Intisari-online.com - Kiai Wirosentiko adalah seorang tokoh pejuang yang berperan penting dalam sejarah Mataram Islam.
Ia adalah panglima perang yang setia mendampingi Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) dalam Perang Giyanti (1749-1755) melawan kolonialisme Belanda dan sekutunya Keraton Kasunanan Surakarta.
Ia juga dikenal sebagai sahabat Pangeran Sambernyawa (Pangeran Diponegoro) yang bersama-sama melawan penjajah di Jawa Timur.
Kiai Wirosentiko lahir sekitar tahun 1717 di Desa Sukowati, Sragen.
Ia adalah putra dari Kiai Ageng Derpoyudo, seorang panglima perang Keraton Kartasura yang menghabiskan sisa hidupnya di Desa Majan Janti, Karanganyar.
Kiai Wirosentiko mewarisi kecakapan ayahnya dalam bidang perang dan ilmu keagamaan.
Ia juga memiliki kharisma dan kepemimpinan yang tinggi.
Kiai Wirosentiko menikah dengan Raden Ayu Retno Kusumo, putri dari Raden Tumenggung Wiroguno, bupati Madiun.
Dari pernikahan ini, ia memiliki dua orang putra, yaitu Raden Ronggo Prawirodirjo II dan Raden Ronggo Prawirodirjo III.
Kedua putranya ini kelak menjadi bupati Madiun dan pejuang melawan Belanda.
Peran dalam Perang Giyanti
Perang Giyanti adalah perang suksesi yang terjadi antara Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwana III, raja Mataram yang bersekutu dengan Belanda.
Perang ini berlangsung dari tahun 1749 hingga 1755.
Dalam perang ini, Kiai Wirosentiko menjadi panglima perang yang dipercaya oleh Pangeran Mangkubumi untuk memimpin pasukan Mataram Islam.
Kiai Wirosentiko menunjukkan keberanian dan keahliannya dalam mengatur strategi perang.
Ia berhasil memenangkan beberapa pertempuran penting, seperti Pertempuran Grobogan, Pertempuran Demak, Pertempuran Gresik, dan Pertempuran Surabaya.
Ia juga berteman baik dengan Pangeran Sambernyawa, putra Pakubuwana II yang berpihak kepada Pangeran Mangkubumi.
Perang Giyanti berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.
Dalam perjanjian ini, Mataram dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I.
Penghargaan dari Sultan Hamengkubuwana I
Atas jasanya dalam Perang Giyanti, Kiai Wirosentiko mendapatkan penghargaan dari Sultan Hamengkubuwana I.
Ia diberi gelar Raden Ronggo Prawirosentiko dan diangkat menjadi bupati wedana (kepala daerah wilayah timur jauh Yogya) di Madiun pada tahun 1760.
Kemudian juga diberi tanah sawah seluas 1000 bau (sekitar 250 hektar) di Desa Giripurno, Magetan.
Raden Ronggo Prawirosentiko memerintah Madiun dengan bijaksana dan adil.
Beliau membawa kemakmuran dan kedamaian bagi rakyatnya.
Juga menjalin hubungan baik dengan keraton Yogyakarta dan keraton Surakarta.
Ia ering berkunjung ke Yogyakarta untuk memberikan nasihat politik kepada Sultan Hamengkubuwana I.
Pada tahun 1768, ia mengganti namanya menjadi Raden Ronggo Prawirodirjo I.
Ia menjabat sebagai bupati Madiun hingga tahun 1784.
Lalu meninggal dunia pada usia 67 tahun dan dimakamkan di Desa Giripurno, Magetan.
Makamnya kini menjadi tempat ziarah bagi masyarakat sekitar.
Warisan dan Inspirasi
Raden Ronggo Prawirodirjo I meninggalkan warisan yang berharga bagi Mataram Islam.
Ia adalah salah satu tokoh yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan dan kejayaan Mataram dari ancaman penjajah Belanda.
Baca Juga: Berdarah Mataram Islam Inilah Hamengkubuwono III Ayah Pangeran Diponegoro
Juga menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya, terutama bagi putra dan cucunya yang juga menjadi pejuang melawan Belanda.
Salah satu putranya, Raden Ronggo Prawirodirjo II, menggantikan ayahnya sebagai bupati Madiun pada tahun 1795.
Ia juga menjadi penasihat politik Sultan Hamengkubuwana II dan menikahi putrinya, Gusti Bendoro Raden Ayu Maduretno.
Kemudian memerintah Madiun hingga tahun 1810.
Salah satu cucunya, Raden Ronggo Prawirodirjo III, menggantikan ayahnya sebagai bupati Madiun pada tahun 1810.
Beliau juga menjadi inspirator perjuangan Pangeran Diponegoro, putra Sultan Hamengkubuwana III yang menantuinya.
Ia memberontak terhadap Belanda pada tahun 1810 dan gugur sebagai syuhada pada tahun yang sama.
Raden Ronggo Prawirodirjo III adalah kakek dari Pangeran Diponegoro yang memimpin Perang Jawa (1825-1830) melawan Belanda.
Perang ini adalah perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah Indonesia.
Pangeran Diponegoro dianggap sebagai pahlawan nasional Indonesia dan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah bangsa ini.