Perundingan ini dimulai pada bulan September 1754, ketika Nicolaas Hartingh, Gubernur Jenderal VOC untuk Jawa Utara, berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi.
Hartingh menawarkan perdamaian kepada Pangeran Mangkubumi, yang saat itu sedang bersekutu dengan Pangeran Sambernyawa melawan Pakubuwana III.
Pada awalnya, Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur kepada Pangeran Mangkubumi, tetapi ditolak oleh pangeran.
Kemudian Hartingh mengusulkan agar Pangeran Mangkubumi tidak memakai gelar sunan dan menentukan daerah mana yang ingin ia kuasai.
Pada tanggal 23 September 1754, akhirnya tercapai kesepakatan bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sultan dan mendapatkan setengah bagian kesultanan.
Daerah pesisir utara Jawa atau daerah pesisir yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai oleh VOC dan setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan kepada Pangeran Mangkubumi.
Pada tanggal 4 November 1754, Pakubuwana III mengirim surat kepada Gubernur Jenderal VOC untuk menyatakan persetujuannya atas perjanjian tersebut.
Namun perjanjian ini baru ditandatangani secara resmi pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Jantiharjo.
Dengan demikian, Perjanjian Giyanti mengakhiri perang saudara di Mataram dan memulai era baru bagi kerajaan-kerajaan Jawa.
Dampak Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti tidak hanya mengakhiri perang saudara di Mataram, tetapi juga membawa dampak besar bagi perkembangan kerajaan-kerajaan Jawa dan peran VOC di Nusantara.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR