Intisari-online.com - Kerajaan Mataram Islam adalah salah satu kerajaan besar yang pernah berdiri di Pulau Jawa.
Kerajaan ini didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Sela pada tahun 1575, dan mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
Kerajaan ini juga mengalami beberapa kali perpindahan ibu kota, baik karena alasan politik, ekonomi, maupun keamanan.
Salah satu perpindahan ibu kota yang paling bersejarah adalah perpindahan dari Keraton Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745.
Perpindahan ini terjadi akibat dari peristiwa Geger Pecinan, yaitu pemberontakan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dan bumi putera melawan Belanda dan Kerajaan Mataram Islam.
Latar Belakang Geger Pecinan
Geger Pecinan bermula dari pembantaian etnis Tionghoa di Batavia oleh Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier pada 9 Oktober 1740.
Pembantaian ini dilakukan karena Belanda merasa terancam oleh jumlah dan pengaruh etnis Tionghoa yang semakin besar di Batavia.
Selain itu, Belanda juga khawatir akan adanya persekongkolan antara etnis Tionghoa dengan Kesultanan Banten dan Kerajaan Mataram Islam.
Akibat pembantaian ini, sekitar 10.000 orang Tionghoa tewas dan ribuan lainnya melarikan diri ke daerah pedalaman Jawa.
Mereka kemudian bergabung dengan bumi putera yang juga tidak senang dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang merugikan mereka.
Mereka bersama-sama membentuk pasukan pemberontak yang bertujuan untuk mengusir Belanda dari Jawa.
Baca Juga: Sejarah Keraton Surakarta, Saksi Bisu Perkembangan dan Kejayaan Mataram Islam
Pemberontakan di Kartasura
Salah satu daerah yang menjadi sasaran pemberontakan adalah Kartasura, ibu kota Kerajaan Mataram Islam saat itu.
Kartasura dipilih karena merupakan pusat pemerintahan dan perdagangan yang strategis, serta memiliki banyak penduduk Tionghoa yang tinggal di pecinan (kampung Tionghoa).
Pada awalnya, Paku Buwono II, raja Mataram Islam yang berpusat di Keraton Kartasura, berpihak kepada pemberontak dan mengirim pasukan perangnya yang dipimpin Patih Pringgoloyo untuk membantu mereka.
Paku Buwono II berharap dengan demikian ia dapat mengurangi pengaruh Belanda di Jawa dan memperkuat kedudukannya sebagai raja.
Namun, rencana Paku Buwono II tidak berjalan mulus.
Pasukan Mataram Islam tidak mampu mengimbangi kekuatan pasukan gabungan Jawa-Tionghoa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning.
Sunan Kuning adalah putra dari Raden Kajoran, seorang bangsawan Mataram Islam yang memiliki darah Tionghoa.
Pasukan Sunan Kuning berhasil menguasai benteng Belanda di Kartasura dan mengepung keraton pada 20 Juni 1742.
Mereka menuntut Paku Buwono II untuk menyerahkan tahta kepada Sunan Kuning dan mengakui kemerdekaan Jawa-Tionghoa dari Belanda.
Paku Buwono II menolak tuntutan tersebut dan melarikan diri ke Ponorogo bersama keluarganya.
Perpindahan Ibu Kota ke Surakarta
Setelah melarikan diri dari Kartasura, Paku Buwono II kemudian berbalik arah dan meminta bantuan Belanda untuk mengusir pemberontak dari keraton.
Ia bersedia menandatangani perjanjian dengan Belanda yang memberikan banyak konsesi kepada mereka, seperti hak monopoli perdagangan, hak sewa tanah, hak intervensi militer.
Paku Buwono II juga bersedia memberikan gelar Adipati Anom kepada Sunan Kuning sebagai bentuk pengakuan atas kekuasaannya di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak.
Dengan bantuan Belanda, Paku Buwono II akhirnya berhasil mengusir pemberontak dari Kartasura pada 1743.
Namun, ia tidak kembali ke keraton, melainkan memilih untuk membangun istana baru di Desa Sala, sekitar 15 km sebelah timur Kartasura.
Ia memindahkan ibu kota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.
Alasan Paku Buwono II memindahkan ibu kota kerajaan adalah karena ia merasa tidak nyaman dan tidak aman tinggal di Kartasura yang sudah pernah dikuasai musuh.
Ia juga ingin memulai lembaran baru dengan Belanda sebagai sekutunya.
Selain itu, ia juga ingin menghindari kemungkinan adanya pemberontakan lagi dari pihak-pihak yang tidak puas dengan perjanjiannya dengan Belanda.
Dampak Perpindahan Ibu Kota
Perpindahan ibu kota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta memiliki dampak yang cukup besar bagi sejarah Jawa.
Salah satu dampaknya adalah melemahnya kekuasaan Mataram Islam di bawah pengaruh Belanda.
Baca Juga: Jepara Menjadi Saksi Jalinan Persabahatan Penguasa Mataram Amangkurat I dengan VOC
Paku Buwono II harus memberikan banyak hak dan kewenangan kepada Belanda sebagai imbalan atas bantuannya.
Ia juga harus menghadapi perlawanan dari saudara-saudaranya yang tidak setuju dengan perjanjiannya dengan Belanda.
Perpindahan ibu kota kerajaan juga berdampak pada perkembangan kota Surakarta sebagai pusat budaya dan seni Jawa.
Paku Buwono II membangun istana yang megah dan indah di Surakarta, yang kemudian dikenal sebagai Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Beliau juga mendirikan Masjid Agung Surakarta dan Pasar Gede sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sosial.
Keraton Surakarta menjadi tempat berkembangnya berbagai kesenian dan kebudayaan Jawa, seperti wayang, gamelan, tari, batik, dan lain-lain.
Keraton Surakarta juga menjadi tempat lahirnya beberapa tokoh penting dalam sejarah Indonesia, seperti Pangeran Diponegoro, Ki Hajar Dewantara, dan Soeharto.
Sementara itu, Kartasura menjadi kota yang sepi dan terlantar setelah ditinggalkan oleh Paku Buwono II.
Keraton Kartasura yang rusak akibat Geger Pecinan tidak pernah dibangun kembali, melainkan dijadikan pemakaman oleh Paku Buwono III.
Hanya beberapa peninggalan sejarah yang tersisa di Kartasura, seperti Benteng Sri Menganti, Makam Sunan Kuning, dan Makam Patih Pringgoloyo.