Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi, Dua Saudara Trah Mataram yang Terlibat Perang Saudara

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Pangeran Mangkubumi (kiri) dan Pakubuwono II (kanan).
Ilustrasi - Pangeran Mangkubumi (kiri) dan Pakubuwono II (kanan).

Intisari-online.com - Dua saudara yang bernama Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi adalah putra-putra dari Amangkurat IV, raja Mataram yang berkuasa tahun 1719-1726.

Mereka berdua memiliki cita-cita untuk menjadi penguasa Mataram, tetapi harus menghadapi gangguan VOC yang ingin menguasai Jawa.

Konflik antara Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi terjadi selama lebih dari dua puluh tahun, hingga akhirnya diakhiri melalui Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.

Pakubuwono II: Raja yang Bersekutu dengan VOC

Pakubuwono II memiliki nama asli Raden Mas Prabasuyasa. Ia menjadi raja Mataram kesembilan pada tahun 1726, menggantikan ayahnya yang wafat.

Karena masih sangat muda, ia mudah dipengaruhi oleh beberapa tokoh istana, terutama ibu surinya, Ratu Amangkurat, yang bersahabat dengan VOC.

Pakubuwono II pun menjalin hubungan baik dengan VOC, bahkan menyerahkan pantai utara Jawa dan Madura kepada mereka sebagai imbalan bantuan militer.

Namun, kebijakan Pakubuwono II ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat dan bangsawan Mataram, yang merasa dirugikan oleh VOC.

Salah satu pemberontakan terbesar yang terjadi adalah pemberontakan Tionghoa pada tahun 1740-1743, yang dipimpin oleh Sunan Kuning.

Pakubuwono II sempat mendukung pemberontakan ini, tetapi kemudian menyesal dan berdamai dengan VOC. Ia pun harus menghadapi ancaman dari saudara-saudaranya yang ingin merebut takhta.

Pangeran Mangkubumi: Pemberontak yang Menentang VOC

Baca Juga: Pengaruh Islam dalam Bidang Kesenian yang Mempercepat Proses Islamisasi Seperti Terjadi di Kerajaan Mataram

Pangeran Mangkubumi memiliki nama asli Raden Mas Suryoputro.

Ia adalah adik Pakubuwono II, tetapi tidak puas dengan kedudukannya yang lebih rendah.

Ia merasa berhak menjadi raja Mataram, karena ia adalah putra sulung dari permaisuri pertama Amangkurat IV.

Beliau pun menentang kebijakan Pakubuwono II yang bersekutu dengan VOC, dan menganggapnya sebagai pengkhianat bangsa.

Pada tahun 1749, Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said), seorang keponakan Pakubuwono II yang juga mengklaim tahta Mataram.

Mereka berdua memimpin pemberontakan melawan Pakubuwono II dan VOC dengan menggunakan strategi perang gerilya.

Mereka berhasil merebut sebagian besar wilayah Mataram, kecuali Surakarta, ibu kota baru Pakubuwono II.

Perjanjian Giyanti: Akhir dari Perang Saudara

Perang saudara antara Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi berlangsung selama enam tahun, tanpa ada pihak yang benar-benar unggul.

Akhirnya, pada tahun 1755, VOC mengambil inisiatif untuk menengahi konflik tersebut.

Mereka mengajak Pangeran Mangkubumi untuk berunding dengan Pakubuwono III, putra dan pengganti Pakubuwono II yang meninggal pada tahun 1749.

Baca Juga: Perang Takhta Jawa Pertama, Ketika Pangeran Puger Singkirkan Amangkurat III Sebagai Raja Mataram Islam

Perundingan tersebut berlangsung di Desa Janti (Giyanti), Karanganyar, Jawa Tengah. Isi pokok dari Perjanjian Giyanti adalah sebagai berikut:

1.Mataram dibagi menjadi dua kerajaan: Surakarta di bawah Pakubuwono III dan Yogyakarta di bawah Pangeran Mangkubumi.

2.Pangeran Mangkubumi bergelar Hamengkubuwana I sebagai sultan Yogyakarta.

3.Kedua kerajaan harus mengakui kedaulatan VOC dan membayar upeti kepada mereka.

4.Pangeran Sambernyawa tidak diakui sebagai pihak dalam perjanjian ini, dan harus dilawan oleh Pakubuwono III dan Hamengkubuwana I.

Perjanjian Giyanti merupakan titik balik dalam sejarah Mataram.

Perjanjian ini mengakhiri perang saudara antara Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi, tetapi juga memecah Mataram menjadi dua kerajaan yang lemah dan tergantung pada VOC.

Perjanjian ini juga melahirkan kerajaan Yogyakarta, yang kemudian akan berperan penting dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda.

Artikel Terkait