Keris Puputan Klungkung menjadi salah satu benda pusaka yang diambil Belanda saat perang Klungkung atau Puputan Klungkung pada awal abad 20.
Intisari-Online.com -Ada ratusan benda berharga dan bersejarah yang dikembalikan pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia.
Salah satu yang menyita perhatian adalah keris Puputan Klungkung.
Ini adalah keris milik Raja Klungkung yang diambil Belada saat Perang Puputan Klungkung pada awal abad 20 lalu.
Selain keris Puputan Klungkung, pemerintah Belanda juga mengembalikan sejumlah arca peninggalan Kerajaan Singosari dan benda-benda lainnya.
Penglinsir Puri Agung Klungkung Ida Dalem Smara Putra, kepada Kompas.com mengatakan,keris tersebut diambil pasukan Belanda dari Raja Klungkung, Raja Dewa Agung Jambe II.
Keris itu diambil dari tangan raja yang gugur dalam Perang Puputan Klungkung pada 28 April 1908.
"Itu keris yang dibawa oleh Raja. Diambil setelah Perang Puputan Klungkung 28 April 1908," ujar Ida Dalem Smara Putra saat dihubungi, Selasa (11/7).
Ida Dalem Smara mengatakan, ada sejumlah senjata pusaka milik Kerajaan Klungkung yang saat ini tersimpan di luar Bali.
Salah satunya yakni keris yang tersimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.
"Sebagian sudah ada di Museum Nasional, satu lagi yang akan dikembalikan Belanda," ucapnya.
Pihaknya tak mengetahui pasti bentuk fisik dari keris raja yang akan dikembalikan pihak Belanda itu.
Dia juga mengaku belum sempat melihat keris tersebut ketika masih tersimpan di Belanda.
Namun, kabar mengenai keris raja yang diambil pasukan Belanda saat perang Puputan tersebut sudah lama diceritakan di lingkungan keluarga Puri Klungkung.
"Kami belum tahu secara pasti, karena sudah diambil sejak generasi orang tua kami masih anak-anak. Di lingkungan puri hanya diceritakan mengenai ada keris yang diambil Belanda," kata dia.
"Mengenai bentuknya, kami belum tahu. Karena keluarga puri yang menjadi saksi kejadian perang itu sudah wafat," lanjutnya.
Pihak Puri Klungkung belum menerima pemberitahuan resmi pengembalian benda pusaka Kerajaan Klungkung tersebut dari pihak Pemerintah Belanda ataupun Dirjen Kebudayaan.
Dia pun merespons positif pengembalian benda bersejarah itu ke Indonesia.
Sebelumnya, Puri Klungkung juga pernah menerima pengembalian tombak pusaka dari yayasan Belanda, Westerlaken Foundation.
Tombak itu diserahkan pada 28 April 2020.
Saat ini tombak tersebut tersimpan di Museum Semarajaya yang dikelola Pemerintah Kabupaten Klungkung.
Pihaknya pun berharap keris tersebut dikembalikan ke Puri Klungkung selaku ahli waris dari Kerajaan Klungkung.
"Kami menunggu kejelasan di mana akan ditempatkan ataukah dikembalikan pada ahli waris Puri. Kami berharapnya dikembalikan ke kami, atau paling tidak kami diberi kesempatan untuk melihat," sebutnya.
Jika keris tersebut secara fisik diserahkan pada Pihak Puri, akan diupacarai secara Hindu lebih dulu untuk dilakukan pembersihan sebelum disimpan.
Sekilas Perang Klungkung
Perang Klungkung atau Puputan Klungkung merupakan perang antara Kerajaan Klungkung di Bali melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1908.
Dalam perang tersebut, Belanda keluar sebagai pemenang dan Klungkung pun jatuh ke tangan Belanda.
Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe II, tewas dalam perang tersebut.
Sebelum perang tersebut pecah, perlawanan terhadap kesewenangan pemerintah kolonial Belanda telah berlangsung.
Hal itu karena patroli keamanan di wilayah Klungkung yang dilakukan oleh Belanda dianggap telah melanggar kedaulatan kerajaan.
Penyebab pecahnya Puputan Klungkung adalah patroli yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di wilayah kerajaan sejak pertengahan April 1908.
Belanda melakukan patroli di Desa Gelgel, yang membuat marah segenap warga dan para pembesar Kerajaan Klungkung.
Karena kegiatan itu dianggap telah melanggar kedaulatan kerajaan, maka terjadi penyerangan terhadap patroli Belanda.
Penyerangan tersebut membuat 10 serdadu kolonial mati, termasuk pemimpinnya yang bernama Letnan Haremaker.
Mendengar kejadian itu, pihak kolonial Belanda murka dan menuduh Kerajaan Klungkung melakukan pemberontakan.
Raja Klungkung saat itu, Raja Dewa Agung Jambe II, mendapat ultimatum untuk menyerah dengan batas waktu sampai 22 April 1908.
Akan tetapi, ultimatum tersebut dihiraukan oleh raja dan rakyat Klungkung karena semangat menjaga kedaulatan.
Karena ultimatumnya dihiraukan, pihak Belanda bersiap untuk menyerang Klungkung dengan modal beberapa meriam.
Pada 20 April 1908, pemerintah kolonial Belanda di Batavia mengirimkan pasukan tambahan untuk menyerang Kerajaan Klungkung.
Sedangkan rakyat Klungkung maju berperang bermodalkan semangat gagah berani beserta tombak dan keris.
Pada 21 April 1908, pasukan dari Klungkung telah dikalahkan dengan mudah oleh pasukan Belanda, tetapi masih menolak untuk menyerah.
Setelah dibombardir selama 6 hari, pasukan tambahan Belanda dari Batavia datang di Desa Kusamba dan Jumpai.
Pasukan tambahan itu langsung melakukan perlawanan terhadap Klungkung dan berhasil mengepung Istana Samarapura pada 27 April 1908.
Pada perang tersebut, beberapa tokoh pembesar Kerajaan Klungkung gugur, seperti Cokorda Gelgel, Dewa Agung Gede Semarabawa, Dewa Agung Muter, dan putra mahkota kerajaan.
Keadaan yang semakin genting tersebut justru membuat Raja Dewa Agung Jambe II maju menyerang Belanda.
Bersama dengan sekitar 3.000 laskarnya, raja menyerang hingga akhirnya gugur di medan perang pada 28 April 1908.
Gugurnya Raja Dewa Agung Jambe II, menandai jatuhnya Kerajaan Klungkung ke pemerintah kolonial Belanda.
Setelah itu, Belanda juga membakar istana Klungkung.
Pada Oktober 1908, istana tersebut dibangun kembali dan Klungkung dijadikan daerah swapraja, seperti Gianyar dan Karangasem.