara bagian utama Istana Maimun dibuka untuk umum sebagai destinasi wisata sejarah di Medan.
Istana Maimun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai Undang-Undang tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Status cagar budaya Istana Maimun diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Serta Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 1988 tentang Pelestarian Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR